Tidak lama berselang setelah merilis Langit ke 7 beberapa waktu yang lalu, sutradara Rudi Soedjarwo kini merilis Pasukan Kapiten yang merupakan film berorientasi keluarganya setelah sebelumnya merilis Lima Elang pada tahun lalu. Lewat Pasukan Kapiten, Rudi sepertinya ingin bercerita lebih dalam mengenai kegiatan bullying – sebuah bentuk kekerasan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan menggunakan kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki untuk menyakiti sekelompok atau seseorang sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya – yang banyak terjadi di keseharian anak-anak saat ini. Sayangnya, naskah cerita yang ditulis oleh Tumpal Tampubolon tidak sepenuhnya mampu bercerita penuh mengenai tema bullying itu sendiri dan justru tampil lebih kuat dalam menghantarkan kisah hubungan ayah dan anak yang menjadi cerita pendukung dalam film ini.
Pasukan Kapiten berkisah mengenai Yuma (Cahya Rizki Saputra) yang seringkali menjadi korban bullying dari Omar (Omara Naidra Esteghlal) dan teman-temannya. Omar sendiri memang dikenal sebagai anak yang paling ditakuti di lingkungan perumahan tempat Yuma tinggal. Bersama dengan teman-temannya, Omar seringkali mengambil mainan atau bahkan bertindak kasar pada anak-anak yang tidak disenanginya. Yuma sebenarnya telah merasa begitu muak dengan perlakuan Omar tersebut. Namun apa daya. Fisik Omar yang lebih kuat, serta dukungan teman-teman Omar yang selalu berada di belakangnya, membuat Yuma sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa ketika anak tersebut mengganggunya.
Keadaan itu secara perlahan mulai berubah ketika Yuma bertemu dengan sosok pria tua penyendiri yang kemudian ia panggil sebagai Kakek Sudirman (Andi Bersama). Kakek Sudirman ternyata merupakan seorang pensiunan jenderal Tentara Republik Indonesia yang pernah turut berjuang di medan peperangan. Mendengar keluh kesah Yuma tentang Omar, Kakek Sudirman jelas menuntut Yuma untuk berani mempertahankan diri dan melawan seluruh kekasaran Omar. Kakek Sudirman pula yang mengajarkan pada Yuma bahwa jika ia tidak dapat melawan menggunakan otot, maka ia harus menggunakan otaknya. Yuma menerima begitu pelajaran hidup begitu banyak dari Kakek Sudirman. Sebaliknya, Kakek Sudirman ternyata juga belajar banyak dari sosok Yuma. Melalui Yuma, Kakek Sudirman mulai menyadari berbagai kelemahannya sebagai seorang ayah yang telah membuat hubungannya dengan putera satu-satunya merenggang selama bertahun-tahun.
Walau mencoba untuk menawarkan tema penceritaan yang sangat relevan dengan kehidupan banyak anak-anak di Indonesia saat ini, sayangnya Pasukan Kapiten gagal untuk hadir menjadi sebuah presentasi penceritaan yang istimewa. Sama sekali tidak ada yang baru yang ditawarkan oleh jalan cerita film ini akibat kurangnya pendalaman makna dan dampak bullying itu sendiri pada pelaku maupun korban bullying yang dapat digambarkan dalam jalan cerita Pasukan Kapiten. Naskah cerita Pasukan Kapiten terlihat hanya sanggup untuk menjabarkan bagaimana bentuk bullying yang banyak terjadi di kehidupan anak-anak saat ini serta bagaimana langkah-langkah untuk mengatasinya tanpa pernah mencoba untuk hadir lebih dalam untuk menggali berbagai sudut potensi emosional dari tema penceritaan tersebut. Ini yang membuat Pasukan Kapiten seringkali berjalan datar dan kurang menarik dalam menuturkan ceritanya.
Di sisi lain, jalan cerita pendukung film ini, yang berkisah mengenai hubungan ayah dan anak antara karakter Kakek Sudirman dan puteranya yang telah lama terpisah justru menjadi satu bagian cerita yang lebih mampu untuk hadir menonjol. Walaupun hadir dalam porsi penceritaan yang singkat, serta karakter-karakter yang tidak sepenuhnya berhasil dipaparkan dengan sempurna, kisah pendukung ini justru lebih mampu untuk menghadirkan aliran emosional dalam ceritanya jika dibandingkan dengan penceritaan utama yang dibawakan oleh film ini. Mungkin tidak akan mengherankan jika kemudian banyak penonton yang memilih untuk menyaksikan kisah ini lebih lama daripada kisah bullying yang sebenarnya menjadi topik utama penceritaan Pasukan Kapiten.
Seperti biasa, Rudi Soedjarwo kembali membuktikan bahwa dirinya mampu mengeksplorasi bakat-bakat akting baru di setiap film-filmnya, tak terkecuali dengan para pemain muda yang tampil pada Pasukan Kapiten. Walaupun karakter-karakter mereka seringkali terlihat kurang mampu tergali secara mendalam, namun jajaran pemeran muda Pasukan Kapiten berhasil memberikan penampilan akting yang jelas tidak mengecewakan. Namun tidak dapat disangkal bahwa bintang utama dari film ini adalah aktor senior Andi Bersama yang memerankan karakter Kakek Sudirman. Andi berhasil menampilkan sosok pria penyendiri dengan masa lalu yang sangat ia sesali seara begitu mendalam. Penonton akan dapat merasakan luka emosional karakter tersebut bahkan hanya melalui ekspresi yang diberikan Andi pada wajahnya. Penampilan yang benar-benar kuat!
Pasukan Kapiten sepertinya hanya ingin dikemas sebagai sebuah film keluarga yang ingin menunjukkan pada para penonton muda mengenai kegiatan bullying dan bagaimana mereka dapat bersikap melawannya. Tidak lebih. Bukan sebuah hal yang salah. Namun jalan cerita film ini jelas dapat dieksplorasi secara lebih mendalam lagi, baik dari sudut penceritaannya maupun pendalaman tampilan emosionalnya. Kedangkalan ekplorasi cerita tersebut yang membuat kisah pendamping dalam jalan cerita Pasukan Kapiten justru terlihat lebih mampu untuk berbicara jika dibandingkan dengan kisah utamanya. Bukan sebuah presentasi akhir yang mengecewakan, namun Pasukan Kapiten jelas memiliki banyak peluang untuk menjadi sebuah film dengan jalan cerita yang lebih luas, mendalam dan emosional… dan sayangnya gagal untuk dikembangkan dengan baik.
Rating :