Well… selain 20th Century Fox yang berharap untuk mengulang kembali kesuksesan finansial Percy Jackson and the Lightning Thief (2010) – yang berhasil mengumpulkan total pendapatan lebih dari US$226 juta dari bujet produksi yang “hanya” sebesar US$95 juta, sepertinya tidak ada seorangpun yang benar-benar mengharapkan sebuah sekuel untuk film yang diadaptasi dari seri novel popular Percy Jackson and the Olympians karya Rick Riordan ini. But then again… Hollywood sepertinya masih berusaha keras untuk menemukan pengganti franchise Harry Potter yang meraih kesuksesan global di sepanjang masa rilisnya pada tahun 2001 sampai 2011 yang lalu. Untungnya, meskipun benar-benar terasa medioker, Chris Columbus – yang juga menangani dua seri pertama Harry Potter, Harry Potter and the Sorcerer’s Stone (2001) dan Harry Potter and the Chambers of Secrets (2002), berhasil mengarahkan Percy Jackson and the Lightning Thief menjadi sebuah sajian yang cukup menghibur, khususnya bagi penonton yang berasal dari kalangan muda. Namun, apa yang akan terjadi pada franchise ini ketika Columbus tidak lagi duduk di kursi penyutradaraan?
Bagi mereka yang belum pernah mengenal sosok Percy Jackson sebelumnya – atau memilih untuk melupakan apa yang terjadi pada seri sebelumnya, Percy Jackson (dan bukan Harry – Logan Lerman) adalah seorang remaja yang juga merupakan keturunan dari dewa Yunani, Poseidon. Saat ini, Percy tinggal di Camp Half-Blood bersama dengan para remaja lainnya yang juga merupakan keturunan dewa maupun dewi Yunani – diantara para remaja tersebut, Percy kemudian menjalin persahabatan dengan Grover Underwood (nope… bukan Ron – Brandon T. Jackson) yang merupakan keturunan satyr serta Annabeth Chase (yeah… bukan Hermione – Alexandra Daddario) yang merupakan keturunan dari dewi Athena. Setelah berhasil menyelamatkan tahta kerajaan dewa-dewi Yunani, Percy menjadi sosok legendaris diantara teman-temannya. Walaupun begitu, sebuah permasalahan baru siap datang dan kembali menguji keberanian seorang Percy Jackson.
Percy Jackson: Sea of Monsters memulai penceritaannya ketika masalah tersebut suatu hari muncul setelah sesosok monster berhasil menerobos masuk ke dalam Camp Half-Blood dan mengancam keselamatan para penghuninya. Setelah melalui penyelidikan, dua pimpinan Camp Half-Blood, Dionysus (Stanley Tucci) dan Chiron (Anthony Head), lalu menyadari bahwa pohon berdaya kekuatan magis yang selama ini melindungi Camp Half-Blood telah diracuni dan membuatnya tidak lagi mampu menjaga keamanan Camp Half-Blood dari serangan luar. Untuk menghilangkan racun tersebut, Dionysus dan Chiron kemudian mengirimkan Clarisse La Rue (Leven Rambin) yang merupakan puteri keturunan dewa Ares untuk mencari Golden Fleece yang berada di kawasan Sea of Monsters – atau dikenal sebagai Segitiga Bermuda bagi para manusia biasa. Keputusan untuk mengirimkan Clarisse jelas membuat Percy kecewa. Namun, bersama dengan Grover, Annabeth serta adik tirinya, Tyson (Douglas Smith) yang juga merupakan seorang keturunan Poseidon namun berwujud sebagai cyclops, Percy secara diam-diam berangkat meninggalkan Camp Half-Blood dan memulai sendiri petualangan barunya.
Percy Jackson: Sea of Monsters memang tidak lagi disutradarai oleh Chris Columbus – yang kini lebih memilih hanya untuk duduk di posisi produser. Beruntung, Thor Freudenthal (Diary of a Wimpy Kid, 2010) yang menggantikan posisi Columbus memiliki kapabilitas yang cukup dalam mengendalikan alur penceritaan film ini. Freudenthal sepertinya sadara bahwa Percy Jackson: Sea of Monsters bukanlah sebuah materi yang cukup kuat untuk dihadirkan dengan narasi drama yang mengikat. Karenanya, Freudenthal kemudian memilih untuk menghadirkan Percy Jackson: Sea of Monsters dengan ritme penceritaan yang bergerak begitu cepat serta diiringi dengan deretan adegan aksi plus penataan visual yang harus diakui tampil lebih baik dari seri sebelumnya. Mereka yang menggemari film-film petualangan ringan – atau telah jatuh cinta pada seri pertama film ini – jelas akan menyukai bagaimana arahan baru Freudenthal terhadap Percy Jackson: Sea of Monsters.
