Pertama kali diumumkan akan memulai proses produksinya pada tahun 2002, The Grandmaster secara perlahan menjelma menjadi Chinese Democracy (2008) bagi dunia film: kabar mengenai proses produksinya selalu hadir di media pemberitaan, namun tak seorangpun dapat merasa yakin kapan hasil produksi keseluruhannya akan benar-benar dapat dinikmati publik. Melewati tahun-tahun tersebut pula, kisah mengenai kehidupan Ip Man – seorang praktisi ilmu bela diri China pertama yang mengajarkan seni bela diri China, Wing Chun, secara terbuka dan nantinya turut memberikan andil pada kemampuan bela diri seorang Bruce Lee – yang akan dikisahkan oleh The Grandmaster telah dua kali diangkat ke layar lebar melalui dua seri film Ip Man (2008 – 2010) arahan Wilson Yip dengan Donnie Yen mendapatkan pujian luas dari kritikus film dunia atas perannya sebagai Ip Man.
Well… tentu saja, mengingat bahwa The Grandmaster datang dari seorang sutradara asal Hong Kong yang dikenal dengan gaya penceritaan filmnya yang khas, Wong Kar-wai, yang terakhir kali mengarahkan My Blueberry Nights di tahun 2007, penonton jelas tidak perlu ragu bahwa mereka akan mendapatkan sebuah pengisahan yang sama mengenai kehidupan seorang Ip Man. Meskipun The Grandmaster memiliki susunan narasi yang lebih terstruktur jika dibandingkan dengan film-film Wong sebelumnya, namun Wong sepertinya memastikan bahwa The Grandmaster tetap memiliki ciri penyuntingan dan visualisasi puitis (baca: melankolis) dirinya yang khas. Sebuah ciri khas yang mungkin akan dapat mencegah beberapa orang untuk dapat menikmati The Grandmaster secara penuh.
The Grandmaster memulai kisahnya pada pertengahan tahun 1930an dengan menggambarkan kehidupan awal seorang Ip Man (Tony Leung), mulai dari perkenalannya dengan dunia bela diri di usia tujuh tahun, pernikahannya yang berlangsung sunyi namun bahagia dengan istrinya, Cheung Wing-sing (Song Hye-kyo) hingga saat ia telah menjadi seorang ahli bela diri yang cukup dikenal. Di saat itulah, Ip Man mendapatkan tantangan dari seorang ahli bela diri lain yang akan segera pensiun, Gong Yutian (Wang Qingxiang). Ip Man berhasil memenangkan tantangan tersebut, namun kemudian mendapatkan tantangan kembali dari puteri Gong Yutian, Gong Er (Zhang Ziyi). Pertemuan tersebut kemudian membuka sebuah lembaran kisah baru bagi keduanya yang diwarnai dengan darah, pengkhianatan dan romansa yang terlarang.
Dengan durasi yang mencapai 130 menit, sayangnya hanya 30 menit awal film ini yang benar-benar mampu meceritakan perjalanan hidup karakter Ip Man. Karakter tersebut secara perlahan mulai tenggelam seiring dengan kehadiran karakter Gong Er yang kemudian mulai membawa deretan konflik pribadinya seperti hubungannya dengan sang ayah, perseteruannya dengan karakter lain, usahanya untuk mempertahankan keagungan nama keluarganya hingga kisah romansanya yang terpendam dengan Ip Man. Bukan masalah besar sebenarnya, namun tata penyuntingan Wong Kar-wai seringkali membuat rangkaian penceritaan tersebut menjadi terlalu acak untuk dapat dinikmati.
Seperti halnya Terrence Malick yang sering berbuat “seenaknya” terhadap jalan cerita yang ia kerjakan ketika sedang berada di ruang penyuntingan, banyak bagian kisah The Grandmaster yang juga terasa tertinggal di ruang penyuntingan gambar Wong. Malick, tentu saja, dapat berargumen bahwa gambar-gambar puitis yang ia hadirkan merupakan sebuah simbolisasi dari cerita yang ingin ia hadirkan. Wong juga banyak melakukan hal tersebut dalam The Grandmaster bahkan melengkapinya dengan kehadiran dialog-dialog serta narasi puitis yang membuai. Sayangnya, hal tersebut tidak dapat menutup kelemahan bahwa The Grandmaster terasa begitu lemah dalam penceritaannya. Banyak karakter dan bagian penceritaan yang hilang begitu saja dalam durasi penceritaan film ini, dan ketika hal tersebut terjadi pada karakter maupun kisah yang sebenarnya terasa esensial, jelas penceritaan The Grandmaster menjadi sangat terganggu.
Dengan minimnya pengembangan karakter pada penceritaan The Grandmaster, wajar jika banyak jajaran pengisi departemen akting film ini hadir dengan kapasitas penampilan yang terbatas – walaupun tetap hadir dalam penampilan yang meyakinkan. Tony Leung yang (seharusnya) berperan sebagai karakter utama justru tenggelam dengan kehadiran Zhang Ziyi yang memerankan karakter Gong Er. Dan dengan keanggunannya, Ziyi berhasil membuat karakter yang ia perankan tampil begitu memikat dalam setiap kehadirannya di setiap bagian cerita. Nasib sama juga dialami oleh para pemeran lain seperti Song Hye-kyo, Chang Chen dan Zhang Jin yang perjalanan kisah karakternya dihadirkan begitu terbatas dan tanpa pendalaman yang kuat.
Bagaimanapun kurang mendalamnya jalan penceritaan The Grandmaster, namun kualitas tata produksi film ini jelas tidak dapat dipungkiri. Wong berhasil menghadirkan tata visual yang begitu nikmat untuk disaksikan melalui deretan gambar hasil karya sinematografer Philippe Le Sourd. Tata musik arahan Shigeru Umebayashi juga begitu berhasil tampil sentimental, khususnya di deretan penceritaan akhir film. Penggunaan komposisi musik Deborah’s Theme karya Ennio Morricone dari film Once Upon a Time in America (1984) juga terbukti efektif untuk meningkatkan sisi emosional cerita yang semenjak awal terasa begitu acak dan kurang terfokus dengan baik.
Menyaksikan The Grandmaster mungkin dapat diibaratkan bagai menyaksikan sebuah sajian yang memiliki visi setengah hati. Film ini jelas memiliki narasi yang lebih rapi jika dibandingkan dengan film-film karya Wong Kar-wai lainnya. Pun begitu, The Grandmaster tidak lantas akan dapat dengan mudah diserap oleh penonton kebanyakan akibat gaya penceritaan Wong yang cenderung menenggelamkan beberapa karakter serta plot cerita dalam filmnya dengan begitu saja yang berakibat pada terganggunya narasi penceritaan secara keseluruhan. Mereka yang mengharapkan The Grandmaster Lewat kualitas tata visual dan tata musik yang begitu indah, The Grandmaster masih cukup menghanyutkan untuk dinikmati. Namun dari sisi kualitas penceritaan, dangkalnya pendalaman cerita serta karakter film ini mungkin akan membuat banyak orang cenderung jenuh dalam melewati perjalanan 130 menit durasinya.
Rating :