Menonton film macam “Texas Chainsaw” yang keasyikannya justru bukan dari cerita melainkan aksi-aksi bacok sana-bacok sini, tentu akan mengecewakan ketika sensor terlihat lebih sadis ketimbang si Leatherface sendiri. Senang saat “Texas Chainsaw” bisa ditonton di bioskop lokal, sekaligus manyun ketika tahu banyak adegan-adegan sadisnya yang “dibantai” habis oleh badan sensor. Nonton film slasher tapi adegan gore-nya disensor sama saja seperti melihat film porno (khususnya dari Jepang) tapi bagian “anu” di-blur, atau makan gorengan tapi tanpa sambel ABC (kok malah iklan) yah jelas kurang maknyus. Tapi setidaknya, oleh sensor “Texas Chainsaw” masihlah disisakan cewek-cewek bahenol yang siap beraksi di layar lebar, beruntung saya masih dibiarkan untuk “cuci mata”, walaupun tetap saja belum bisa move on untuk memaafkan sensornya yang kurang ajar. Buat cewek-cewek yang dipaksa cowoknya untuk menonton “Texas Chainsaw”, sebagai aksi balasan sudah dipaksa menonton seri terakhir “Twilight”, film ini bisa jadi lebih bersahabat karena sensornya, jadi tak perlu khawatir capek menutup mata ketika adegan sadisnya muncul, sensor sudah melakukan pekerjaan rumahnya dengan baik. Namun bagi mereka, gore-enthusiast, apapun sebutannya, bersiaplah untuk gigit jari karena bagian “massacre” tidak saja hilang dari judul tapi juga digorok habis oleh si sensor. Kasihan Leatherface.
Tidak perlu repot-repot menonton “The Texas Chain Saw Massacre”, versi terbaru yang disutradarai oleh John Luessenhop dengan baik hati akan merangkum semua yang terjadi di versi film tahun 1974 tersebut. Pembuka “Texas Chainsaw” tersebut menurut saya justru bagian terbaik dari keseluruhan filmnya, yang akan memulai ceritanya tepat dari bagian akhir film original-nya. Setelah terbongkar jika selama ini keluarga Sawyer telah membantu Jedidiah “Jed” Sawyer atau yang lebih dikenal dengan sebutan Leatherface, melakukan beberapa pembunuhan, termasuk apa yang terjadi pada teman-temannya Sally Hardesty. Penduduk kota Newt pun geram dan menginginkan aksi main hakim sendiri, walau sudah dihalangi sherif setempat, tapi sekelompok orang yang dipimpin oleh Walikota Burt Hartman (Paul Rae) akhirnya langsung menyerbu kediaman keluarga Sawyer. Kalah jumlah, setelah sebelumnya terjadi adu tembak, satu-persatu anggota keluarga Sawyer tewas. Sisanya terbakar hidup-hidup bersama rumah mereka yang dilempari bom molotov. Beberapa tahun kemudian keturunan satu-satunya keluarga Sawyer kembali ke tanah kelahirannya, membongkar luka lama kota tersebut dan “membangkitkan” Leatherface yang tidak ikut terbakar bersama seluruh keluarga Sawyer saat itu.
Terlepas dari hinanya si sensor karena telah merebut separuh keasyikan menonton “Texas Chainsaw”, apa yang kemudian dituliskan oleh Stephen Susco, Adam Marcus dan Debra Sullivan bisa dibilang terlalu “maksa” sang tukang jagal dari Texas untuk kembali ke layar lebar, mengayun-ngayunkan lagi gergaji mesinnya. Niatnya tidak ingin punya kaitan dengan film-film Texas Chainsaw Massacre, dan langsung disebut sebagai sekuel dari film versi 1974, sah-sah saja. Tapi hanya dengan menayangkan klip rangkuman kejadian di Texas Chainsaw Massacre versi original dan merajutnya menjadi pembuka film, tidak serta merta membuat versi barunya ini kelihatan sama bangsat-nya dengan karya Tobe Hooper tersebut. “Texas Chainsaw” bisa dikatakan sebuah tribut sekaligus sekuel yang ingin memutuskan hubungan tidak saja dengan film-film Texas Chainsaw Massacre lain, tapi dengan film original-nya yang oleh film ini jelas dijadikan pijakan awal. Lihat saja seluruh keluarga Sawyer tanpa dosa oleh “Texas Chainsaw” diberi porsi sebentar dan langsung dimusnahkan, lalu seenaknya melahirkan karakter Sawyer baru, Leatherface pun dimodifikasi jadi lebih kurang sangar dan justru jadi terkesan anti-hero disini. Boleh saja ingin membuat franchise yang baru dan cerita yang fresh, tapi jangan juga seenak-jidatnya bikin cerita yang mengada-ngada, yang jatuhnya justru menghina Leatherface dan kesannya ingin meludahi Texas Chainsaw Massacre versi 1974… duh memalukan.
Ok, saya tidak akan lagi melulu protes dengan sensor dan berusaha ingin menikmati apa yang disajikan oleh John Luessenhop, itu mudah. Asalkan, kita tidak berharap banyak “Texas Chainsaw” akan memuaskan segala ekspektasi akan film yang punya judul sesangar itu. Klise sebetulnya tidak apa-apa, tapi John Luessenhop sepertinya terlalu terjebak dengan hal-hal yang standart, hasilnya semuanya serba biasa saja. Versi Texas Chainsaw Massacre untuk generasi sekarang, tepatnya, yang tampaknya terlalu sibuk mencari cara untuk membuat adegan paling sadis. Saya sih senang saja ketika sebuah film slasher berusaha keras untuk membuat nyali penontonnya ciut, semakin sadis ya semakin baik. “Texas Chainsaw” juga sadis, banyak adegan-adegan yang difungsikan untuk membuat penonton memalingkan wajahnya dari layar, atau membungkam mata untuk terpejam ketika gergaji mesin sudah beraksi. Tidak saja karena sensornya yang brengsek, tapi saya rasa momen sadis “Texas Chainsaw” pun memang mudah dilupakan, terlalu cemen untuk seseorang yang memegang sebuah gergaji mesin dan dijuluki Leatherface. Menonton “Texas Chainsaw” membuat film-film Texas Chainsaw Massacre yang dibuat Platinum Dunes sebelumnya justru jadi terlihat masterpiece hahahahahaha, walaupun saya akui filmnya memang seru untuk ukuran film yang berembel-embel slasher. “Texas Chainsaw” itu menyenangkan, tapi saya tidak sedang mencari tontonan film slasher yang menyenangkan. Sepertinya tepat ketika film ini mencopot kata “Massacre”, karena pembantaiannya yang biasa saja itu pun dicopot oleh sensor. Alih-alih ada gergaji mesin yang nancep di kepala saya, “Texas Chainsaw” justru hanya menancapkan ingatan betapa menggelikannya film ini…mungkin sudah saatnya Leatherface mengantungkan gergajinya.
Rating :