Diadaptasi dari novel berjudul sama karya Tere Liye – yang dua novel sebelumnya, Hafalan Shalat Delisa (2011) dan Bidadari-Bidadari Surga (2012), berhasil memperoleh kesuksesan ketika juga diadaptasi menjadi sebuah film layar lebar, Moga Bunda Disayang Allah memulai kisahnya dengan sebuah tragedi kecelakaan kapal laut yang dialami oleh seorang pemuda bernama Karang (Fedi Nuril). Karang sendiri berhasil selamat dalam kecelakaan tersebut. Sayang, Karang gagal untuk turut menyelamatkan rombongan anak-anak yang ia bawa untuk tujuan berdarmawisata dalam perjalanan tersebut. Tragedi tersebut kemudian meninggalkan trauma serta luka yang mendalam pada jiwa Karang dan mengubahnya dari seorang yang begitu antusias dalam menjalani hidup menjadi seorang penyendiri yang memilih untuk menghabiskan kesehariannya dengan meminum minuman keras.
Beberapa tahun kemudian, Karang mendapat kunjungan dari Bunda HK (Alya Rohali) yang kemudian memintanya untuk menjadi seorang guru bagi puterinya, Melati (Chantika Zahra), yang memiliki kekurangan fisik tidak dapat melihat, mendengar maupun berbicara dan membuatnya tidak dapat berkomunikasi dengan dunia sekitarnya. Kedatangan Bunda HK sendiri terjadi atas rekomendasi Kinarsih (Shandy Aulia), seorang dokter cantik yang dahulu pernah dekat dengan sosok Karang dan mengenalnya sebagai seorang pria yang sangat mencintai anak-anak. Jelas Bunda HK merasa cukup terkejut dengan sosok Karang yang kini ia hadapi. Namun, Bunda HK tetap memilih untuk memberikan kesempatan pada Karang untuk berusaha menjadi guru bagi Melati. Walau awalnya menolak, Karang akhirnya mengambil kesempatan tersebut. Sebuah kesempatan yang akhirnya mampu mengubah kepribadian Karang yang muram untuk selama-lamanya.
Kolaborasi ketiga antara sutradara, Jose Poernomo, penulis naskah, Riheam Junianti, serta aktris, Shandy Aulia, setelah kesuksesan Rumah Kentang (2012) dan 308 (2013) sayangnya sama sekali tidak dapat dikatakan sebagai sebuah usaha yang lebih baik dari dua film horor tersebut. Entah terpengaruh dengan materi asli novelnya – yang disebut-sebut sebagai sebuah adaptasi dari kisah nyata Helen Keller yang sempat tertuang dalam film pemenang Academy Awards, The Miracle Worker (1962) – atau memang kualitas penulisan naskah Riheam Junianti yang memang… well… begitu-begitu saja, Moga Bunda Disayang Allah sayangnya tidak lebih dari sebuah film yang berusaha untuk menginspirasi maupun menyentuh para penontonnya namun melakukannya secara berlebihan sehingga sama sekali tidak pernah terasa tulus atau terlihat meyakinkan.
Permasalahan utama film ini jelas terletak pada karakter-karakter yang dihadirkan secara terlalu dangkal di sepanjang penceritaan film. Riheam gagal memberikan karakter-karakter ini latar belakang maupun motivasi yang dapat membuat mereka mampu memperoleh perhatian penonton. Akibatnya, karakter-karakter dalam Moga Bunda Disayang Allah acapkali tampil dalam melodrama klise yang digambarkan cenderung bodoh dan jauh dari batas kewajaran. Daripada merasa terhubung dengan kisah masing-masing karakter, kebanyakan penonton mungkin akan lebih memilih untuk melihat karakter-karakter tersebut segera menghilang dari dalam jalan penceritaan. Kekurangan ini masih ditambah dengan jalan penceritaan yang cenderung berantakan pada kebanyakan bagian – termasuk ending yang terlalu dipaksakan keberadaannya – serta dialog-dialog yang seringkali terasa menggelikan untuk didengar.
Dengan karakterisasi yang (terlalu) dangkal, wajar jika para jajaran pengisi departemen akting film ini terlihat kesulitan untuk menghidupkan karakter-karakter yang mereka perankan. Donny Damara, Alya Rohali serta Chantika Zahra mungkin masih mampu memberikan penampilan yang setidaknya jauh dari kesan buruk. Namun hal yang berbeda jelas tidak dapat diungkapkan dari penampilan Fedi Nuril dan Shandy Aulia. Fedi, tampil dengan tata rias yang terlihat begitu palsu – yang mengingatkan pada penampilan Nirina Zubir dalam Bidadari-Bidadari Surga, terlihat begitu terjebak dalam penampilannya sebagai Karang. Chemistry yang ia hadirkan bersama Chantika Zahra dan Shandy Aulia juga gagal tampil meyakinkan – sebuah elemen yang seharusnya sangat dibutuhkan bagi film-film sejenis. Sementara Shandy Aulia… well… she’s Shandy Aulia. Dan dengan karakter yang hadir dengan peran yang terlalu terbatas seperti Kinarsih, tidak ada yang dapat dilakukan Shandy untuk dapat memberikan penampilannya nuansa yang lebih dalam lagi.
Well… seperti kebanyakan film-film yang dihasilkan oleh Jose Poernomo, Moga Bunda Disayang Allah setidaknya tetap dihadirkan dengan kualitas produksi yang cukup meyakinkan. Bahkan tata musik arahan Melly Goeslaw dan Anto Hoed kali ini juga tidak terasa terlalu mengganggu seperti biasanya. Namun, keunggulan teknis dan artistik tersebut jelas tidak dapat menutupi lemahnya kualitas penceritaan film yang berdurasi sepanjang 120 menit ini. Karakter-karakter yang dangkal serta jalan cerita yang tampil terlalu lemah membuat Moga Bunda Disayang Allah gagal untuk tampil menarik dalam sepanjang penceritaannya. Daripada menjadi sebuah film (yang maunya bernuansa) relijius serta mampu menginspirasi dan menyentuh penontonnya, Moga Bunda Disayang Allah lebih sering tampil bertele-tele dan terlalu dipaksakan kehadirannya.
Rating :