Review

Info
Studio : Braven Films/Killer Films/Rip Cord Productions
Genre : Thriller
Director : Sebastián Silva
Producer : Frida Torresblanco, Christine Vachon, Mike White, David Bernad
Starring : Juno Temple, Emily Browning, Catalina Sandino Moreno, Agustín Silva, Michael Cera

Rabu, 12 Februari 2014 - 17:01:31 WIB
Flick Review : Magic Magic
Review oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 2914 kali


Setelah sukses lewat La Nana (atau The Maid, 2009) yang berhasil memenangkan beberapa penghargaan di The 25th Annual Sundance Film Festival sekaligus dinominasikan di kategori Best Foreign Language Film pada ajang The 25th Annual Independent Spirit Awards dan The 67th Annual Golden Globe Awards, sutradara asal Chili, Sebastián Silva, kembali hadir dengan film terbarunya, Magic Magic. Berbeda dengan kesan yang diberikan oleh judul film ini, Magic Magic sama sekali tidak akan menghadirkan sebuah kisah yang bernuansa magis kepada para penontonnya. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Silva berdasarkan sebuah urban legend yang berasal dari Brazil, Magic Magic adalah sebuah psychological thriller dengan atmosfer penceritaan yang akan mengingatkan penontonnya pada film-film sejenis arahan Roman Polanski seperti Repulsion (1965) dan Rosemary’s Baby (1968). Sebuah perbandingan yang cukup tegas namun benar-benar mampu ditangani dengan baik oleh Silva.

Penceritaan Magic Magic dimulai dengan tibanya Alicia (Juno Temple) di kota Santiago, Chili, untuk mengunjungi sepupunya, Sara (Emily Browning), yang sedang berkuliah disana. Ketibaan Alicia sendiri bertepatan dengan rencana keberangkatan Alicia dengan kekasihnya, Agustín (Agustín Silva), kakak Agustín, Barbara (Catalina Sandino Moreno), dan sahabat Agustín yang juga merupakan seorang warga Amerika Serikat, Brink (Michael Cera), untuk berliburan. Jelas, tanpa persiapan apapun, Sara lantas mengajak Alicia untuk turut serta dalam perjalanan mereka. Namun, di tengah perjalanan tersebut, Sara menerima telepon yang mengharuskan ia untuk kembali ke Santiago. Meskipun Alicia telah meminta agar dirinya turut kembali ke Santiago, Sara menyarankan agar Alicia turut bersama dengan rombongan kekasihnya karena dirinya akan menyusul keeseokan harinya. Alicia akhirnya mengalah dan melanjutkan perjalanannya.

Perjalanan yang seharusnya menjadi momen-momen liburan dan menyenangkan tersebut ternyata sama sekali tidak terasa membahagiakan bagi Alicia. Keberadaannya di tengah-tengah orang asing dan lokasi yang sama sekali tidak familiar membuat dirinya merasa begitu tidak nyaman. Ketidaknyamanannya tersebut semakin menjadi ketika Alicia gagal untuk menelepon Sara, terus menerus mendapat gangguan dari Brink serta beberapa kejadian aneh lainnya datang menghampiri dirinya. Rasa tertekan itulah yang kemudian membuat Alicia mengalami insomnia dan lama kelamaan mulai kesulitan untuk membedakan antara realita dan khayalan belaka – sebuah petaka yang secara perlahan turut memberikan teror pada orang-orang yang berada di sekitar Alicia.

Dalam 98 menit presentasi cerita Magic Magic, Sebastián Silva berhasil memberikan sebuah atmosfer penceritaan yang begitu mencekam pada penontonnya. Bukan. Penonton tidak disuguhkan dengan kehadiran adegan-adegan bernuansa kekerasan yang kemudian memicu banyak pertumpahan darah. Silva menghadirkan kengerian filmnya dengan membawa penonton tenggelam dalam jalan pemikiran karakter Alicia yang terusik dengan sekitarnya. Sama seperti karakter Alicia, keberhasilan tersebut akan membuat penonton dapat merasakan ketidaknyamanan dalam menyaksikan sesosok karakter dengan begitu banyak masalah menyapa kehidupannya sekaligus. Sebuah character study yang cukup lugas dan mampu diperkuat dengan dukungan kehadiran karakter-karakter pendukung yang semakin mempertegas masalah yang merundung sang karakter utama.

Tidak sepenuhnya berjalan lancar, sayangnya. Kemampuan Silva dalam menggarap perjalanan kisah karakter-karakternya tidak begitu didukung dengan latar belakang kisah para karakter yang kuat. Magic Magic sama sekali tidak berusaha untuk memberikan gambaran yang kuat mengapa karakter Alicia memiliki kecenderungan untuk merasa khawatir yang berlebihan – yang pada satu bagian di penceritaan Magic Magic sempat disebutkan sebagai sebuah kondisi yang sebenarnya telah dialami karakter Alicia sebelum ketibaannya di Santiago, Chili. Kekurangan ini membuat kesempatan penonton untuk dapat memahami kondisi karakter Alicia dan menjalin hubungan emosional dengannya menjadi menghilang begitu saja. Pemilihan ending yang terasa keluar dari jalur penceritaan yang telah dibangun semenjak awal juga terasa cukup mengganggu. Pilihan yang seolah membuat Silva terlihat kebingungan untuk memberikan akhir kisah yang tepat bagi kisah yang telah dibangunnya.

Terlepas dari kekurangan-kekurangan tersebut, Magic Magic mendapatkan dukungan yang sangat kuat dari jajaran pemeran dan kualitas tata produksinya. Juno Temple tampil begitu menghipnotis dalam memerankan karakter Alicia. Begitu kuat untuk turut menenggelamkan penonton pada kelamnya jalan pemikiran Alicia. Kejutan yang sangat menyenangkan juga datang dari Michael Cera yang tampil jauh dari imej karakter-karakter nerdie yang selama ini diperankannya. Sebagai Brink, Cera secara sukses tampil sebagai sosok yang terlihat menyenangkan namun sebenarnya seringkali terasa begitu mengganggu kehadirannya. Dukungan akting lain datang dari Emily Browning, Catalina Sandino Moreno dan Agustín Silva. Kualitas tata produksi juga hadir dalam tingkatan yang sangat memuaskan, khususnya tata sinematografi arahan Christopher Doyle dan Glenn Kaplan yang mampu menangkap kesunyian dari alam sekitar Chili dan membantu terbentuknya atmosfer mencekam dari jalan cerita Magic Magic.

Dengan ritme penceritaan yang tergolong lamban guna membantu penggalian yang lebih mendalam bagi kebanyakan karakter yang hadir di jalan cerita film ini, Magic Magic mungkin bukanlah sebuah sajian yang dapat dinikmati oleh kalangan luas. Horor yang disajikan oleh Sebastián Silva memang lebih banyak disajikan dalam bentuk atmosferik dan bukan secara gamblang ditampilkan bagi penontonnya. Adalah tenggelamnya pemikiran sang karakter utama, Alicia, dalam kekhawatiran dan kebingungan mendalam yang memberikan cengkeraman atmosfer kekelaman yang mencekam dalam film ini. Meskipun masih terdapat beberapa bagian penceritaan yang gagal tergali dengan baik, plus pilihan ending yang terasa “mencurangi” penontonnya, dengan arahan yang tepat serta penampilan departemen akting yang begitu kuat, Magic Magic mampu menjelma menjadi sebuah psychological thriller yang akan cukup mampu memberikan kesan yang mendalam pada penontonnya seusai menyaksikan film ini.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.