Diperankan oleh Hugh Jackman – yang sepertinya memang terlahir untuk memerankan karakter ini dan kemudian memperoleh popularitas yang semakin besar karenanya, penikmat film dunia diperkenalkan pada karakter Logan alias Wolverine beserta kisah latar belakang kehidupannya melalui dua film seri X-Men (2000 – 2003) arahan Bryan Singer dan satu seri lainnya (X-Men: The Last Stand, 2006) arahan Brett Ratner sebelum akhirnya karakter tersebut mendapatkan filmnya sendiri melalui X-Men Origins: Wolverine arahan Gavin Hood di tahun 2009. Film prekuel tersebut, sayangnya, gagal melanjutkan kesuksesan penceritaan tiga film seri X-Men sebelumnya dan bahkan menenggelamkan karakter Wolverine dengan kehadiran banyak karakter mutan baru – dua diantaranya, Deadpool dan Gambit, bahkan direncanakan akan mendapatkan film mereka tersendiri. Secara sederhana, X-Men Origins: Wolverine justru tidak memberikan ruang yang cukup bagi sang karakter utama untuk menjadi bintang dalam filmnya sendiri.
Well… kesalahan itulah yang coba dihindari James Mangold (Knight and Day, 2010) – yang sebelumnya pernah mengarahkan Jackman dalam film komedi romantis, Kate & Leopold (2001) – dalam meramu The Wolverine. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh duo Mark Bomback (Total Recall, 2012) dan Scott Frank (Marley & Me, 2008) berdasarkan komik berjudul Wolverine karya Chris Claremont dan Frank Miller yang dirilis pada tahun 1982, The Wolverine benar-benar menempatkan karakter Logan/Wolverine sebagai perhatian utama dari jalan cerita yang dihadirkan – yang ditampilkan lewat tema penceritaan mengenai pencarian jati diri serta usaha untuk berdamai dengan masa lalu yang kelam. Pendekatan personal yang dilakukan Mangold harus diakui mampu memberikan kualitas penceritaan yang lebih baik bagi The Wolverine jika dibandingkan dengan X-Men Origins: Wolverine. Pun begitu, lemahnya fokus penceritaan di beberapa bagian serta kedangkalan beberapa karakter yang dihadirkan tetap saja gagal membuat The Wolverine untuk dapat tampil menarik sepenuhnya di sepanjang 126 menit durasi penceritaannya.
Dengan jalan cerita yang melanjutkan kisah X-Men: The Last Stand dan X-Men Origins: Wolverine secara sekaligus, The Wolverine memulai kisahnya dengan rangkaian mimpi yang dialami oleh Logan (Jackman) dimana ia dibawa kembali kepada dua kenangan di masa lalunya – sebuah kenangan mengenai dirinya yang menyelamatkan seorang tentara Jepang bernama Yashida (Ken Yamamura/Haruhiko Yamanouchi) dalam Perang Dunia II serta bayangan akan kekasihnya yang telah meninggal dunia, Jean Grey (Famke Janssen), yang sepertinya terus mengikuti Logan/Wolverine kemanapun ia beranjak. Pertemuannya dengan seorang mutan yang memiliki kemampuan untuk melihat masa yang akan datang, Yukio (Rila Fukushima), kemudian membawa Logan kembali ke Jepang untuk menemui Yashida.
Yukio sendiri sebenarnya memang ditugaskan Yashida untuk mencari keberadaan Logan/Wolverine dan membawanya ke Jepang dengan alasan bahwa kondisi kesehatan Yashida saat ini sedang berada dalam tahap yang kritis dan ia ingin berterimakasih secara langsung kepada Logan yang pernah menyelamatkan nyawanya. Namun, setibanya Logan di Jepang, rasa terima kasih bukanlah satu-satunya hal yang diberikan oleh Yashida kepada mutan tersebut. Yashida juga menjelaskan bahwa kematian dirinya nanti akan menempatkan cucunya, Mariko Yashida (Tao Okamoto), dalam bahaya yang dapat mengancam nyawanya. Logan pada awalnya menolak untuk turut campur dalam masalah keluarga yang sedang dihadapi Yashida. Namun, setelah menjadi saksi langsung bagaimana ancaman tersebut benar-benar datang pada Mariko Yashida, Logan akhirnya bertekad untuk melindungi gadis tersebut. Di saat yang sama, bayang-bayang akan Jean Grey terus menghantui Logan dan seringkali membuatnya lengah akan berbagai bahaya yang sedang mengincarnya.
