Kon-Tiki diangkat dari kisah nyata mengenai seorang etnograf sekaligus petualang asal Norwegia bernama Thor Heyerdahl yang pada tahun 1947 melakukan perjalanan laut dari Peru ke Polinesia dengan hanya menggunakan perahu sederhana untuk membuktikan hasil penelitiannya bahwa masyarakat asli Polinesia berasal dari kawasan Amerika Selatan. Hyerdahl sendiri kemudian membukukan hasil petualangannya tersebut lewat buku yang dirilis pada tahun 1948 dengan judul Kon-Tiki: Across the Pacific in a Raft yang hingga saat ini telah diterjemahkan ke lebih dari 70 bahasa. Sementara itu, potongan-potongan gambar yang ia filmkan sepanjang perjalanan yang berlangsung lebih dari tiga bulan tersebut kemudian dijadikan sebuah film dokumenter berjudul Kon-Tiki yang berhasil memenangkan kategori Best Documentary Feature di ajang The 24th Annual Academy Awards pada tahun 1951.
Lebih dari enam dekade kemudian, duo sutradara berkewarganegaraan Norwegia, Joachim Rønning dan Espen Sandberg (Bandidas, 2006), mengadaptasi film dokumenter tentang perjalanan Heyerdahl tersebut ke dalam sebuah film layar lebar. Dengan naskah yang ditulis oleh Petter Skavlan, yang menulis naskah cerita Kon-Tiki berdasarkan interaksinya dengan Heyerdahl dan keluarganya, serta perkembangan teknologi audio visual yang telah jauh berkembang semenjak tahun 1951, penonton dipastikan akan dapat dengan mudah jatuh cinta terhadap megahnya petualangan Heyerdahl selama 101 hari berada diatas lautan. Sayangnya, Kon-Tiki menyediakan ruang yang terlalu minim bagi penonton untuk dapat mengenal setiap karakter yang berada di dalam jalan cerita film ini yang seringkali membuatnya terasa begitu datar dalam bercerita.
Kon-Tiki memulai perjalanan kisahnya dengan memperkenalkan sang karakter utama, Thor Heyerdahl (Pål Sverre Valheim Hagen), yang bersama dengan istrinya, Liv (Agnes Kittelsen), selama lebih dari sepuluh tahun melakukan penelitian mengenai struktur masayarakat di Amerika Selatan dan Polinesia. Berdasarkan kesamaan yang dimiliki oleh struktur masyarakat di dua wilayah yang saling berjauhan tersebut, serta kepercayaan masyarakat asli Polinesia bahwa nenek moyang mereka – yang disebut dengan Tiki – berasal dari wilayah Timur, Thor lalu menyimpulkan bahwa masyarakat asli Polinesia berasal dari wilayah Amerika Selatan yang kemudian melakukan perjalanan laut sebelum akhirnya tiba di kepulauan tersebut – sebuah teori yang bertentangan dengan anggapan banyak peneliti yang memperkirakan bahwa nenek moyang masyarakat Polinesia berasal dari sebuah kepulauan di Asia.
Untuk membuktikan hasil temuannya tersebut, Thor lalu merencanakan untuk melakukan reka ulang perjalanan Tiki dari wilayah Amerika Selatan menuju Polinesia lengkap dengan hanya menggunakan alat transportasi perahu yang sederhana. Ide tersebut jelas mendapatkan banyak pandangan remeh yang beranggapan bahwa perjalanan tersebut hanya akan berujung kematian. Walau banyak orang yang menentangnya, termasuk Liv, Thor memilih untuk terus menjalankan idenya tersebut. Dan bersama dengan lima orang pria yang tertarik untuk mengikuti petualangannya, Erik Hesselberg (Odd-Magnus Williamson), Bengt Danielsson (Gustaf Skarsgård), Knut Haugland (Tobias Santelmann), Torstein Raaby (Jakob Oftebro) dan Herman Watzinger (Anders Baasmo Christiansen), Thor memulai perjalanan yang akan segera merubah jalan dan pandangan hidupnya untuk selamanya.
