Dengan latar belakang kebudayaan Batak yang kental serta iringan gambar yang berisikan eksotisme keindahan alam Pulau Mursala yang terletak di kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Mursala mencoba memaparkan konflik cinta yang mungkin terdengar sederhana namun memiliki penyelesaian yang cukup rumit: ketika cinta harus berhadapan dengan hukum yang diterapkan oleh adat istiadat semenjak ratusan tahun yang lalu. Sebuah premis yang jelas terasa cukup menyegarkan jika melihat banyaknya tema penceritaan yang hampir senada pada kebanyakan film-film romansa Indonesia belakangan ini. Namun, tentu saja, sebuah premis yang menarik tidak akan berarti apa-apa tanpa sebuah eksekusi yang mampu mengekplorasinya dengan tepat. Dan, sayangnya, disanalah letak kelemahan terbesar dari Mursala…
Diarahkan oleh Viva Westi (Rayya, Cahaya di Atas Cahaya, 2012), yang juga menuliskan naskah cerita film ini bersama Tubagus Deddy, Mursala mengisahkan perjalanan cinta seorang pemuda bernama Anggiat Simbolon (Rio Dewanto) yang berasal dari Tapanuli Tengah namun kini telah memiliki karir sukses sebagai seorang pengacara di Jakarta. Di kota besar tersebut, Anggiat bertemu dan kemudian menjalin kasih dengan Clarissa Saragih (Anna Sinaga), seorang gadis yang juga berdarah Batak dan merupakan seorang pembawa acara televisi popular. Hubungan antara Anggiat dan Clarissa berjalan lancar dan bergerak ke arah hubungan yang lebih serius lagi… hingga akhirnya Anggiat memperkenalkan Clarissa pada ibu (Reins Christiana Situmeang) dan keluarganya di kampung halamannya.
Setelah menyadari bahwa anaknya sedang memadu kasih dengan seorang gadis yang berasal dari keturunan bermarga Saragih, ibunda Anggiat lantas memperingatkan pemuda itu bahwa hubungan cinta yang sedang ia jalin adalah terlarang berdasarkan hukum adat yang berlaku bagi masyarakat Batak mengingat karena mereka yang bermarga Saragih masih memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan mereka yang bermarga Simbolon. Sang ibu lantas menyarankan Anggiat untuk meminang sepupunya, Taruli Sinaga (Titi Rajo Bintang), yang juga semenjak lama telah memendam rasa kekaguman pada sosok Anggiat. Namun, layaknya Romeo yang akan memperjuangkan cinta Juliet, Anggiat tentu tidak begitu saja menyerah pada keputusan adat dan berusaha mencari jalan keluar untuk hubungan cintanya.
Tidak hanya mempertemukan kembali duo Titi Rajo Bintang dan Tio Pakusadewo yang sebelumnya tampil dengan chemistry luar biasa dalam Rayya, Cahaya di Atas Cahaya, Viva Westi juga kembali bekerjasama dengan sinematografer Ipung Rachmat Syaiful untuk mendapatkan hasil tangkapan terbaik akan keindahan alam sekitar Pulau Mursala. Dan benar saja, seperti kemegahan alam yang ia tampilkan dalam film yang memenangkan kategori Best Film Photography di ajang ASEAN International Film Festival and Awards 2013 tersebut, Ipung mampu memberikan pemandangan yang indah akan alam sekitar Pulau Mursala – baik dari sisi pegunungan maupun sisi lautnya – secara memuaskan kepada penontonnya, meskipun proses konversi yang dilakukan tim produksi film ini dari pita seluloid yang digunakan untuk merekam gambar kepada data digital agar dapat ditayangkan di layar bioskop membuat banyak gambar terlihat sedikit buram. Pun begitu, tidak dapat disangkal, deretan gambar yang dihasilkan Ipung untuk film ini adalah salah satu dari sedikit keunggulan yang dimiliki oleh Mursala. Sedikit?
Well… berada di belakang kualitas tampilan visualnya, Viva Westi dan Tubagus Deddy gagal untuk mengeksplorasi premis cinta melawan adat yang sebenarnya sangat potensial untuk disajikan secara menarik tersebut. Eksekusi yang dilakukan terhadap permasalahan yang dihadapi oleh kisah cinta karakter Anggiat dan Clarissa tidak pernah dihadirkan dengan ritme penceritaan yang benar-benar meyakinkan. Yang lebih parah lagi, Viva Westi dan Tubagus Deddy kemudian memilih untuk memberikan sebuah kesimpulan dangkal pada kisah romansa kedua karakter tersebut yang benar-benar terkesan menggampangkan permasalahan yang telah terpapar pelik dan panjang semenjak jalan cerita film ini bergulir. Pilihan ini jelas membuat seluruh paparan mengenai perjuangan cinta yang dilakukan oleh kedua karakter di jalan cerita film ini menjadi sia-sia belaka kehadirannya.
