Berawal dari hobi masing-masing pembuat filmnya—ada yang suka fotografi dan musik—empat orang anak muda nekat keliling pulau Jawa untuk membuat film, bermodal peralatan yang “sederhana” dan dana hasil patungan di sebuah situs crowdfunding lokal, lahirlah film non-naratif berjudul “Epic Java”. Buat orang seperti saya yang “terjebak” nguli dan “terkurung” rutinitas mencari sesuap nasi (sok sibuk, bro?) di ibukota, serta bisa dibilang jarang yang namanya jalan-jalan, “Epic Java” adalah pelarian saya. Lari dari bermacam aktifitas menjemukkan dan membiarkan imajinasi untuk berkelana sejenak, mencari ketenangan, memberi waktu untuk otak bernafas lega, menghirup keindahan gambar. Walaupun hanya 30 menit, “Epic Java” sudah lebih dari cukup untuk membuka mata saya, ternyata yang namanya surga itu memang ada, tidak hanya satu tapi tersebar di pelosok Jawa. “Epic Java” adalah bagian kecil dari sebuah puzzle yang membentuk surga yang lebih besar bernama Indonesia, negeri yang tidak hanya kaya sumber daya alam tapi luar biasa indah, Tuhan tampaknya sedang ber-mood bahagia pada saat memutuskan untuk menciptakan Indonesia, tanah yang kita pijaki ini. Bersyukur masih ada orang-orang seperti Febian dan kawan-kawan, walau dibatasi modal yang “ala-kadarnya”, tapi apa yang mereka kerjakan tidaklah setengah-setengah, dikemas dengan spektakuler, Pulau Jawa dirangkum begitu indah oleh film ini.
Disutradarai oleh Febian Nurrahman Saktinegara (Merangkum Jakarta)—yang merangkap juga sebagai sinematografer sekaligus editor—apa yang saya tonton, kemudian tak hanya sekedar memanjakan mata dengan gambar pemandangan indah belaka, tapi juga menyeret hati untuk ikut menikmati. Walau kesannya tak ada cerita, bukan berarti “Epic Java” sedang tidak bercerita ketika gambar demi gambarnya silih berganti mengeja kata I-N-D-A-H. Sambil menyajikan berbagai momen menakjubkan yang berhasil diabadikan Febian, “Epic Java” sebenarnya juga sedang menyampaikan ceritanya, dibalik visual-visual megah yang dimulai dari terbitnya sang surya dari ujung timur hingga kembali terbenam di barat, ada tiga fase yang ingin bercerita sambil kita “jalan-jalan”. Ada Surya, dimana nanti “Epic Java” diisi oleh gambar-gambar yang mewakili awal mula penciptaan Bumi, dari laut yang berguncang mengikis bebatuan hingga gunung-gunung api yang menyombongkan kekuatannya. Dilanjutkan oleh fase Sakral dimana visual mulai beralih menyajikan deretan candi yang tampak sedang menyembah langit, disini “Epic Java” menggambarkan kehidupan manusia yang mulai mengenal konsep ketuhanan. Dari sana, kita kemudian diajak melihat fase ketiga, yaitu Priangan, menyaksikkan perjalanan manusia yang telah memasuki ke era modern.
Fase demi fase dalam “Epic Java” benar-benar telah mengajak saya dalam sebuah perjalanan yang tidak akan mudah untuk dilupakan. Dari menginjakkan kaki di Gunung Bromo di Jawa Timur, menelusuri megahnya candi-candi di Jawa Tengah hingga akhirnya menengok berbagai acara kebudayaan di Jawa Barat, tradisional maupun yang modern. Iya, “Epic Java” tak saja melulu soal menangkap lanskap-lanskap menakjubkan dari Pulau Jawa, tapi juga memotret kehidupan di dalam, melihat manusianya, mengintip aktivitasnya, sekaligus mengenal tradisi mereka yang selama ini (mungkin) kurang terekspos. Dari yang sengaja direkam sampai yang tidak sengaja, dari pasir-pasir yang berbisik tertiup angin hingga burung-burung yang berkerumun terbang saling bercengkrama mengelilingi batu karang besar yang berdiri kokoh terkikis ombak. Dari bintang-bintang yang menari hiasi langit malam yang gelap sampai derasnya air yang terjun menghempas bebatuan dibawahnya. “Epic Java” adalah puisi yang membuai rasa, menghasut emosi dan memanjakan indera, saya tidak hanya dibawa pergi untuk sekedar melihat-lihat tapi juga dibisiki cerita yang tidak kalah mempesona. Gambar itu tampak bicara, “Epic Java” berinteraksi dengan caranya sendiri, terkesan berlebihan, tapi diakui begitu film ini memulai perjalanan, saya memang tak lagi seperti ada di ruangan yang sama dengan penonton lain. Tubuh saya mungkin ada di dalam bioskop tapi jiwa saya sebetulnya sudah diajak pergi sejak awal, dituntun masuk ke dalamnya dan dirangkul untuk bareng-bareng berpetualang menapaki surga di Jawa.
30 menit akan berasa singkat, ketika kita sedang asyik-asyiknya menikmati film yang dari awal begitu mudah dicintai, saya ingin meminta lebih, tapi “Epic Java” untuk sekarang hanya bisa memberi segitu. Tidak mau pulang dan tetap disana, menikmati pemandangan dan ceritanya, sekaligus juga mendengarkan keepikan lain yang datang dari scoring film ini. Denny Novandi Ryan tidak hanya hasilkan musik yang melelehkan setiap telinga, tapi juga meluluhkan hati. Setiap gambar yang dituangkan dalam “Epic Java”, semakin hidup dan serasa berbicara ketika Denny memberikan nyawa lewat musik yang diciptakannya. Mengayun-ayunkan mood, mengajak emosi ikut menari bersama gambar-gambar indah yang sedang dilantunkan “Epic Java”. Gambarnya membuat kita terpana, musiknya membuat kita hanyut, hingga saya rela dibawa kemana saja oleh “Epic Java”. Saya berharap akan ada versi lebih panjang, memberi saya waktu lebih banyak mengelilingi Pulau Jawa, bisa jadi tak hanya Jawa, tapi rangkuman-rangkuman epik lain dari pulau lainnya, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi bahkan sampai ke Papua. Semoga Febian dan kawan-kawan bisa mewujudkannya, merangkum Indonesia seindah mereka merangkum epiknya Jawa dalam film ini. Kerja keras selama satu tahun yang setimpal dengan hasilnya, “Epic Java” adalah sebuah karya yang epik.
Rating :