Merasa tidak familiar dengan nama sutradara Renny Harlin? Cukup wajar. Meskipun pernah menghasilkan film-film peraih sukses komersial besar seperti Die Hard 2 (1990) dan Cliffhanger (1993), nama Harlin secara perlahan mulai tenggelam setelah film Cutthroat Island (1995) yang ia arahkan gagal meraih kesuksesan ketika dirilis di pasaran dan bahkan sempat meraih gelar sebagai film dengan kegagalan komersial terbesar sepanjang masa. Harlin sendiri bukannya berhenti menjadi seorang sutradara setelah kegagalan tersebut. Ia masih aktif mengarahkan banyak film layar lebar seperti Deep Blue Sea (1999), The Covenant (2006) dan 12 Rounds (2009) serta beberapa episode serial televisi popular seperti Burn Notice, White Collar dan Covert Affairs meskipun tak satupun diantara kerja kerasnya tersebut mampu mengkatrol kembali nama besarnya di industri film Hollywood.
Film terbaru arahan Harlin, The Legend of Hercules, sayangnya masih belum akan memberikan reputasi yang lebih baik bagi kemampuan sutradara berkewarganegaraan Finlandia tersebut dalam mengarahkan film-filmnya. Dengan naskah yang ditulis oleh Harlin bersama dengan tiga penulis naskah lainnya, Daniel Giat, Giulio Steve dan Sean Hood, The Legend of Hercules terasa sebagai sebuah versi imitasi murahan dari naskah cerita Gladiator (2000) yang disajikan dengan sentuhan tampilan visual a la 300 (2006). Bukan sebuah presentasi yang benar-benar buruk secara keseluruhan. Namun, jika dibandingkan dengan betapa bervariasinya kisah petualangan dari karakter manusia setengah dewa asal Yunani tersebut, adalah cukup mengecewakan untuk melihat Harlin lebih memilih untuk menyusun dan mengeksekusi The Legend of Hercules menjadi sebuah film drama aksi yang tampil begitu datar dalam penceritaannya.
Meskipun mengisahkan mengenai sesosok karakter yang kisah kehidupannya mungkin telah terasa begitu familiar bagi banyak orang, The Legend of Hercules sendiri menawarkan jalinan cerita yang cukup berbeda mengenai Hercules. Kisahnya dimulai ketika Queen Alcmene (Roxanne McKee), yang telah merasa begitu membenci suaminya, King Amphitryon (Scott Adkins), akibat kegemarannya untuk berperang, kemudian meminta pada Dewi Hera agar diberikan petunjuk bagaimana cara menghentikan kebiasaan buruk suaminya tersebut. Tanpa diduga, Dewi Hera kemudian muncul dan mengungkapkan bahwa Queen Alcmene telah dipilih untuk mengandung anak Dewa Zeus yang nantinya akan menjadi sosok yang membawa perdamaian di muka Bumi. Oleh Dewi Hera anak tersebut dinamai sebagai Hercules.
Dua puluh tahun kemudian, Hercules – yang dinamai Alcides oleh King Amphitryon – tumbuh menjadi seorang pemuda gagah yang tampan (Kellan Lutz). Ia menjalin cinta dengan Princess Hebe (Gaia Weiss). Namun, hubungan itu sendiri tidak begitu disukai oleh King Amphitryon karena sang Raja lebih memilih agar Princess Hebe dapat menikahi putera tertuanya, Iphicles (Liam Garrigan). Untuk memisahkan Hercules dari Princess Hebe, King Amphitryon kemudian mengirimkan Hercules ke medan perang bersama General Sotins (Liam McIntyre). Akibat kurangnya jumlah pasukan yang dikirimkan bersama mereka, Hercules dan General Sotins mengalami kekalahan dan kemudian dipekerjakan sebagai budak. Mengetahui bahwa Hercules tidak akan kembali lagi, King Amphitryon segera saja menjodohkan Princess Hebe dengan Iphicles dan berencana untuk segera menikahkan mereka. Tentu saja, proses tersebut tidak akan berjalan dengan lancar karena Hercules terus berusaha untuk kembali dan merebut Princess Hebe sekaligus menyudahi ketidakadilan King Amphitryon dalam setiap tindakannya.
Baiklah. Kebanyakan penonton yang memilih untuk menyaksikan The Legend of Hercules mungkin tidak begitu mengharapkan sebuah film yang mengandalkan kualitas cerita maupun tampilan akting yang berkelas. Pada beberapa bagian, Renny Harlin memang mampu menghadirkan tampilan visual yang cukup memuaskan, khususnya yang melibatkan hadirnya adegan aksi yang mampu memacu adrenalin. Keputusan Harlin untuk mengadirkan penceritaan The Legend of Hercules dalam ritme penceritaan yang cukup cepat juga terbukti berhasil membuat film ini masih mampu menghibur penontonnya. Namun, ketika Harlin terus menghadirkan adegan-adegan aksi tersbeut dalam tampilan yang serupa secara terus menerus, The Legend of Hercules tidak terhindarkan dari atmosfer penceritaan yang terasa begitu monoton.
Let’s talk about Kellan Lutz. Pemilihan Lutz untuk memerankan karakter Hercules jelas terasa masuk akal karena… well… aktor yang popular lewat seri film The Twilight Saga (2008 – 2012) tersebut memiliki penampilan fisik (dan otot) yang sangat mendukung. Sayangnya, untuk penampilan akting, Lutz tampil begitu datar. Penampilan tersebut tidak akan menimbulkan banyak masalah ketika Lutz hanya dihadirkan sebagai sesosok pemeran pendukung seperti dalam The Twilight Saga. Namun untuk ditempatkan sebagai karakter utama yang hadir hampir di keseluruhan adegan film, Lutz tidak memiliki kharisma yang kuat untuk mampu membuat penonton merasa tertarik dengan kehadiran karakter yang ia perankan. Lutz tidak sendirian. Kecuali Liam McIntyre dan Scott Adkins yang hadir cukup mengesankan, hampir seluruh pengisi departemen akting The Legend of Hercules hadir dalam kapasitas akting yang serupa dengan Lutz.
Terlepas dari premis yang berusaha untuk menghadirkan sebuah presentasi film yang menawarkan deretan adegan aksi yang memikat, The Legend of Hercules tampil terlalu datar untuk mampu menarik perhatian para penontonnya akibat penggalian cerita dan karakter yang terasa terlalu datar. Terlepas dari beberapa kelemahan tersebut, Renny Harlin berhasil menutupi beberapa kelemahan ceritanya dengan mengeksekusi The Legend of Hercules melalui ritme penceritaan yang berjalan cepat sekaligus menghadirkan beberapa adegan aksi yang tergarap dengan baik dari sisi tampilan visualnya. Tidak sepenuhnya buruk namun jelas masih terasa mengecewakan akibat banyaknya potensi cerita film ini yang gagal untuk dikembangkan dengan baik.
Rating :