Sejujurnya, saya sudah mulai lelah dengan berbagai film adaptasi dari novel fiksi young adult yang mendadak mewabah usai seri Harry Potter dan Twilight memeroleh respon luar biasa di seluruh dunia. Segera saja, para produser rakus di Hollywood itu latah membeli hak cipta berbagai macam novel fiksi; dari mulai yang laris bak kacang goreng hingga yang nyaris tak terdengar gaungnya, dan dari yang berkualitas jempolan hingga yang seolah asal jadi demi mengikuti tren. Entah sudah berapa macam pengekor yang dilempar ke bioskop hingga kini, namun yang pasti hanya The Hunger Games yang mampu menggaung sementara sisanya cenderung melempem. Seolah belum kapok, City of Bones, jilid pertama dari enam seri The Mortal Instruments karya Cassandra Clare, pun ikut-ikutan dipinang demi diterjemahkan ke dalam bentuk bahasa gambar. Pengharapan dari pihak Constantin Film sebetulnya sederhana saja, mengulang kejayaan dari The Twilight Saga. Namun dengan kualitas penggarapan The Mortal Instruments: City of Bones yang sungguh memprihatinkan, maka pengharapan sederhana ini pun sayangnya menjadi terkesan... muluk-muluk. Duh.
Dalam sisi penceritaan, boleh dibilang The Mortal Instruments: City of Bones mengikuti formula yang telah diterapkan oleh seri laris karangan Stephenie Meyer tersebut. Sekelompok remaja berwajah rupawan kembali ditempatkan di garda terdepan, kisah percintaan terlarang yang njelimet dengan balutan fantasi-horror yang mana di dalamnya turut menghadirkan... vampir dan manusia serigala. Nah lho! Bahkan sejak trailer (yang entah berapa kali diputar oleh pihak 21), kita telah melihat tanda-tanda itu. Trailer yang seolah menjanjikan bahwa film garapan Harald Zwart (The Karate Kid) ini akan lebih mengesankan ketimbang seri manapun dari Twilight, tapi pada akhirnya tidak lebih dari sekadar sebuah jebakan. Sebuah jebakan yang turut memerangkap saya untuk turut mengalami pengalaman dalam ‘menikmati’ mimpi buruk yang berlangsung kurang lebih sepanjang 130 menit. Saya benar-benar berharap ada seorang petugas bioskop yang menghampiri saya, membangunkan saya, dan mengatakan apa yang baru saja saya lalui hanyalah mimpi buruk belaka. Tapi sayangnya, itu tidak pernah terjadi...
Harald Zwart sesungguhnya memulai film dengan menarik. Ya, setidaknya pada 15 menit pertama. Kita diperkenalkan pada sang tokoh utama, yakni seorang gadis cantik bernama Clary (Lily Collins). Kehidupannya normal (tentu saja, pada awalnya), mendiami sebuah apartemen di kawasan Brooklyn bersama sang ibu (Lena Headey) dan kekasihnya (Aidan Turner). Tidak ada yang salah pada dirinya, yah, kecuali dia mulai merasa bisa melihat simbol-simbol aneh yang secara ajaib tidak bisa dilihat oleh orang lain, termasuk sahabatnya, Simon (Robert Sheehan). Tanpa memberi banyak penjelasan dengan maksud untuk menjadikannya sebagai sesuatu yang menarik, film lantas bergerak dengan tempo yang cepat. Tokoh utama lainnya hadir, Jace Wayland (Jamie Campbell Bower), yang lantas disusul dengan raibnya sang bunda. Kemanakah? Usut punya usut, menghilangnya ibu Clary ini rupanya berkaitan erat dengan pencarian Cawan Manusia. Clary yang masih kebingungan dengan apa yang sesungguhnya terjadi (begitu pula dengan saya, Clary!), turut mendapati bahwa dirinya adalah keturunan shadowhunter – pembasmi iblis.
Setelah Jace bergabung bersama Clary dan Simon untuk menggerakkan kisah, maka pada saat itulah kesenangan berakhir. Runtuh secara perlahan-lahan hingga benar-benar habis sudah tak bersisa tatkala Jessica Postigo Paquette, selaku penulis skrip, merajut kisah cinta segi rumit diantara para tokoh. Okay, ini bukan sesuatu yang salah... tapi saat setiap pemain tidak membangun chemistry yang meyakinkan dan malah justru lempeng bukan kepalang, maka ini menjadi salah total. Masing-masing antara Lily Collins, Jamie Campbell Bower, Robert Sheehan, Kevin Zegers, dan Jemima West, seolah sibuk dengan memikirkan keselamatan diri sendiri ketimbang bersatu padu menyelamatkan film dari jurang keterpurukan. Tidak ada keakraban, kehangatan, dan hanya ada rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Para karakter di film ini sama sekali tidak mampu mengundang simpati sehingga sulit untuk menaruh rasa peduli terhadap apa yang mereka alami sepanjang film. Lily Collins yang membuat saya terpesona di Mirror Mirror, sekali ini kembali menjelma sebagai gadis yang menjengkelkan layaknya di Abduction. Sementara Jamie Campbell Bower, ah entahlah saya tidak menemukan dimana letak ‘charming’-nya. Saya hanya ingin menaboknya karena dia bagaikan Horatio dari CSI: Miami yang terus menerus berusaha untuk sok keren.
Jika boleh jujur, The Mortal Instruments: City of Bones sebetulnya dibekali oleh materi dasar yang berpotensi menjelma sebagai suguhan yang mengasyikkan untuk disimak. Hanya saja, baik Harald Zwart maupun Jessica Postigo tertatih tatih dalam meramu ulang formula yang telah disusun oleh Cassandra Clare sehingga apa yang terjadi adalah sebuah kekacauan dalam skala masif. Sulit untuk menanggapi film ini dengan serius, lantaran apa yang terhidang bak sebuah olok-olok untuk The Twilight Saga serta beberapa film populer lain (sebut saja The Chronicles of Narnia, The Exorcist, dan bahkan Ghostbusters!). Menyenangkan setidaknya untuk beberapa belas menit pertama, selanjutnya yang terjadi adalah sebuah gelaran yang menjemukan, melelahkan, menjengkelkan, menyiksa, serta begitu mudah untuk ditebak. Aksi tidak seru, romansa tidak manis, humor garing kriuk-kriuk, dan penuh sesak akan informasi. Menjadi kian menyiksa lantaran jajaran pemain yang tidak mampu menghadirkan chemistry yang meyakinkan (dan terhubung dengan penonton, yang mana ini penting!). Beruntung, ada kontribusi apik dari departemen special effect dan jajaran pengisi soundtrack sehingga hasil akhir pun tidak terlampau buruk, meski selama menonton film ini saya benar-benar bersemangat... untuk segera melangkahkan kaki meninggalkan gedung bioskop. Ah, bahkan New Moon pun tampak seperti sebuah mahakarya untuk saat ini.
Rating :