Katanya sih film slasher, jadi wajar jika ekspektasi saya sudah muntah darah duluan, walaupun ketika melihat trailer “produk” terbaru dari studio GTH ini, kok saya jadi agak pesimis dengan “Countdown”, sambil mengelap mimisan yang tidak berhenti. Tapi saya tetap berpikiran positif, mungkin Nattawut Poonpiriya memang tidak mau semuanya diobral di trailer, menyimpan yang lebih berdarah di filmnya saja. Dengan modal rasa penasaran akan seperti apa penyajian slasher dari Thailand, lagipula tak melulu slasher Hollywood itu memuaskan, jadi saya biasanya menunggu Asia balik memotong-motong tubuh dan melemparkannya ke penonton. “Rumah Dara” punya lokal, “Dream Home” asal Hongkong, dan slasher Malaysia “Claypot Curry Killers”, cukup menjadi pembuktian, Asia masih punya “nyali” untuk berdarah-darah, tidak saja jago main hantu-hantuan. Thailand yang makin kesini horor hantu-hantuan-nya tak lagi seseram dulu, malah jadi produktif membuat komedi romantis unyu, sekali lagi tampaknya tergiur untuk menakuti penonton, tapi sekarang bukan dengan aksi hantu berambut panjang minta gendong, melainkan dengan aksi-aksi menegangkan bersimbah darah yang biasa kita lihat di film slasher-slasher konvensional, apa iya?
“Countdown” memulai filmnya tanpa kesan, padahal kesan pertama itu penting, kata iklan. Memperkenalkan tiga anak muda Thailand yang tinggal di sebuah apartemen di kota New York. Jack (Pachara Chirathivat), Pam (Pataraya Krueasuwansiri) dan Bee (Jarinporn Junkiet) berencana untuk merayakan tahun baru di kamar saja, agak aneh sih, biasanya kan anak gaul pasti sudah langsung ke Times Square, terus check-in di foursquare biar tambah eksis, apalagi untuk anak dugem kaya Jack. Beruntung, karena Nattawut Poonpiriya jadi tidak perlu repot syuting di tengah-tengah Times Square, menghemat bujet film, cukup mengambil gambar di satu lokasi saja, kamar! Untuk berkesan mereka bertiga memang di kota New York, tinggal tambahin saja footage beraneka ragam pemandangan lanskap gedung-gedung, yang dikemas ala editan Nayato, dibungkus lagi dengan hingar-bingar dubstep. Sekarang, Nattawut bisa fokus bermain-main di kamar—permainan pun dimulai saat Jack menghubungi seseorang yang dipercaya bandar ganja, bermodalkan kartu nama yang sudah sobek dan sobekan untuk nomor terakhir hilang. Jack sungguh beruntung, karena tebakan pertamanya benar. Orang yang ditunggu pun datang tepat waktu setelah ditelpon, pria berambut gondrong yang bicara slengean dan mengaku bernama Mr. Jesus. Dia memang membawa “surga” untuk Jack dan kawan-kawan, tapi dibalik kenikmatan hembusan asap yang memabukkan, Mr. Jesus juga membawa “Neraka”.
Goddamn! “Countdown” ternyata punya nyali untuk bersenang-senang, walau bagi saya Nattawut masih bisa dibilang bermain aman, dosis slasher-nya bersahabat, yah yang takut terlalu banyak darah, tidak perlu khawatir nonton “Countdown”. Film ini justru terasa rom-com Thailand sekali, ketika memijakkan kakinya di menit-menit awalnya, dibumbui juga dengan lelucon dan kekonyolan khas Thailand yang semua mewarnai isi kamar Jack dan kawan-kawan. Cerah sebelum akhirnya berubah kelam ketika sang algojo datang membawa daftar permainan dari neraka. Paruh pertama bisa dikatakan membosankan, dipakai Nattawut untuk memperkenalkan karakter-karakternya, tapi agak gagal menghasilkan simpati saya. Kedatangan Mr. Jesus pun tidak menghentikan saya yang sudah menguap berkali-kali, yang semenjak muncul tidak berhenti melontarkan lelucon-lelucon garing bareng Jack dan kawan-kawan-nya. Mungkin saya bisa ikut tertawa jika menghisap ganja, sayangnya dalam kondisi sadar 75% dan sisanya 25% kantuk, semua obrolan nga jelas itu hanya jadi doping yang manjur untuk menambah berat mata saya. Saya tahu ada yang tidak beres dan mencurigakan dengan Mr. Jesus, pengennya sih permainan yang sebenarnya cepat dimulai, namun Nattawut masih asyik “ngobrol”, sambil memperlihatkan sedikit demi sedikit topeng Mr. Jesus yang mulai mengelupas. Sebelum aksi berdarah, kita dipaksa melewati “penyiksaan” dari joke-joke film ini yang tidak lucu.
Hitung mundur yang lama… sebelum akhirnya “Countdown” memperlihatkan wajah yang sebenarnya, dibalik kekonyolan, melalui Mr. Jesus, semua yang tadinya konyol berubah jadi aksi-aksi menegangkan. Saya pun akhirnya bisa bernafas lega, ketika suara-suara tawa yang tadinya menghiasi malam tahun baruan Jack, Pam dan Bee, berganti menjadi jerit minta ampun dan kesakitan. Walaupun tidak sesuai dengan apa yang saya bayangkan, setidaknya “Countdown” masih punya bagian-bagian seru yang sanggup membuat detak jantung berlari-lari, adrenalin kegirangan dan jari-jari tanpa sadar memegang erat ujung kursi bioskop. Nail gun, pistol dan bacotan yang keluar dari mulut Mr. Jesus sudah memerankan bagiannya dengan baik, menggenjot ketegangan di film ini untuk terus bisa menghibur penonton. Pachara Chirathivat, Pataraya Krueasuwansiri dan Jarinporn Junkiet pun bermain tak tanggung-tanggung membuat saya setidaknya ingin mereka mati pelan-pelan di tangan Mr. Jesus. Jika saya ingin porsi lawakan di awal cepat berakhir, secara mengejutkan Nattawut bisa membuat saya betah ketika dia sudah mulai asyik bermain-main darah. Dan sah-sah saja saat kemudian “Countdown” terlihat agak-agak membawa pesan moral, sebuah slasher-reliji, sudah tidak kaget lagi karena Thailand memang suka memboyong sisi agama dalam film-filmnya, termasuk juga horor. Apa yang kemudian mengecewakan saya lagi adalah Nattawut yang tak tahu kapan waktunya mengakhiri filmnya. dan asyik menjelaskan banyak hal yang menurut saya tidak perlu dijelaskan. Akhirnya “Countdown” justru jadi tidak menyenangkan, padahal Nattawut sudah memuaskan saya, setidaknya ketika Mr. Jesus mengajak kita bermain… darah.
Rating :