Tidak hanya melulu menyajikan kisah romansa antara karakter Anggiat dan Clarissa, Mursala juga menghadirkan jalinan cerita yang menggambarkan kehidupan karakter Anggiat dan Clarissa dalam keseharian profesinya, hubungan yang terjalin antara karakter Anggiat dengan ibundanya maupun dengan dua karakter sahabat masa kecilnya, Taruli Sinaga dan Sahat Tanjung (Mongol), serta berbagai konflik minimalis yang berada di antara karakter-karakter tersebut. Dan sama halnya seperti konflik utama yang tersaji pada film ini, konflik-konflik tambahan tersebut sama sekali gagal untuk berkembang dengan baik, terasa hadir dengan penyajian yang terlalu mentah serta gagal untuk tampil meyakinkan. Dan seperti yang terjadi pada konflik utama film ini, Viva Westi dan Tubagus Deddy menghadirkan happy ending secara mendadak pada banyak masalah yang dihadapi oleh deretan karakter di film ini. Jalan pintas yang benar-benar terasa mengganggu.
Kelemahan Mursala juga sangat, sangat terasa pada kualitas penampilan pengisi departemen aktingnya. Selain penampilan dari nama-nama aktor maupun aktris yang… hmmm… lebih profesional, departemen akting Mursala diisi dengan penampilan yang kaku, canggung serta jauh dari kesan meyakinkan. Sebenarnya penampilan yang kurang meyakinkan tersebut tidak akan terasa terlalu mengganggu ketika dihadirkan oleh para pemeran dengan kapasitas yang hanya sebagai pendukung – seperti Reins Christiana Situmeang, Roy Ricardo dan Elsa Syarief. Sayangnya, Anna Sinaga yang hadir sebagai salah satu pemeran utama juga tampil dengan kapasitas penampilan yang sama menyedihkannya. Perannya sebagai seorang kekasih yang layak diperjuangkan cintanya benar-benar terasa hampa akibat miskinnya chemistry yang terjalin antara dirinya dengan aktor pemeran kekasihnya, Rio Dewanto. Anna juga seringkali terlihat kaku dalam melafalkan setiap dialognya – yang tak jarang hadir dalam kapasitas yang lumayan panjang.
Departemen akting Mursala murni hanya mampu mengandalkan penampilan dari Rio Dewanto, Titi Rajo Bintang dan Tio Pakusadewo. Tio Pakusadewo, seperti biasa, hadir dengan kualitas penampilan teratas. Dan meskipun aksen Batak yang dihadirkan Rio Dewanto masih terkesan terbata-bata, namun Rio tetap mampu hadir kuat untuk menghidupkan karakternya. Namun, tidak akan ada seorangpun yang menyangkal bahwa Titi Rajo Bintang adalah bintang utama dengan penampilan terbaik di film ini. Titi terlihat begitu mudah untuk menggunakan aksen Batak – bahkan tetap menyandangnya ketika karakter yang ia perankan sedang berbahasa Minang – dan tampil benar-benar meyakinkan sebagai sosok wanita lokal dengan jalan pemikiran yang telah bergerak global. Adalah sangat mudah untuk menyatakan bahwa Titi Rajo Bintang tampil dalam kualitas yang benar-benar jauh diatas kualitas film ini secara keseluruhan. Satu penampilan lain yang berhasil mencuri perhatian, meskipun dengan kapasitas penceritaan yang benar-benar terbatas, adalah penampilan dari Mongol yang berperan sebagai Sahat Tanjung. Karakter tersebut memang diberikan banyak dialog-dialog jenaka nan menghibur dan penampilan Mongol yang benar-benar hidup membuat penampilannya seringkali memberikan hiburan tersendiri di tengah-tengah jalinan cerita yang terasa datar secara emosional.
Mursala sebenarnya tidak tampil sangat buruk. Meskipun menghadirkan eksplorasi yang benar-benar terkesan dangkal terhadap premis cerita, deretan konflik maupun karakter serta penampilan akting para jajaran pemerannya, Viva Westi dan Tubagus Deddy setidaknya masih mampu memberikan porsi penceritaan yang tegas mengenai kebudayaan Batak yang mereka bawakan dalam jalan penceritaan film ini – walaupun masih dalam bahasan yang terkesan kurang terlalu dalam. Sayang memang melihat Mursala gagal untuk tampil benar-benar menjadi sebuah presentasi cerita yang kuat. Pun begitu, warna cerita yang berbeda, keindahan alam Pulau Mursala yang berhasil ditangkap oleh Ipung Rachmat Syaiful dan penampilan apik Titi Rajo Bintang setidaknya masih membuat Mursala layak untuk dinikmati.
Rating :