Dengan biaya produksi sebesar US$15.5 juta – dan menjadikan film ini sebagai film dengan biaya produksi terbesar di sepanjang sejarah industri perfilman Norwegia, dua sutradara, Joachim Rønning dan Espen Sandberg, berhasil mendapatkan kualitas produksi terbaik untuk filmnya. Dari segi tampilan visual, Kon-Tiki mampu menghadirkan deretan gambar yang sanggup menangkap seluruh kemegahan wilayah alam sekitar Samudera Pasifik – mulai dari permukaan hingga kedalaman lautan serta seluruh komunitas kehidupan yang berada di sekitarnya. Komposer Johan Söderqvist juga berhasil mengiringi setiap adegan dalam presentasi Kon-Tiki dengan tata musik yang mampu memberikan tambahan kekuatan emosional bagi jalan cerita film ini. Keunggulan tata desain dan artistik film juga berhasil memberikan penampilan yang sangat meyakinkan bagi kisah petualangan Thor Heyerdahl di layar lebar.
Pun begitu, jika dibandingkan dengan penampilannya yang sangat megah, Kon-Tiki justru terasa terlalu ringan jika dilihat dari sisi penulisan cerita serta penggalian karakter-karakternya. Penulis naskah Petter Skavlan sendiri mampu mengkreasikan deretan konflik yang terjadi pada dan diantara karakter-karakter yang hadir di dalam jalan ceritanya: mulai dari usaha untuk bertahan hidup dari kawanan hiu, ketegangan yang terbentuk antara karakter, tantangan alam yang siap menghadang mereka setiap saat hingga hubungan romansa antara karakter Thor Heyerdahl dengan istrinya. Sayangnya, eksekusi yang dihadirkan untuk masing-masing konflik tersebut terasa begitu dangkal. Hadir kemudian diselesaikan dengan begitu saja, tanpa adanya eksplorasi yang dapat membuat konflik-konflik tersebut tampil mengesankan.
Jika Anda berharap untuk mengenal lebih baik tentang karakter Thor Heyerdahl dengan lebih baik, maka… sayangnya… Kon-Tiki tidak menyediakan penggalian karakter yang lebih mendalam untuk hal tersebut. Kon-Tiki murni hanya menampilkan Heyerdahl sebagai sosok petualang yang ambisius tanpa pernah memberikannya kesempatan untuk tampil lebih dari itu. Kedangkalan inilah yang seringkali membuat jalan cerita Kon-Tiki terus bergerak dengan koneksi emosional yang minim dengan penontonnya. Hal yang sama juga didapatkan dari karakkter-karakter pendukung yang terdapat di dalam jalan cerita. Mereka sekedar dihadirkan sebagai alat penggerak plot penceritaan tanpa pernah benar-benar dimanfaatkan secara maksimal kehadirannya. Untungnya penampilan para jajaran pengisi departemen akting Kon-Tiki mampu hadir kuat untuk menghidupkan tiap karakter – meskipun jauh dari kesan istimewa akibat batasan-batasan yang hadir dari dangkalnya penggalian setiap karakter di dalam jalan cerita.
Kon-Tiki adalah sebuah presentasi yang cukup solid. Tidak hanya karena duo sutradara, Joachim Rønning dan Espen Sandberg, berhasil menyajikan visualisasi yang sangat spektakuler dari kisah petualangan Thor Heyerdahl yang legendaris, namun juga karena kisahnya yang berhasil dirangkai dengan baik untuk dapat dengan mudah dinikmati. Seandainya Kon-Tiki hadir dengan penggalian konflik serta karakter yang lebih mendalam, maka mungkin saja Kon-Tiki akan mampu meninggalkan kesan emosional yang lebih kuat bagi setiap penontonnya. Walau dengan berbagai kekurangannya tersebut, Kon-Tiki tetap harus diakui adalah sebuah presentasi yang mampu tergarap dengan baik dan cukup menyenangkan untuk disaksikan.
Rating :