Seorang ayah bersama anak laki-lakinya berjuang menghadapi hidup dengan segala macam rintangan? Tampaknya plot seperti itu sudah pernah kita dengar di salah satu film Hollywood yang diperankan Will Smith dan anak kandungnya. Pursuit of Happyness? Ya, tepat sekali! Film itulah yang menjadi dasar inspirasi dari film ke-35 produksi Maxima Pictures. Ditemui setelah press screening, eksekutif produser Maxima Pictures, Yoen. K berkata jujur bahwa ia sangat mengagumi Pursuit of Happyness, dan ia sadar bahwa belum ada film Indonesia yang mengangkat tema serupa. “Bukan menjiplak mentah-mentah, tapi menjadi sumber inspirasi lahirnya Tampan Tailor agar film Indonesia mempunyai film yang bisa menyentuh semua lapisan masyarakat dengan tema perjuangan ayah-anak seperti ini”, lanjut pak Yoen dengan semangat.
Dan perkataan pak Yoen tadi seakan dibenarkan ketika saya duduk selama 100 menit di dalam bioskop menyaksikan scene demi scene di Tampan Tailor, tidak ada dalam benak saya teringat bahwa film ini terinspirasi dari Pursuit of Happyness, ya satu dua kali mungkin sempat teringat beberapa scene perjuangan ayah-anak dari film produksi Hollywood tersebut, tapi sisanya sangatlah berbeda, mengalir begitu saja dan terasa sangat orisinil. Bahkan konflik dan kedalaman kisah dari Tampan Tailor patut dipuji karena berhasil menampilkan sisi-sisi mengharukan sekaligus mengundang tawa sampai menyentuh aspek romantisme. Acungan jempol patut diberikan kepada duo penulis naskah Tampan Tailor, Alim Sudio dan Cassandra Massardi. Mereka berhasil bersatu dan mengisi satu sama lain dengan cermat. Skrip yang ditampilkan sangatlah membumi, humoris, haru dan penuh keragaman.
Tampan Tailor berkisah tentang Topan (Vino G. Bastian) yang harus berjuang menghidupi anak semata wayangnya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, Bintang (Jefan Nathanio) setelah ditinggal oleh sang istri yang meninggal karena mengidap penyakit kanker, harus menutup usaha jahitnya dan menjual seluruh aset dalam usahanya. Bahkan Bintang terancam dikeluarkan dari sekolah karena Topan sudah tidak punya biaya lagi. Di tengah keterpurukannya, Topan menemui Darman (Ringgo Agus Rakhman), sepupunya untuk menumpang hidup sementara dan mencari pekerjaan baru. Singkat cerita, Topan membantu Darman bekerja menjadi calo kereta api. Disaat yang bersamaan, Prita (Marsha Timothy), gadis penjaga kios dekat kereta api mulai memperhatikan Topan. Dimulai dari Bintang yang sering mampir ke kios Prita karena Bintang suka melihat ikan di Akuarium milik Prita. Melihat Setelah mengetahui bahwa Topan dahulu mempunyai usaha mesin jahit, Prita membantu Topan mencarikan pekerjaan lain yaitu menjadi penjahit. Ketika sudah menemui jalan menjadi penjahit, banyak masalah menghadang Topan sehingga ia harus kembali mencari pekerjaan lain. Bagaimana cara Topan mampu menghadapi semua rintangan di hidupnya demi anak semata wayangnya ataukah ia hanya menyerah pada nasib? Itu yang menjadi inti cerita dari film arahan sutradara Guntur Soeharjanto ini.
Keunggulan utama dari Tampan Tailor adalah chemistry dari para pemainnya. Jika ada yang belum update dengan berita terkini, Vino Bastian dan Marsha Timothy dalam kehidupan sehari-harinya adalah sepasang suami-istri sehingga interaksi yang terjalin dalam film ini sangatlah mulus antara mereka berdua. Bahkan saya menduga ada joke-joke yang terlontar dalam beberapa adegan tanpa ada di skrip, murni improvisasi mereka sendiri. Dalam departemen pemain lain, nama yang patut dikedepankan adalah Ringgo Agus Rakhman. Sebagai tokoh pendukung pemeran utama, karakter Ringgo sungguhlah mencuri perhatian penonton. Gaya khas Ringgo dengan agak sedikit slebor, dipenuhi dengan guyonan segar dan keakraban yang terjalin antara Ringgo dan Vino mampu membuat Ringgo bisa menyabet minimal nominasi pemeran pendukung terbaik di ajang Festival Film Indonesia dengan perannya ini. Akting dari aktor cilik, Jefan Nathanio juga bisa dibilang cukup baik walau kadang beberapa kali terlihat masih terlihat akting yang kurang luwes, walau boleh dibilang wajar karena film ini adalah debut layar lebarnya.
Dari sisi penyutradaraan, sutradara Guntur Soeharjanto mampu mengarahkan film ini dengan baik sehingga penonton dapat meraskan relasi yang erat dengan para tokoh, porsi drama juga dibuat pas tidak terjebak pada kesedihan yang berlarut atau drama percintaan yang berlebihan. Sisi sinematografi juga patut mendapat pujian, dengan jitu Enggar Harliono mengarahkan kameranya dengan tepat sepanjang film ditambah dengan editing yang cermat dari Ryan Purwoko. Dari departemen tata suara, scoring dan soundtrack juga perlu diberi kredit karena memberikan jiwa yang pas kepada setiap masing-masing momennya di film ini. Satu-satunya kelemahan dari Tampan Tailor adalah durasi yang terkesan terlalu panjang dengan penjelasan setiap masalah yang terjadi, walau ini memang stereotip film Indonesia pada umumnya. Durasi film harusnya bisa dibuat lebih singkat lagi sehingga menjadi satu film yang padat.
Tampan Tailor adalah sebuah presentasi yang memukau bagi sebuah rumah produksi yang lekat dengan produksi film-film yang kurang berkualitas dan terkesan sering menjual berbagai macam hantu. Dengan tata sinematografi yang apik, editing yang rapi, scoring yang mampu mengisi setiap scene-nya dengan baik didukung naskah yang sesuai porsinya ditambah akting dan chemistry para pemain yang sangat padu membuat Tampan Tailor menjadi film terbaik yang Maxima Pictures pernah produksi.
Rating :