Review

Info
Studio : Hitmaker Studios
Genre : Horror
Director : Jose Poernomo
Producer : Rocky Soraya
Starring : Shandy Aulia, Denny Soemargo, Gilang Dirga, Ki Kusumo, Kartika Putri, Sylvia Fully R

Kamis, 13 Juni 2013 - 08:05:52 WIB
Flick Review : 308
Review oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 2522 kali


Heeeee’s baaaack! Jose Poernomo kembali hadir dengan membawakan sebuah film horor yang, tentu saja, berkisah tentang berbagai lokasi yang dianggap memiliki aura mistis di berbagai wilayah Indonesia. Kembali bekerjasama dengan penulis naskah Riheam Junianti serta aktris Shandy Aulia setelah sebelumnya sukses dalam Rumah Kentang (2012), lewat 308, Jose mencoba untuk bercerita mengenai keberadaan sebuah kamar hotel misterius dan keterkaitannya dengan salah satu tokoh mistis legendaris yang sebenarnya telah dieksplorasi oleh banyak film horor Indonesia: Nyi Roro Kidul. Sejujurnya, Jose Poernomo pernah hadir dengan kualitas film yang jauh lebih buruk dari 308. Namun tetap saja, dengan dukungan penggalian naskah cerita dan penampilan jajaran pemeran yang begitu minimalis, masih terasa sulit untuk dapat memberikan kredit lebih bagi film ini.

308 berkisah mengenai Naya (Shandy Aulia), seorang gadis yang baru lulus kuliah dan sedang menemui masa-masa sulit dalam mendapatkan pekerjaan. Akibat hal tersebut, kehidupan Naya dan adiknya, Aira (Yafi Tesa Zahara), seringkali harus berada dalam kondisi perekonomian yang serba kekurangan. Beruntung, Naya kemudian mendapatkan telepon dari dua teman kuliahnya, Caca (Kimberly Ryder) dan Jefri (Marcell Domits), yang menawarkan padanya sebuah pekerjaan di hotel yang dipimpin oleh Sena (Denny Sumargo). Sena sendiri adalah sahabat Jefri yang semenjak lama telah menyukai Naya. Karenanya, tidak mengherankan jika kemudian Sena memberikan pekerjaan tersebut dengan mudah kepada Naya sekaligus membiarkan Naya membawa Aira untuk tinggal di hotel bersamanya.

Ketika Naya memulai masa bekerjanya di hotel tersebut, hotel tersebut ternyata harus mengalami penutupan selama seminggu untuk melakukan pengasapan malaria dan demam berdarah. Pun begitu, Naya diharuskan untuk tetap tinggal di hotel tersebut bersama dengan Sena serta beberapa karyawan lainnya, Erin (Kartika Putri), Prila (Sylvia Fully R), Dudi (Gilang Dirga) dan Harlan (Ki Kusumo), untuk tetap merawat serta menata kamar-kamar hotel tersebut. Oleh Sena, Naya mendapatkan kebebasan untuk tinggal dan melakukan apapun kecuali mendekati atau membuka pintu kamar bernomor 308 – walaupun Sena sama sekali tidak memberikan penjelasan mengapa larangan tersebut diberlakukan. Awalnya, Naya menurut saja terhadap peraturan tersebut. Namun, seiring dengan terus terjadinya berbagai hal-hal aneh di hotel tersebut,  rasa penasaran Naya terhadap kamar hotel bernomor 308 semakin memuncak dan lantas menggiringnya untuk memasuki kamar hotel terlarang itu.

Good news: Sebagaimana film-film horor yang pernah ia arahkan sebelumnya, Jose Poernomo tetap mampu menghadirkan kualitas teknis yang cukup mumpuni untuk presentasi jalan cerita 308. Terlepas dari sebuah adegan akhir yang melibatkan penggunaan efek visual yang terlihat begitu kasar, 308 secara keseluruhan hadir dengan tata teknis yang jauh dari kesan buruk maupun murahan. Jose juga sepertinya berusaha untuk menyajikan 308 sebagai sebuah film horor yang mengandalkan atmosfer kengerian suasana cerita daripada menyajikan deretan adegan kejutan yang biasanya selalu menghiasi film-film horor Indonesia. Dieksekusi dengan cukup rapi, meskipun seringkali tidak begitu terlalu mampu untuk menjadikan 308 sebagai sebuah film horor yang efektif.

