Nama sutradara asal Afrika Selatan, Neill Blomkamp, mulai mendapatkan perhatian para penikmat film dunia ketika ia mengadaptasi film pendeknya, Alive in Joburg (2006), menjadi sebuah film layar lebar berjudul District 9 (2009) dengan bantuan sutradara trilogi The Lord of the Rings (2001 – 2003), Peter Jackson, sebagai produser film tersebut. Well… singkat cerita, film kecil yang diproduksi dengan bujet hanya sebesar US$30 juta tersebut kemudian sukses meraih pujian dari banyak kritikus film dunia, berhasil mengumpulkan pendapatan komersial sebesar lebih dari US$210 juta dari masa perilisannya di seluruh dunia dan, puncaknya, berhasil meraih empat nominasi di ajang The 82nd Annual Academy Awards, termasuk nominasi di kategori Best Picture dan Best Adapted Screenplay. Kesuksesan tersebut jelas membuka kesempatan lebar bagi Blomkamp untuk mengarahkan sebuah film dengan skala yang lebih besar lagi bagi Hollywood.
Empat tahun kemudian, kesempatan besar itu terwujud dalam bentuk Elysium. Dengan naskah cerita yang juga ditulis oleh Blomkamp, Elysium dibuat dengan bujet produksi yang mencapai hampir empat kali lebih besar daripada District 9 sekaligus dibintangi oleh nama-nama besar Hollywood seperti Matt Damon dan Jodie Foster. Elysium sendiri harus diakui bukanlah sebuah karya yang begitu jauh meninggalkan jejak langkah District 9 dalam penceritaannya – mereka yang telah menyaksikan film tersebut pasti akan dapat merasakan bagaimana Blomkamp tetap mempertahankan gaya satir sosial serta politik yang sama dalam jalan cerita Elysium. Sayangnya, meskipun Elysium mampu ditampilkan dengan skala produksi yang lebih megah – dan hal tersebut terlihat jelas dalam tampilan visual film ini, Elysium kehilangan keintiman emosional cerita yang membuat District 9 begitu mudah dicintai banyak penontonnya. Hasilnya, Elysium akan terlihat seperti saudara dekat District 9 yang sama sekali tidak memiliki nilai lebih yang mampu membuatnya akan diingat banyak orang dalam jangka waktu yang lebih lama setelah berjumpa.
Berlatar belakang di masa depan – tepatnya di tahun 2154, Elysium menggambarkan kondisi Bumi sebagai sebuah tempat yang tak lagi layak untuk ditinggali: populasi penduduk yang terlalu banyak, tingkat polusi yang begitu tinggi serta keberadaan berbagai jenis penyakit yang semakin menyengsarakan setiap umat manusia yang tinggal diatasnya. Kondisi tersebut kemudian mendorong kaum kaya untuk membangun sebuah stasiun luar angkasa mewah bernama Elysium dimana mereka dapat meninggalkan Bumi yang sengsara dan hidup dengan kondisi kehidupan yang lebih baik bersama orang-orang yang mereka sayangi.
Tentu saja, seluruh kemewahan yang dimiliki Elysium hanyalah sebuah mimpi bagi orang-orang miskin seperti Max Da Costa (Matt Damon) – seorang mantan penjahat yang kini sedang mencoba menata kembali kehidupannya dengan bekerja di sebuah pabrik penghasil robot milik jutawan John Carlyle (William Fichtner). Namun, ketika suatu hari Max mengalami kecelakaan dalam pekerjaannya dan mendapatkan vonis dokter bahwa dirinya hanya akan dapat hidup selama lima hari lagi, Max tahu bahwa ia harus segera berangkat ke Elysium untuk menggunakan sebuah perlengkapan medis yang dapat menyembuhkan segala jenis penyakit dan hanya bisa didapatkan di wilayah tersebut. Jelas bukan sebuah usaha yang mudah karena Elysium telah dilengkapi dengan berbagai jenis pengamanan tingkat tinggi untuk menyingkirkan siapa saja yang memasuki kawasan elit tersebut tanpa izin dari pemerintah yang berkuasa.
