Zombie berlari? ah biasa! “28 Days Later” (2002) dan “Dawn of the Dead” (2004) sudah pernah menyuruh zombie-zombie yang tadinya hanya bisa berjalan pelan, pemakan otak yang lamban, kemudian berubah menjadi mayat hidup yang bisa berlari kencang mengejar santapannya. Zombie membawa senjata? George A. Romero mencobanya di “Land of the Dead (2005), malah di “Dead Snow” (2009) zombie-zombie Nazi masih mampu menembakkan MP 40 mereka. Film zombie dibungkus komedi? ada “Shaun of the Dead” (2004) dan“Zombieland” (2009). Zombie romantis? ada loh di “Rammbock” (2010) dan segmen Brave New World di antologi “Doomsday Book” (2012). Evolusi di genre yang satu ini bisa dibilang berkembang makin menjauh dari pakem-pakem dasar sebuah film zombie, tidak saja dari cara zombie bergerak dari berjalan lalu berlari, tapi juga sumber infeksi yang menyebabkan seseorang berubah menjadi mayat hidup, contohnya “REC” dan sekuel-sekuelnya, tak lagi menggunakan cara-cara yang konvensional, yaitu virus untuk jadi pemicu “outbreak”, melainkan menginjeksi metode baru yang agak bermuatan relijius kedalam genre film zombie. Well, sebetulnya film zombie tidak melulu harus tentang sesuatu yang baru, menemukan ide baru yang bisa dimasukkan ke genre ini agar terkesan fresh dan unik, sah-sah saja, asal tidak meninggalkan pakem-pakem oldskul-nya juga
Lalu apa yang ingin ditawarkan “Warm Bodies”? film yang disutradarai Jonathan Levine ini menghadirkan sebuahtwist baru di dunia per-zombie-an, zombie tak hanya bisa menggeram saja tapi diperlihatkan bisa berbicara seperti manusia yang masih hidup, berkomunikasi dengan sesama zombie dan masih punya apa yang dinamakan hati. Whoa! Mengetahui ada zombie bisa bicara saja merupakan sebuah kejutan, apalagi melihat zombie-zombie ini bergerak bukan lagi karena naluri makan, tapi karena digerakkan hati. “Warm Bodies” memiliki premis yang terbilang menjanjikan, walaupun rasanya sih ingin mengikuti apa yang dilakukan “Twilight” pada dunia vampir, membuat zombie jadi arrrrgh emo dan errrr unyu. Diceritakan melalui sudut pandang seorang zombie bernama R (Nicholas Hoult), “Warm Bodies” mengawali kisahnya dengan jalan-jalan sore R di sebuah airport yang sekarang dipenuhi dengan kawanan mayat hidup, dari curhatannya R kita tahu bahwa zombie juga bisa saling berkomunikasi, termasuk ngobrol sebelum mereka memutuskan untuk mencari makan. Nah ketika R bersama teman-teman zombienya keluar mencari manusia untuk… dimakan inilah R kemudian bertemu sekelompok manusia, salah-satunya Julie (Teresa Palmer). Klise, seperti adegan di film-film romantis, mata R tidak berkedip ketika melihat Julie, well karena toh zombie memang tidak bisa mengedipkan mata. R yang tertarik pada Julie pada pandangan pertama berusaha melindungi Julie untuk tidak dimakan zombie lain.
Mudah ditebak, setelah itu benih-benih cinta pun tumbuh di tengah peradaban yang sedang merangkak paska zombie-apocalypse, antara manusia dan zombie. Mengambil sudut pandang dari R si zombie, “Warm Bodies” mengawali langkah zombie-nya dengan cukup menarik, walaupun Nicholas Hoult masih kecakepan untuk ukuran zombie—yah mungkin dia termasuk zombie baru, wajahnya masih terbilang mulus nga busuk-busuk amat seperti teman-teman zombie lainnya, yah kalau bentuknya sudah mirip “The Bones”, apa yang akan dijual film ini? Okaaay! Saya akan berusaha pura-pura tidak peduli jika tampang Hoult lebih mirip junkie ketimbang mayat hidup. Mari tengok eksterior “Warm Bodies”, dunia yang telah dibangun di film ini cukup meyakinkan untuk mendukung gambaran dunia post-apocalypse, walaupun di beberapa tempat agak terkesan dibuat-buat berantakan. Begitu juga interior “Warm Bodies”, yang dibatasi lokasi yang itu-itu saja namun setidaknya disiapkan dengan baik, sekali lagi mendukung dunia apokaliptik-nya. Untuk polesan make-up, “Warm Bodies” memilih untuk minimalis, tidak seperti zombie-zombie di serial di “The Walking Dead” yang memang dari awal episode sudah menawarkan beragam bentuk zombie. Cukup wajah yang dibuat tampak pucat lalu diolesi darah-darahan secukupnya, luka-lukaan juga seadanya. Ya, toh fokus film ini bukan pada seperti apa zombienya, tapi bagaimana perkembangan love story antara R(omeo) dan Julie(t) dan segala pernak-pernik romantismenya.
Untuk sebuah film yang menjual romantisme pun sebetulnya “Warm Bodies” pun tidak menawarkan sesuatu yang baru, hasil comot sana-sini yang kemudian oleh Jonathan Levine di-blend dalam dunia yang berbeda, disini dunia paska “kiamat” yang dipenuhi zombie, hasilnya gaya penceritaan sebuah film cinta yang tentu saja berbeda, cukup unik, walaupun sekali lagi dihujani oleh bermacam keklisean dari film-film cinta remaja yang sudah-sudah. Bisa dibilang film zombie-zombian yang terinfeksi virus cinta ala Romeo dan Juliet yang kemudian ikut “teracuni” oleh formula rasa Twilight. Tidak sepenuhnya seperti Twilight, tapi memang yah mengingatkan pada seri pertamanya, tapi secara keseluruhan “Warm Bodies” ini lebih baik satu tingkat. Jonathan Levine tahu bagaimana menarasikan ceritanya untuk tidak jadi sebusuk mayat-mayat hidup yang berkeliaran, saya yang sempat mengira film ini akan menjadi the next Twilight, justru masih bisa menikmati dan sesekali terhibur dengan selipan komedi renyah-nya yang lucu. Sayangnya untuk urusan akting tidak ada yang betul-betul istimewa. Teresa Palmer yang terbilang mirip sekali dengan Kristen Stewart dari sisi wajah dan juga akting, bermain yah “aman-aman” saja sebagai Julie. Begitu juga dengan Nicholas Hoult sebagai R, dia mampu memainkan peran zombie emo-nya dengan cukup baik. Ada yang bilang cinta bisa membunuh, “Warm Bodies” sebaliknya bilang cinta itu bikin kita hidup (lagi), kita disini tentu saja mereka yang sudah mati. Ditemanisoundtrack-nya yang ciamik dari “Patience” milik Guns N’ Roses sampai tembang nge-beat milik M83 berjudul “Midnight City”, ini adalah film yang cukup charming dan menyenangkan.
Rating :