Review

Info
Studio : Rapi Films
Genre : Biography, Drama, History
Director : Rako Prijanto
Producer : Gope T. Samtani
Starring : Ikranagara, Adipati Dolken, Agus Kuncoro, Dayat Simbaia, Christine Hakim

Rabu, 05 Juni 2013 - 09:34:48 WIB
Flick Review : Sang Kiai
Review oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 2668 kali


Rako Prijanto makes a really bold move with Sang Kiai. Sutradara yang sebelumnya lebih banyak mengarahkan film-film drama romansa serta komedi seperti Ungu Violet (2005), Merah Itu Cinta (2007) hingga Perempuan-Perempuan Liar(2011) ini mencoba untuk keluar dari zona nyamannya dengan mengarahkan sebuah film biopik mengenai Hasyim Asy’ari yang merupakan salah satu tokoh perjuangan kemerdekaan sekaligus pendiri organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Again, it’s a really bold move… dan Rako jelas terlihat memiliki visi yang kuat mengenai jalan cerita yang ingin ia hantarkan. Namun sayangnya, naskah arahan Anggoro Saronto (Malaikat Tanpa Sayap, 2012) justru kurang berhasil untuk tampil kuat dalam bercerita, kehilangan fokus di banyak bagian dan, yang terlebih mengecewakan, menyia-nyiakan kesempatan untuk dapat mengenalkan dengan lugas sosok besar Hasyim Asy’ari kepada penonton modern.

Jalan cerita Sang Kiai dimulai pada tahun 1942, dimana tentara Jepang di kala itu mulai memasuki wilayah Indonesia setelah memukul mundur pasukan tentara Belanda. Kedatangan tentara Jepang sendiri awalnya banyak dielu-elukan akibat propaganda Jepang yang berusaha menarik simpati masyarakat Indonesia dengan menggelar slogan bahwa Jepang adalah saudara tua bangsa Asia, termasuk bangsa Indonesia. Namun, secara perlahan, Jepang mulai melakukan masa penjajahannya di Indonesia – bahkan bertindak lebih buruk daripada tentara Belanda. Tentara Jepang di Indonesia juga mulai memberlakukan berbagai peraturan yang menindas harkat martabat rakyat Indonesia seperti melarang pengibaran bendera merah putih, melarang lagu Indonesia Raya dan memaksa rakyat Indonesia untuk melakukan penghormatan kepada Matahari – yang dianggap sebagai dewa oleh rakyat Jepang.

Aturan untuk melakukan penghormatan terhadap Matahari– yang jelas menyimpang dan melanggar akidah Islam – kemudian mendapatkan perlawanan dari banyak ulama dan tokoh agama di berbagai wilayah Indonesia, termasuk dari Hasyim Asy’ari (Ikranegara) yang merupakan pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur sekaligus merupakan salah satu ulama yang paling dihormati dan berpengaruh di tanah Jawa. Karena tindakannya tersebut, Hasyim Asy’ari lalu ditangkap oleh tentara Jepang dan dijebloskan ke dalam penjara. Tidak tinggal diam, para anak-anak sekaligus santri pimpinan Hasyim Asy’ari mulai mencari cara untuk membebaskan sang kiai. Walau membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama, Hasyim Asy’ari kemudian berhasil dibebaskan. Namun, pembebasan Hasyim Asy’ari tidak lantas membuat Jepang berhenti menindas masyarakat Indonesia. Dari titik itulah, masyarakat Indonesia, khususnya umat Muslim, mulai menggalang kekuatan untuk saling bekerjasama dalam melawan penjajahan tentara Jepang.

First of all… Rako Prijanto jelas memiliki visi yang cukup kuat untuk Sang Kiai. Hal ini dapat terlihat dari kemampuan Rako dalam menghadirkan atmosfer masa-masa perjuangan melawan penjajahan tentara Jepang yang begitu autentik dalam filmnya. Didukung dengan departemen artistik yang handal, Rako mendapatkan kualitas terbaik untuk tata kostum, tata rias dan rambut hingga desain produksi yang begitu mampu menunjang maupun membawa setiap penonton Sang Kiai untuk larut dalam jalan cerita film ini. Arahan sinematografi dari Muhammad Firdaus serta tata musik karya Aghi Narottama juga berhasil menghadirkan tambahan emosional yang (benar-benar) dibutuhkan Sang Kiai.

