Review

Info
Studio : PT Bonadea Sinema
Genre : Drama
Director : Ismail Sofyan Sani
Producer : Erma Yudiawati
Starring : Agung Saga, Masayu Clara, Keke Soeryo Renaldi, Ray Sahetapy, Pierre Gruno

Rabu, 13 Februari 2013 - 09:26:33 WIB
Flick Review : True Heart
Review oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 2400 kali


Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Armantono (Soegija, 2012) dan berlatar belakang lokasi cerita di Batam, True Heart berkisah mengenai Ferry (Agung Saga) yang kini sedang terjerumus ke dalam lembah hitam penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. Ferry sebenarnya memiliki hidup yang mungkin didambakan banyak orang. Ia dan adiknya, Vina (Tri Novia Vantinasari), berasal dari latar belakang keluarga yang berkecukupan. Sayangnya, kesibukan kedua orangtua mereka (Ray Sahetapy dan Keke Soeryo Renaldi) membuat Ferry dan Vina tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup. Keterlibatan Ferry dalam penggunaan narkoba bahkan akhirnya juga turut menjebak Vina sekaligus merenggut nyawa gadis tersebut.

Kematian Vina jelas menjadi pukulan besar bagi keluarga Ferry. Ferry lantas menyalahkan kedua orangtuanya yang tidak memperhatikan keseharian dua anaknya. Sementara kedua orangtua Ferry juga menolak untuk disalahkan begitu saja dan menganggap bahwa Ferry dan Vina telah cukup dewasa untuk membedakan mana keputusan yang baik dan mana yang akan menyengsarakan kehidupan mereka. Puncaknya, Ferry memutuskan untuk keluar dari rumahnya. Tidak lagi ingin terjebak dalam dunia kelam narkoba, Ferry bertekad untuk mulai mengubah kehidupannya. Tidak mudah memang. Beruntung Ferry masih memiliki Melly (Masayu Clara), kekasihnya yang berasal dari keluarga sederhana dan turut membantu tekad Ferry untuk kembali ke arah kehidupan yang lebih baik lagi.

Permasalahan terbesar dari True Heart adalah film ini tidak pernah benar-benar terlihat berusaha untuk menyajikan sebuah presentasi cerita yang layak untuk diikuti. Selain konsep penceritaannya yang begitu familiar, alur cerita True Heart juga diisi dengan deretan karakter yang juga terkesan dihadirkan hanya untuk menjalankan tugasnya dalam film-film sejenis: sang tokoh utama yang terjebak narkoba lalu memutuskan untuk berubah, sang kekasih yang berusaha untuk menolong sang karakter utama, orangtua yang akhirnya tersadar akan kesalahan mereka, pihak-pihak yang terlihat berusaha menjauhkan diri dari sang karakter utama hingga gembong pengedar narkoba yang nantinya akan memberikan tantangan terbesar dalam usaha sang karakter utama dalam membersihkan dirinya. Semua hal yang begitu familiar ini tersaji secara gamblang dalam True Heart dan sama sekali tidak pernah mendapatkan penggalian lebih mendalam yang akan mampu membuat film ini berhasil tampil lebih kuat maupun emosional dalam presentasinya.

Naskah yang lemah memang mungkin telah menjebak True Heart untuk menjadi sebuah film kampanye anti narkoba lainnya – lengkap dengan kehadiran beberapa pejabat Badan Narkotika Nasional yang memberikan penyuluhan dalam sebuah adegan di film ini – yang ada di industri film Indonesia. Namun pengarahan Ismail Sofyan Sani juga jelas memberikan peran tersendiri dalam membuat True Heart tampil lebih medioker lagi. Ismail jelas tidak memiliki kemampuan penceritaan yang baik. Pada kebanyakan bagian, True Heart hadir dalam alur cerita yang begitu bertele-tele dalam penceritaannya. Banyak adegan di film ini juga terasa seperti usaha untuk memanjang-manjangkan durasi film tanpa pernah mampu terasa cukup esensial untuk dihadirkan. Sisi aksi yang digembar-gemborkan film ini juga nyatanya juga hadir hanya dalam selintas pandangan saja. Tidak lebih dari sekedar tempelan belaka untuk sebuah penutup kisah yang juga gagal untuk tampil memuaskan.

Juga yang gagal untuk tampil mengesankan adalah penampilan dari jajaran pemeran film ini. Setelah Air Terjun Pengantin Phuket yang rilis beberapa waktu yang lalu, seperti sekarang adalah saat yang tepat untuk menyadarkan Ray Sahetapy bahwa ia tidak harus menerima setiap tawaran bermain film yang datang kepadanya. Penampilannya jelas terbuang sia-sia untuk karakter yang begitu dangkal baik dalam Air Terjun Pengantin Phuket maupun film ini. Hal yang sama juga terjadi pada Pierre Gruno yang semakin terjebak dalam peran-peran antagonis yang tipikal. Tidak ada penampilan akting yang benar-benar istimewa dalam True Heart. Dua pemeran utamanya, Agung Saga dan Masayu Clara, tampil dalam kapasitas akting yang seadanya sementara pemeran pendukung lainnya juga tidak pernah benar-benar terekplorasi kehadirannya dalam jalan cerita film ini.

Sama sekali tidak ada yang baru dalam nada penceritaan True Heart – sebuah film drama Indonesia yang menjadi debut penyutradaraan bagi Ismail Sofyan Sani. Namun, tentu saja, kefamiliaran tema cerita dalam sebuah film jelas bukanlah faktor yang mengganggu jika sang pembuat film mampu meramu formula tradisional tersebut menjadi sebuah sajian dengan presentasi cerita yang kuat sekaligus menarik. Sayangnya… hal tersebut tidak terjadi dalam film ini. Layaknya kebanyakan film-film drama Indonesia yang bertemakan bahaya penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, True Heart terjebak dalam nada penceritaan yang lebih terlihat sebagai sebuah pesan layanan sosial daripada sebagai sebuah penceritaan film yang mampu mengalir dengan baik serta karakter-karakter dangkal yang membuat film ini begitu sukar untuk dinikmati kehadirannya.

 

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.