And now onto the bad news… Sayangnya, hampir semua hal kecuali yang telah disebutkan diatas memiliki kualitas presentasi yang lumayan menyedihkan. Yang terburuk tentu saja adalah naskah cerita arahan Riheam Junianti yang sepertinya mengulang berbagai kelemahan yang ia lakukan pada Rumah Kentang dan bahkan memperburuknya. Dalam naskah arahan Riheam, 308 hadir tanpa penggalian karakter yang jelas. Lihat bagaimana karakter Naya dan Aira dikisahkan sebagai dua orang bersaudara yang hidup dengan kondisi perekonomian yang sulit tanpa pernah benar-benar dikisahkan bagaimana mereka dapat berada di kondisi tersebut. Tidak hanya kedua karakter tersebut, karakter-karakter lain yang ada di dalam jalan cerita film ini juga hadir tanpa pola penceritaan yang kuat. Kebanyakan karakter tersebut hadir hanya menjadi pelengkap plot penceritaan belaka tanpa pernah hadir dalam kapasitas yang benar-benar esensial.

Selain karakter, plot penceritaan 308 juga hadir dalam kualitas yang sepertinya telah dan akan selalu menjadi ciri khas seorang Riheam Junianti: jalan cerita yang cenderung klise bagi sebuah film horor, dialog-dialog yang seringkali terdengar menggelikan hingga deretan karakter yang terus-menerus melakukan berbagai tindakan bodoh. Pada satu titik… 308 bahkan menjadi lebih efektif untuk memberikan hiburan (baca: bahan tertawaan) bagi para penontonnya daripada menghasilkan deretan kengerian dan teror horor bagi mereka. Beralih ke departemen akting, para jajaran pemeran 308 tampil dalam kapasitas yang seadanya. Tidak mengecewakan atau benar-benar buruk, namun jelas bukanlah sebuah penampilan akting yang mampu membuat kualitas film ini secara keseluruhan menjadi lebih baik. Penampilan Shandy Aulia, Denny Sumargo bahkan Ki Kusumo terasa terselamatkan akibat karakter-karakter yang mereka perankan memang tidak membutuhkan penggalian emosi yang begitu mendalam sehingga penampilan mereka yang seadanya telah cukup mampu untuk mengalirkan jalan cerita film ini.

Walau harus diakui 308 masih mampu sedikit tampil lebih baik daripada dua film Jose Poernomo sebelumnya, Rumah Kentang dan  KM 97 (2013), namun jelas hal tersebut tidak akan dapat berbicara banyak mengenai kualitas film ini. 308 kembali mampu membuktikan bahwa Jose Poernomo adalah seorang sutradara yang memiliki visi visual yang cukup kuat dan ia berhasil menghadirkannya melalui tata teknis yang terlihat meyakinkan di kebanyakan bagian presentasi film ini. Namun ketika berhubungan dengan naskah cerita serta penggalian karakter-karakter yang disajikan, 308 jelas terasa seperti tidak terlalu mempedulikan bagian krusial tersebut dan justru lebih memilih untuk mencoba menghadirkan kengerian melalui tata atmosfer serta tampilan visual belaka. Mungkin beginilah kualitas presentasi film yang dapat dipersembahkan oleh seorang Jose Poernomo? Tata teknis yang rapi, alur cerita yang cukup mampu mengalir namun dengan dasar penceritaan dan karakter yang benar-benar terasa lemah? We’ll see in his future movies. Secara kesleuruhan, 308 tampil sebagai sebuah film horor dengan nada penceritaan yang cukup buruk namun berhasil diselimuti dengan tampilan teknikal yang meyakinkan.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.