Melanjutkan perjalanan cerita Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009), Laskar Pelangi Sekuel 2: Edensor – yang dimaksudkan sebagai sekuel kedua dari seri film Laskar Pelangi, in case you’re wondering – berkisah mengenai Ikal (Lukman Sardi) dan sepupunya, Arai (Abimana Aryasatya – yang menggantikan pemeran Arai di seri sebelumnya, Nazril Irham), yang kini berada di Perancis karena berhasil mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di Universitas Sorbonne, Paris. Ketibaan mereka di kota tersebut sendiri dimulai dengan cukup buruk: akibat terlambat mengkonfirmasi kedatangan mereka, Ikal dan Arai tidak diterima kehadirannya di asrama dan harus menghabiskan malam mereka kedinginan di jalanan kota Paris. Walaupun begitu, Ikal dan Arai telah memutuskan bahwa mereka tidak akan menyerah dalam mengejar mimpi mereka meskipun banyak halangan yang akan datang merintangi.
Benar saja. Tidak mudah untuk mewujudkan sebuah mimpi. Ikal dan Arai harus menghadapi begitu banyak tantangan dalam keseharian mereka disana: mulai dari masalah finansial yang harus mereka penuhi akibat tinggal di sebuah negara maju, kabar dari ayah Ikal (Mathias Muchus) yang memberitahukan bahwa kampung mereka sedang menghadapi kesulitan hingga masalah romansa yang terjalin antara Ikal dan seorang gadis cantik asal Jerman, Katya (Astrid Roos), yang membuat Ikal merasa bersalah karena telah mengkhianati rasa cintanya pada Aling (Shalvynne Chang). Situasi tersebut secara perlahan mulai membuat perhatian Ikal pada masa kuliahnya menjadi terpecah. Tidak mengherankan jika kemudian nilai semester Ikal menjadi hancur. Ikal akhirnya terjebak dalam belitan kehidupan, cinta, keluarga dan mimpinya.
Keunggulan utama dari tetralogi novel Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata adalah seri novel tersebut berhasil menjadi bacaan yang penuh dengan pesan-pesan edukasi nan inspiratif namun disampaikan secara ringan, menghibur dan sama sekali tidak pernah memberikan kesan menggurui para pembacanya. Esensi itulah yang kemudian berhasil diterjemahkan dengan sangat baik oleh Riri Riza dalam Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi yang diadaptasi dari dua seri pertama tetralogi novel Laskar Pelangi. Kecerdasan Riri Riza dalam bercerita sekaligus merangkainya dengan keindahan wilayah alam daerah Pulau Belitong yang menjadi latar belakang penceritaan dua film itu pula yang kemudian sukses meraih perhatian penonton dan formulanya kemudian berusaha diikuti oleh banyak film-film Indonesia lainnya.
Pencapaian itulah yang coba ditandingi oleh Benni Setiawan (Madre, 2013) yang menggantikan posisi Riri Riza sebagai sutradara sekaligus penulis naskah bagi Laskar Pelangi Sekuel 2: Edensor. Bukan sebuah tantangan yang mudah tentu saja dan, sejujurnya, gagal ditangani Benni dengan baik. Tidak seperti Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi yang ringan namun dapat terasa jelas memiliki banyak elemen penceritaan yang kuat dalam penyampaian kisahnya, Laskar Pelangi Sekuel 2: Edensor terasa kehilangan begitu banyak esensi ceritanya akibat fokus yang diberikan dalam porsi lebih bagi pergelutan kisah romansa yang dialami oleh karakter Ikal – plot kisah yang juga gagal untuk tersaji dengan baik namun diberikan porsi penceritaan yang besar. Secara keseluruhan, Laskar Pelangi Sekuel 2: Edensor terasa hanya merangkum bagian-bagian yang kurang esensial dari novel Edensor dan melupakan elemen terpenting cerita tersebut. Benni bahkan meninggalkan begitu saja penjelasan mengapa kata “edensor” menjadi bagian dari judul film ini.
Tidak hanya dari naskah cerita, pengarahan Benni pada jalan cerita Laskar Pelangi Sekuel 2: Edensor juga terasa lemah. Plot-plot penceritaan banyak yang dihadirkan tanpa pendalaman yang kuat sehingga gagal memberikan ikatan emosional kepada para penonton. Seringkali terasa membosankan malah. Tata teknis juga mengalami hal yang sama. Penggunaan kota Paris sebagai latar belakang penceritaan terbuang dengan sia-sia akibat ketidakmampuan Benni dalam memanfaatkan kota tersebut lebih banyak ke dalam jalan cerita Laskar Pelangi Sekuel 2: Edensor. Untungnya, film ini masih memiliki departemen akting yang mampu memberikan penampilan akting yang menarik. Meskipun tampak terlalu tua untuk memerankan karakternya, Lukman Sardi jelas sukses membawakan karakter Ikal dengan baik. Chemistry yang ia jalin dengan Abimana Aryasatya – yang tampil sangat lugas sebagai Arai – juga hadir dengan meyakinkan. Penampilan dari aktris cantik Astrid Roos juga berhasil mencuri perhatian dan semakin memperkokoh kualitas departemen akting film ini.
Harus diakui, pencapaian Riri Riza dalam Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi jelas adalah sebuah raihan monumental yang bahkan mungkin tidak akan dengan mudah diikuti oleh sutradara lainnya. Namun, apa yang ditampilkan Benni Setiawan melalui Laskar Pelangi Sekuel 2: Edensor tidak dapat disangkal merupakan sebuah hasil yang benar-benar buruk. Benni sama sekali gagal untuk menghadirkan kelas penceritaan yang sama kuatnya dengan dua seri pendahulu Laskar Pelangi. Dalam penyampaiannya, Laskar Pelangi Sekuel 2: Edensor terasa berjalan tidak tentu arah dalam bercerita sehingga hadir dengan tingkatan emosional yang datar sekaligus membosankan. Beruntung, film ini masih memiliki jajaran pengisi departemen akting yang mampu menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan meskipun dengan penggalian yang sangat jauh dari kesan memadai. Bagaikan Alien 3 (1992) dalam rangkaian seri film Alien (1979 – 1997), Laskar Pelangi Sekuel 2: Edensor adalah bagian terburuk yang kelas kualitasnya berada jauh dibawah dua seri pendahulunya.
Rating :