Fokus untuk menghadirkan sisi yang lebih personal pada sosok Logan/Wolverine harus diakui mampu memberikan sudut pandang yang lebih menarik bagi penceritaan The Wolverine. Namun, di saat yang bersamaan, tidak dapat disangkal bahwa naskah cerita yang ditulis oleh Mark Bomback dan Scott Frank masih dihiasi dengan berbagai kelemahan yang membuat The Wolverine terkesan terhambat untuk mampu menghadirkan jalan penceritaan yang lebih kuat lagi. Beberapa masalah tersebut datang dari pengelolaan jalan cerita yang cenderung terlalu berfokus pada masalah-masalah klise dimana karakter Logan/Wolverine sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk berkembang didalamnya, paruh ketiga penceritaan yang akhirnya terkesan merupakan sebuah jalur cepat untuk menyelesaikan semua permasalahan serta kehadiran banyak karakter pendukung yang kemudian gagal untuk mendapatkan pengembangan karakter maupun plot penceritaan yang mumpuni. Pengarahan James Mangold terhadap alur penceritaan The Wolverine juga beberapa kali sempat menghadirkan masalah ketika Mangold memilih untuk menyajikan pengisahan The Wolverine dengan alur yang terlalu bertele-tele sebelum akhirnya benar-benar mampu bergerak secara dinamis.
The Wolverine tidak sepenuhnya buruk. Meskipun sama sekali tidak mengandalkan sajian aksi yang sebombastis kebanyakan film-film musim panas yang dirilis pada tahun ini, Mangold berhasil menghadirkan tatanan visual dan efek yang begitu meyakinkan setiap kali mengelola elemen aksi yang terdapat dalam jalan cerita The Wolverine – adegan pertarungan antara karakter Logan/Wolverine dengan salah satu karakter antagonis di atas kereta api merupakan salah satu adegan aksi terbaik yang mampu ditawarkan sebuah film Hollywood di sepanjang tahun ini. Karakter Logan/Wolverine juga mampu dihadirkan dengan begitu humanis. Logan/Wolverine tetap hadir sebagai sosok yang sulit untuk dikalahkan, namun Mangold tetap mampu memanusiakan karakter tersebut dengan sentuhan berbagai perjuangan sisi personal yang dihadapi Logan/Wolverine dalam keseharian hidupnya.
Dan tentu saja, Hugh Jackman kembali menghadirkan penampilan terbaiknya sebagai sang karakter utama. Tidak hanya mampu menghidupkan karakter tersebut dengan bentuk fisik yang sangat meyakinkan, Jackman juga berhasil menghembuskan nafas dramatisasi yang kuat pada setiap sisi personal Logan/Wolverine yang kali ini menjadi fokus utama penceritaan. Karakter-karakter pendukung dalam jalan penceritaan The Wolverine memang kurang mampu dihadirkan mendalam, namun jajaran pemeran yang kebanyakan diisi oleh jajaran aktor maupun aktris asal Jepang mampu menghidupkan dengan cukup baik karakter-karakter pendukung tersebut – khususnya Rila Fukushima yang memerankan karakter Yukio dan seharusnya mendapatkan porsi penceritaan yang lebih besar dari Tao Okamoto yang berperan sebagai Makio Yashida dan tampil datar pada kebanyakan penampilannya. Aktris asal Rusia, Svetlana Khodchenkova, yang memerankan karakter Viper juga mampu mencuri perhatian meskipun dengan plot penceritaan yang benar-benar dangkal.
Di satu sisi, The Wolverine jelas adalah sebuah kualitas presentasi cerita yang seharusnya dimiliki oleh X-Men Origins: Wolverine beberapa tahun lalu: memiliki fokus yang jelas dan lebih terasa personal pada sosok sang karakter utama. Ditambah dengan kehadiran kualitas produksi serta penampilan Hugh Jackman yang tetap prima, adalah mudah untuk menempatkan kualitas The Wolverine berada diatas beberapa seri film yang mengisi franchise X-Men. Meskipun begitu, beberapa kelemahan penulisan cerita yang hadir dari sisi pengembangan plot cerita utama serta karakter-karakter pendukung yang dihadirkan jelas tidak dapat dipungkiri membuat penampilan The Wolverine secara keseluruhan, sekali lagi, menjadi kurang istimewa. Mungkin sudah saatnya Hollywood melupakan ide mengenai memberikan setiap personel X-Men film mereka masing-masing dan terus menghadirkan mereka sebagai satu presentasi yang utuh. Sebuah usaha yang cukup meyakinkan… namun masih jauh dari kesan sebagai sebuah presentasi yang istimewa.
Rating :