Sinema Indonesia kembali mempersembahkan salah satu hasil produksi terburuknya lewat Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita yang diarahkan oleh Dedi Setiadi – seorang sutradara yang pernah berhasil menjebak Fanny Fabriana untuk tampil dalam sebuah film buruk lain berjudul True Love: Based on the Novel Cinta Sepanjang Amazon by Mira W (2011). Dedi sendiri sebenarnya terlihat berusaha keras untuk menjadikan Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita sebagai sebuah film yang dapat memberikan penontonnya berbagai kenangan manis akan film-film aksi Indonesia yang banyak dirilis pada tahun 1980an dahulu. Sayangnya, tidak ada satupun materi pendukung presentasi film ini yang mampu membuat Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita tampil memuaskan. Hasilnya, kemungkinan besar, Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita justru akan memberikan rasa malu bagi siapapun yang terlibat dalam film ini.
Dengan naskah cerita – jika apa yang terdapat dalam film ini layak disebut sebagai naskah cerita – yang ditulis oleh Didi Surya, Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita berkisah mengenai seorang pria bernama Gatot (Gatot Brajamusti) alias Azrax – walaupun Anda sampai kapanpun tidak akan menemukan arti maupun alasan mengapa ia bisa mendapatkan nama tersebut – yang digambarkan sebagai seorang alim ulama yang memiliki sebuah pesantren – meskipun gambaran tingkah laku kesehariannya jauh dari kesan sebagai seorang yang memiliki pengetahuan agama. Gatot, alias Azrax, adalah sosok yang populer di kampungnya. Tidak hanya terkenal karena sosoknya yang berada dan begitu rendah hati dalam menolong siapapun yang membutuhkan bantuannya namun juga dikenal karena pesonanya yang mampu membuat setiap wanita – khususnya mereka yang masih di bawah umur – jatuh hati serta rela saja jika Gatot alias Azrax ingin memperistrinya.
Suatu hari, Gatot alias Azrax mendapatkan laporan dari kedua puterinya bahwa ada seorang perempuan yang sedang dikejar oleh beberapa penjahat. Tentu saja, layaknya para pahlawan, Gatot alias Azrax lantas segera beraksi dan menghajar para penjahat tersebut. Namun, masalah yang ia hadapi tersebut ternyata hanyalah secuil dari segudang masalah yang akan segera ia hadapi. Entah bagaimana, seluruh gadis yang berada di kampung halaman Gatot alias Azrax bersama-sama mendaftarkan dirinya menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri dan, sialnya, kemudian terjerumus dalam jebakan sindikat mafia penjualan wanita. Para orangtua gadis-gadis tersebut – yang daripada repot melaporkan bahaya yang mengintai anak-anak mereka ke pihak kepolisian – lantas meminta bantuan Gatot alias Azrax untuk membawa pulang kembali para gadis tersebut. Tidak butuh waktu lama, Gatot alias Azrax mulai menyusun rencana dan melakukan perjalanannya dalam menyelamatkan para gadis desa dari cengkeraman bahaya human trafficking.
Tidak hanya bercerita tentang perjuangan karakter Gatot alias Azrax , Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita juga membagi durasi waktu penceritaannya dengan beberapa karakter lain seperti Budi (Yama Carlos) yang seperti karakter Gatot alias Azrax berusaha untuk menyelamatkan keponakannya, seorang wartawati bernama Fanny (Nadine Chandrawinata) yang berusaha menggali lebih dalam tentang organisasi pelaku human trafficking dengan cara (bodoh) menyelundupkan dirinya ke dalam kelompok para korban penjualan wanita serta seorang anggota lembaga swadaya masyarakat sekaligus kekasih Fanny bernama Ricky (Mario Irwinsyah) yang memberikan Fanny informasi mengenai keberadaan organisasi pelaku human trafficking dan dengan bodohnya membiarkan begitu saja sang kekasih menghantarkan nyawanya dengan menyelundup ke dalam organisasi tersebut.
Tema human trafficking yang diemban oleh Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita sebenarnya merupakan sebuah tema penceritaan yang cukup menarik untuk diolah, khususnya jika disajikan dengan unsur aksi a la film-film aksi Indonesia tahuyn 1980an yang banyak dibintangi oleh Barry Prima, Willy Dozan, George Rudy atau Advent Bangun dahulu. Sayangnya, tak satupun elemen pendukung penceritaan Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita mampu menyajikan sebuah jalan penceritaan yang… well… dapat diterima dengan baik oleh akal sehat. Naskah cerita yang ditulis oleh Didi Surya terlihat bagaikan potongan-potongan cerita yang sama sekali gagal untuk berbaur satu sama lain dengan baik. Akibatnya, dari satu adegan ke adegan lain dalam Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita terkesan bagaikan lompatan yang seringkali tidak berhubungan. Hal yang sama juga ditemukan pada penggalian karakter yang terasa nihil. Setiap karakter terasa dihadirkan begitu saja di dalam jalan penceritaan tanpa pernah mampu mendapatkan eksplorasi yang dapat menjelaskan lebih baik latar belakang mereka serta apa sebenarnya kegunaan mereka di dalam jalan cerita.
Jangan tanyakan mengenai pengarahan yang diberikan oleh Dedi Setiadi. Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita nyaris terasa bagaikan hadir tanpa adanya kepemimpinan dari seorang sutradara. Alur cerita dihadirkan dengan begitu berantakan. Kualitas tata produksi, khususnya tata gambar dan sinematografi, tampil begitu buruk. Layak untuk mendapatkan cemoohan maupun tertawaan dari siapapun yang menyaksikannya – Hey! Maybe that’s the actual fun side of this disaster movie. Well… jika ingin masih mencari titik terang dari Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita, penampilan para jajaran pengisi departemen akting film ini, kecuali Gatot Brajamusti yang tampil sebagai diri sendiri dan para pemeran gadis-gadis penggemarnya yang seringkali terlihat kaku, cukup mampu tampil meyakinkan. Sebuah kualitas yang sekaligus memberikan pertanyaan pada penonton mengapa nama-nama seperti Nadine Chandrawinata, Mario Irwinsyah dan Yama Carlos mau bermain dalam film sejenis ini. Selain penampilan departemen akting, tata koreografi aksi film ini juga… yah… tidak tampil begitu buruk – meskipun tidak seorangpun harusnya mengharapkan sebuah tampilan koreografi aksi sekelas The Raid (2012). Cukup menghibur.
Badly directed. Badly written. And badly acted – terlepas dari beberapa penampilan yang masih cukup layak untuk diberikan perhatian lebih. Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita jelas adalah sebuah presentasi yang cukup buruk sehingga mampu membuat setiap penontonnya tertawa dalam menyaksikan berbagai kebodohan yang hadir di dalam jalan penceritaan film ini secara keseluruhan. Namun, tetap saja, betapa besarpun tertawa maupun nilai hiburan yang mampu didapatkan penonton dari film ini, kualitas menyedihkan yang dihadirkan oleh Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita adalah salah satu alasan kuat mengapa banyak masyarakat Indonesia begitu takut untuk menghabiskan pendapatan mereka dalam membeli tiket masuk untuk menyaksikan film yang diproduksi oleh anak negerinya sendiri.
Rating :