Dengan naskah yang ditulis oleh Toha Essa (Sumpah, (Ini) Pocong!, 2009), The Legend of Trio Macan memiliki latar belakang lokasi cerita di sebuah kampung China Peranakan pada masa seratus tahun silam. Dikisahkan, Bu Beng Chot alias A Chot memiliki segala hal untuk dapat menjadi seorang ketua perguruan silat yang disegani khalayak luas… kecuali tinggi tubuhnya. Akibat sebuah kutukan yang dijatuhkan pada dirinya, A Chot memiliki tinggi tubuh yang jauh lebih pendek dari ukuran pria dewasa dan seringkali membuatnya menjadi bahan tertawaan banyak orang. Untuk dapat menghilangkan kutukan tersebut, A Chot kemudian diharuskan untuk menikahi seorang gadis perawan yang terlahir dengan sebuah tanda lahir khusus berbentuk macan di tubuhnya sebelum berlangsungnya malam Imlek di tahun tersebut. Pencarian A Chot yang dibantu dengan dua asistennya kemudian berakhir setelah mereka menemukan seorang gadis cantik bernama Iva.
Untuk dapat memaksa Iva agar mau menikahi dirinya, A Chot lalu menagih hutang yang masih dimiliki ayah Iva kepada dirinya. Mau tidak mau, walaupun dirinya telah menjalin hubungan dengan seorang pria tampan bernama A Yang, Iva lalu merelakan dirinya untuk menikah dengan A Chot. Tak disangka, di malam ketika dirinya akan dinikahi oleh A Chot, A Yang lalu datang untuk menyelamatkan Iva. Sayang, usaha penyelamatan tersebut tidak berlangsung mulus. Serangan yang dilakukan oleh pasukan milik A Chot berhasil meringkus A Yang dan mencelakai Iva yang kemudian terjatuh dari tepi jurang. Untungnya, Iva kemudian diselamatkan oleh Lia dan Chaca – dua gadis penghibur yang ternyata juga memiliki tanda lahir berbentuk sama seperti yang dimiliki Iva. Dengan bantuan majikan Lia dan Chaca, Madam Nyong, ketiga gadis pemilik tanda lahir berbentuk macam tersebut diberikan pelatihan bela diri. Kini, Iva telah menjadi sosok gadis yang tangguh dan siap membalaskan dendamnya pada A Chot.
Kelemahan terbesar dari The Legend of Trio Macan harus diakui memang berasal dari struktur penulisan naskah ceritanya. Terdapat banyak ruang dalam naskah cerita film ini yang masih gagal untuk dapat dikembangkan dengan baik – mulai dari karakterisasi, kontinuitas alur cerita hingga dialog serta guyonan yang coba disampaikan kepada para penontonnya. Pada kebanyakan bagian, The Legend of Trio Macan terlihat hanya mencoba untuk menggabungkan berbagai pakem komedi usang – seperti guyonan mengenai kondisi fisik maupun komedi slapstick – dan berusaha untuk mengeksplorasinya kembali tanpa pernah membuatnya menjadi terlihat sebagai sebuah kesatuan penceritaan yang nyaman untuk disimak. Pada beberapa bagian awal, strategi tersebut mungkin akan terasa sedikit berhasil. Namun setelah beberapa saat, sajian formula komedi tersebut semakin lama mulai terasa melelahkan.
Keunggulan film ini sendiri terletak dari pengarahan sutradara Billy Christian – yang sebelumnya sempat bergabung dalam omnibus Hi5teria (2012) dan Sanubari Jakarta (2012) – terhadap departemen akting dan produksi film ini. Billy jelas memiliki visi yang kuat terhadap masing-masing karakter yang ingin ia hadirkan dalam jalan cerita film ini. Dan meskipun masih terasa dangkal pada beberapa bagian, kemampuan Billy untuk mengeksplorasi dan menyajikan karakter-karakter yang unik jelas menjadi poin tersendiri bagi presentasi keseluruhan film ini. Billy juga mampu menghadirkan filmnya dengan production value yang kuat. Elemen produksi seperti tata rias, tata kostum, desain produksi sampai sinematografi mampu dihadirkan dengan kualitas yang tidak mengecewakan dan membuat The Legend of Trio Macan hadir dengan tatanan visual yang apik.
Trio Macan – yang terdiri dari Iva Novanda, Lia Amelia dan Sherly Chacha – sendiri hadir dalam kapasitas akting yang… well… sederhana. Tidak mengecewakan namun jelas masih terlihat goyah – serta dengan jalinan chemistry yang masih terasa minim pada para pemeran lainnya – pada beberapa bagian. Kualitas akting yang sama sebenarnya juga dihadirkan oleh hampir seluruh jajaran pengisi departemen akting film ini. Satu-satunya penampilan yang mampu hadir cukup menonjol datang dari Neni Anggraeni yang berperan sebagai Madam Nyong. Kemampuannya untuk menghidupkan karakternya dengan baik membuat setiap kehadiran karakter Madam Nyong di dalam jalan cerita selalu berhasil mencuri perhatian.
Memang adalah sangat mudah untuk memandang sebelah mata terhadap The Legend of Trio Macan – khususnya jika mengingat bahwa formasi lama dari trio penyanyi dangdut yang menjadi bintang utama film ini pernah membintangi film-film berjudul Darah Janda Kolong Wewe (2009) dan Hantu Puncak Datang Bulan (2010). The Legend of Trio Macan sendiri bukanlah sebuah lompatan kualitas yang sangat jauh dari dua judul tersebut, baik dari segi kualitas presentasi cerita maupun dari sisi kualitas penampilan akting Trio Macan sendiri – yang kini hadir dengan dua personil baru. Namun, di tangan sutradara Billy Christian, The Legend of Trio Macan mampu hadir dengan kualitas presentasi produksi yang tidak mengecewakan dan, setidaknya, dapat menjadikan film komedi ini masih layak untuk disaksikan.
Rating :