But then… if story really is your King… dan Anda adalah salah seorang penonton film biopik yang mengharapkan untuk mendapatkan sajian cerita yang mampu mengenalkan lebih dekat karakter Hasyim Asy’ari, maka bersiaplah untuk merasa kecewa terhadap Sang Kiai. Ironisnya, karakter Hasyim Asy’ari – karakter yang diberikan julukan “sang kiai” oleh judul film ini, justru adalah karakter yang gagal untuk dapat dikembangkan dengan baik oleh naskah cerita arahan Anggoro Saronto. Memang, pada awalnya karakter Hasyim Asy’ari mendapatkan porsi penceritaan yang utama, dimanaSang Kiai memberikan ruang yang cukup luas bagi karakter tersebut untuk mendapatkan penggalian mengenai latar belakang, jalan pemikiraan hingga kehidupan kesehariannya. Namun, entah mengapa, seiring dengan perkembangan cerita yang lebih berfokus pada kisah perjuangan melawan pendudukan Jepang dengan konteks lebih dari sekedar pembelaan terhadap akidah Islam, karakter Hasyim Asy’ari secara perlahan menghilang dari dalam cerita dan hanya dihadirkan di saat-saat tertentu saja.

Tenggelamnya secara perlahan karakter Hasyim As’ari jelas berhubungan erat dengan terus munculnya plot cerita serta karakter-karakter pendukung di dalam alur naskah cerita Sang Kiai – yang sejujurnya, juga gagal untuk dapat dikembangkan dengan baik. Akibatnya, tidak hanya kisah Hasyim Asy’ari yang menjadi menu utama gagal untuk tersaji dengan padat, kisah dan karakter pendukung film ini juga seringkali tampil membingungkan bagi banyak penonton. Pilihan untuk memberikan ruang khusus bagi kisah dan karakter fiktif, Harun (Adipati Dolken), semakin membuat jalan penceritaan Sang Kiai terkesan begitu berantakan, khususnya ketika Anggoro tidak mampu untuk membuat kehadiran karakter tersebut menjadi berkesan penting atau benar-benar berfungsi penuh untuk menyangga penceritaan secara keseluruhan. Mungkin karakter Harun dihadirkan untuk memberikan suplai kisah romansa sekaligus pemberontakan kaum muda bagi jalan cerita Sang Kiai. Namun dangkalnya penggalian Anggoro terhadap plot cerita tersebut membuat karakter Harun justru menjadi begitu mengganggu keberadaannya – apalagi ditambah dengan penampilan Adipati Dolken yang terlihat benar-benar datar di sepanjang penceritaan film ini.

Di luar penampilan Adipati Dolken yang terasa miscastSang Kiai hadir dengan kualitas departemen akting yang kuat meskipun tidak dapat dikatakan benar-benar memorable. Nama-nama seperti Ikranegara, Christine Hakim, Agus Kuncoro, Norman Akyuwen, Arswendi Nasution hingga Dymaz Shimada dan Emil Kusumo – yang berperan sebagai dua tentara Jepang kejam dan mampu mencuri perhatian di setiap kehadiran mereka – mampu menghidupkan karakter yang mereka perankan dengan baik. Cukup disayangkan untuk melihat penampilan mereka hadir dengan kapasitas penceritaan yang begitu terbatas. Namun setidaknya, jika diberikan penilaian secara keseluruhan, departemen aktingSang Kiai hadir dengan kualitas yang cukup memuaskan.

Sang Kiai jelas hadir dengan cukup banyak permasalahan: mulai dari jalan cerita yang terasa tidak berfokus pada elemen penceritaan yang lebih penting, “kecurangan” Rako Prijanto yang seringkali menyajikan kisah filmnya melalui deretan tulisan di berbagai adegan tanpa pernah mampu untuk menuturkannya lewat adegan cerita hingga terlalu banyaknya karakter-karakter pendukung yang gagal untuk dikembangkan sehingga menjadi begitu membingungkan bagi kebanyakan penonton. Seandainya Sang Kiai hadir dengan pengolahan tata cerita yang lebih singkat, jelas dan padat, mungkin film ini akan mampu menjadi biopik tentang tokoh nasional yang sanggup berbicara banyak kepada penontonnya. Cukup disayangkan mengingat Rako mampu menghadirkan tata artistik dan penampilan departemen akting yang cukup berkelas bagi Sang Kiai. Tidak buruk, namun begitu terasa sebagai sebuah kesempatan yang gagal untuk dimanfaatkan dengan maksimal.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.