Namun, tentu saja, berbagai gimmicks yang dihadirkan oleh Freudenthal jelas tidak akan membutakan mata banyak penonton dan dengan begitu saja melupakan berbagai kelemahan elemen penceritaan yang terdapat dalam film ini. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Marc Guggenheim (Green Lantern, 2011), Percy Jackson: Sea of Monsters masih harus diakui belum mampu meningkatkan kelas franchise ini menjadi sebuah seri film petualangan muda yang layak untuk ditunggu kehadirannya di masa yang akan datang. Kebanyakan konflik maupun adegannya jelas-jelas terasa sebagai potongan-potongan kisah yang telah banyak dihadirkan dalam film-film sejenis buatan Hollywood lainnya. Guggenheim juga tidak begitu mampu menghadirkan penggalian karakter yang menarik bagi deretan karakter yang hadir dalam penceritaan film ini. Kebanyakan karakter tersebut – khususnya karakter-karakter baru – dihadirkan tanpa latar belakang kisah yang kuat dan mampu membuat kehadiran mereka tampil menarik.
Untungnya, karakter-karakter serba datar tersebut mampu terselamatkan oleh petualangan serta aksi yang mereka lakukan dalam cerita dan penampilan para jajaran pengisi departemen akting film ini. Meskipun Percy Jackson: Sea of Monsters tidak lagi memiliki nama-nama seperti Uma Thurman, Sean Bean, Rosario Dawson, Catherine Keener, Pierce Brosnan atau Ray Winstone dalam jajaran departemen aktingnya, namun para pemeran muda film ini mampu tampil begitu dinamis dalam menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan. Logan Lerman – a seriously talented young actor!, Brandon T. Jackson dan Alexandra Daddario – yang mungkin harusnya lebih memperdalam kemampuan aktingnya jika tidak ingin ketinggalan dari dua rekannya, mampu hadir dengan chemistry yang begitu kuat. Para wajah baru seperti Leven Rambin dan Douglas Smith juga mampu tampil kuat dan membaur dengan para jajaran pemeran lama lainnya. Ditambah dengan kehadiran Stanley Tucci, Anthony Head, Jake Abel dan khususnya Nathan Fillion yang begitu mampu mencuri perhatian, rasanya tidak akan ada penonton yang benar-benar merasa kehilangan para jajaran pemeran bernama besar yang dahulu muncul di seri pertama franchise film ini – meskipun beberapa orang jelas akan merindukan kehadiran karakter-karakter dewa maupun dewi Yunani yang mereka perankan.
Dengan kualitas penceritaan yang ditampilkan Percy Jackson and the Lightning Thief serta Percy Jackson: Sea of Monsters, rasanya tidak akan ada seorangpun lagi yang seharusnya mengharapkan bahwa franchise film ini mampu menandingi kedigdayaan seri Harry Potter. Pun begitu, jelas adalah sebuah penilaian yang salah jika menilai kegagalan untuk mencapai kualitas setara Harry Potter adalah sebuah hambatan untuk dapat menikmati seri film ini. Terlepas dari berbagai kelemahannya, Percy Jackson: Sea of Monsters setidaknya tidak tampil lebih buruk dari seri sebelumnya dan masih mampu tampil menghibur lewat tampilan visualnya yang kuat serta pemilihan alur penceritaan yang cepat dari sutradara Thor Freudenthal. Mungkin dunia akan selamanya melihat seri film Percy Jackson and the Olympians sebagai sebuah tiruan murahan dari franchise Harry Potter. But who cares. Meskipun bukanlah sebuah presentasi yang istimewa, namun Percy Jackson: Sea of Monsters tetap mampu memberikan nilai hiburan yang cukup menyenangkan bagi penontonnya.
Rating :