Dengan bujet produksi sebesar US$115 juta, penonton tentu dapat dengan mudah mengharapkan tampilan visual yang megah sekaligus meyakinkan akan visi seorang Neill Blomkamp baik mengenai kondisi Bumi yang begitu menyedihkan di masa yang akan datang maupun tampilan lingkungan mewah Elysium yang menjadi tempat pelarian para penduduk Bumi dengan tingkat kesejahteraan yang jauh lebih baik. And it works really goo… great! Dengan bantuan sinematografer Trent Opaloch – yang sebelumnya juga bekerjasama dengan Blomkamp lewat District 9, Blomkamp mampu memberikan gambaran yang keras akan kondisi Bumi dalam keadaan terburuknya. Dan dengan… well… bujet produksi yang besar, Blompkamp mampu memaksimalkan penggunaan teknologi CGI sekaligus mengarahkannya untuk menghasilkan gambaran yang nyata mengenai angkasa luar dan kemewahan alam sekitar Elysium.
Hal yang sama, sayangnya, tidak dapat dikatakan pada kualitas penceritaan film ini. Jika District 9 menyajikan sebuah inovasi tampilan visual science fiction yang membuai dengan berbagai sentuhan penceritaan mengenai kondisi sosial dan politik pada dua pertiga bagian awal cerita sebelum kemudian bergerak menuju sepertiga bagian akhir yang lebih banyak diisi dengan adegan aksi, maka Elysium justru tampil sebaliknya. Sepertiga penceritaan awal film ini mampu dengan cerdas menampilkan berbagai refleksi bagaimana kondisi sosial, politik serta hukum yang banyak terjadi di kalangan masyarakat modern saat ini namun secara cepat bagian penceritaan tersebut bertransisi menjadi penceritaan yang lebih mementingkan adegan-adegan aksi, ledakan, plot cerita yang semakin tidak terarah sekaligus dialog-dialog yang cenderung klise. Blomkamp harus diakui masih mampu menahan beban penceritaan tersebut dengan cukup baik sehingga Elysium tidak pernah benar-benar tampil buruk. Namun secara keseluruhan, Elysium juga tidak dapat dirasakan sebagai sebuah presentasi cerita yang benar-benar mampu memuaskan para penontonnya, khususnya mereka yang mengharapkan lebih dari sekedar pameran adegan aksi dari sebuah film science fiction.
Masalah juga dapat dirasakan terjadi pada pengembangan karakter-karakter yang dihadirkan dalam Elysium. Tidak ada satupun karakter yang benar-benar mampu tergarap dengan baik, termasuk sang karakter utama, Max Da Costa, yang bahkan sulit dirasakan dapat meraih perhatian penonton untuk kemudian merasakan berbagai perjuangan yang harus ia lalui di sepanjang penceritaan film. Karakter-karakter antagonis, seperti Jessica Delacourt (Jodie Foster), Agent C.M. Kruger (Sharlto Copley) dan John Carlyle (William Fichtner) juga tampil tanpa karakterisasi yang istimewa. Untungnya, karakter-karakter yang dangkal tersebut diperankan oleh aktor maupun aktris yang mampu dengan baik menghidupkan setiap peran mereka. Adalah mudah untuk mengatakan bahwa para jajaran pemeran film ini jauh lebih berkualitas dalam menampilkan peran mereka daripada peran-peran yang diberikan kepada mereka sendiri.
Lewat District 9, Neill Blomkamp mampu membuktikan bahwa sebuah film science fiction mampu tampil cerdas dengan menyelaraskan jalan cerita yang dipenuhi refleksi kondisi sosial dan politis masyarakat modern dengan deretan adegan aksi yang tetap mampu tampil kuat sekaligus menegangkan. Sayangnya, Blomkamp sepertinya sedikit kehilangan arah dalam menyusun naskah cerita Elysium. Mereka yang telah menyaksikan District 9 mungkin masih dapat merasakan bagaimana Blomkamp berusaha mengulangi kesuksesan penceritaan yang sama pada Elysium. Namun, dengan jalan cerita yang seringkali terlihat bergerak tanpa arah yang jelas serta karakter-karakter yang gagal untuk tergali dengan baik – plus rangkaian pesan sosial yang kali ini terlihat begitu dipaksakan untuk berada di dalam jalan cerita, Elysium justru menjadi sejenis film science fiction yang mungkin telah begitu dihindari Blomkamp di sepanjang karirnya: sebuah film science fiction yang murni hanya menawarkan tampilan teknologi dan visual dari masa depan tanpa pernah mampu membuatnya menjadi sebuah presentasi yang terhubung dengan masa sekarang. Bukan sebuah karya yang benar-benar buruk, namun Elysium jelas tampil terlalu dangkal untuk mencapai kedalaman yang pernah diraih District 9.
Rating :