Meski diisi oleh banyak musisi, Cahaya Kecil bukanlah film tentang musik. Dan meski dipenuhi oleh banyak nyanyian, Cahaya Kecil bukanlah film musikal. Ia adalah sebuah drama domestik tentang hubungan ayah dan anak yang berprofesi sebagai musisi. Tambahkan aspek melodramatis, maka ia diharapkan bisa membuat penonton merasa terharu.
Cahaya Kecil adalah film kesekian dari sutradara yang cukup produktif, Benni Setiawan (Madre, Bangun Lagi Dong Lupus, 3 Hati Dua Dunia Satu Cinta). Bersama Titien Wattimena, ia juga menyambi sebagai penulis skenario. Sebagaimana kebanyakan film arahan Benni Setiawan, Cahaya Kecil pun berkeinginan untuk mengeksplorasi konflik pribadi dan juga eksistensi diri.
Dikisahkan tentang Arya Krisna (Andy /rif), mantan rocker yang berusaha membesarkan putra semata wayangnya, Gilang (Petra Sihombing) sepeninggal sang ibu untuk selamanya (diperankan oleh Happy Salma). Namun, karena perlakuan Arya yang semena-mena pada sang ibu, membuat Gilang menyimpan kebencian pada sang ayah, terlepas usaha keras sang ayah untuk berubah dan mendedikasikan hidupnya untuk sang anak.
Suatu hari, karena sebuah kasus, Arya Krisna harus mendekam di penjara. Mantan manajer Arya Krisna, Abram (Verdi Solaiman), lantas menampung Gilang. Saat melihat potensi Gilang, Abram yang oportunis ini mencoba untuk mengorbitkannya. Atas bantuan seorang produser (Ferry Salim), akhirnya Gilang bisa menuai sukses. Saat Arya Krisna keluar dari penjara, ia harus menelan pil pahit karena Gilang semakin membencinya saja.
Cahaya Kecil beruntung karena didukung oleh para musisi yang ternyata bisa berakting dengan cukup baik. Andy /rif dan Petra Sihombing memang tidak bermain dengan istimewa, akan tetapi mereka cukup mampu untuk menjalankan tugas sebagai ayah dan anak yang tengah mengalami friksi.
Lika-liku dalam Cahaya Kecil sebenarnya bisa saja menjadi materi sebuah sinetron panjang yang penuh dengan twist-and-turn. Karena disampaikan dalam media film yang memiliki keterbatasan durasi, mau tidak mau alur bergerak dengan sangat cepat. Belum lagi faktor kebetulan di sana-sini yang menjadi penyakit film Indonesia masih menghinggapi. Konsekuensinya, penggalian karakter berjalan dengan dangkal dan terjadi simplifikasi terhadap berbagai hal. Ini membuat film seperti rangkaian adegan ketimbang alur kisah yang utuh.
Akan tetapi, terlepas dari kelemahannya, Cahaya Kecil memiliki agenda yang cukup baik. Ia ingin membahas tentang kasih seorang ayah yang tulus mencintai sang anak, tak kalah dari seorang ibu. Ia juga ingin berbicara tentang konsep pengorbanan tanpa pamrih. Baiknya, film tidak jatuh ke berbagai petuah basi yang membosankan.
Dengan dunia musik menjadi latar bagi karakternya, film pun dapat menggali tentang eksistensi menjadi seorang musisi. Musisi arus utama, tentu saja. Secara sederhana, ada satir tentang industri musik Indonesia yang cukup menggelitik. Tentu saja jangan harapkan Cahaya Kecil menjadi sebuah studi mendalam tentang profesi musisi, terutama dalam skena rock, karena pada akhirnya ia hanya menjadi tempelan dalam kisah. Jika diganti dengan profesi lain juga tidak akan melukai garis cerita dan karakterisasi.
Cahaya Kecil agak mengingatkan dengan salah satu film Benni Setiawan lainnya, Bukan Cinta Biasa (2009), yang sama berkisah tentang rocker gaek dan anaknya. Cahaya Kecil juga menyediakan berbagai adegan komedi yang cukup menggelitik. Bedanya, Cahaya Kecil terasa lebih mendayu-dayu ketimbang film tersebut.
Yep, Cahaya Kecil sepertinya memang lebih bertujuan untuk menguras emosi penonton dengan adegan melodramatis ketimbang menggali hubungan ayah dan anak yang mungkin menjadi tujuan awalnya. Adegan akhir yang hadir dengan cukup mengharukan mungkin bisa menjadi penegas akan maksud itu.
Jadi, sudahkan anda menyiapkan tisu?
Rating :