Well… seperti yang dikatakan oleh banyak orang: You don’t mess with a winning formula! Karenanya, ketika Hafalan Shalat Delisa yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Tere Liye berhasil menjadi salah satu film Indonesia dengan raihan jumlah penonton terbesar di sepanjang masa rilisnya pada tahun 2011, tidak mengherankan jika kemudian produser film tersebut mencoba kembali mengulang sukses tersebut dalam rilisan mereka berikutnya. Hasilnya… sebuah film lain yang diadaptasi dari novel Tere Liye – yang kali ini berjudul Bidadari-Bidadari Surga, masih dengan kisah bernuansa reliji, masih dengan kisah yang akan berusaha (baca: memaksa) penontonnya untuk tersentuh dan meneteskan air mata, masih disutradarai oleh Soni Gaokasak, masih menempatkan Nirina Zubir di barisan terdepan jajaran pengisi departemen aktingnya dan… Mike Lewis yang nanti hadir di pertengahan cerita. Hasilnya? Masih sama seperti Hafalan Shalat Delisa. Namun kali ini hadir dengan perjalanan yang terasa lebih menyakitkan.
Baiklah… Bidadari-Bidadari Surga berkisah mengenai lima bersaudara yang terdiri dari Laisa (Nirina Zubir – dengan tata rias yang akan membuatnya merasa malu sepanjang hidup atas keputusan untuk mengambil peran dalam film ini), Dalimunthe (Nino Fernandez), Ikanuri (Adam Zidni), Wibisana (Frans Nicholas) dan Yashinta (Nadine Chandrawinata). Laisa memiliki penampilan fisik yang berbeda dari keempat adiknya. Jika keempat adiknya… well… merupakan pemandangan yang sangat menyegarkan bagi mata, maka Laisa adalah… well… terlihat bagaikan seorang wanita yang wajahnya dibubuhi bedak berwarna hitam, menggunakan rambut palsu keriting yang tak beraturan serta diselimuti dengan pakaian yang lusuh. Go figure! Pun begitu, Laisa adalah sesosok gadis yang sangat cantik… cantik… dari hatinya. Semenjak kecil, Laisa menjadi karakter tegas yang membantu ibunya, Mamak Lainuri (Henidar Amroe), untuk membimbing adik-adiknya hingga akhirnya satu persatu mereka mampu meraih sukses.
Dengan penampilan fisik yang sangat terbatas tersebut, jelas bukanlah sebuah hal yang mengherankan jika kemudian, hingga usianya yang hampir mencapai 40 tahun, Laisa belum dapat menemukan pasangan hidupnya. Cinta akhirnya datang kepada Laisa dalam wujud pria tampan bernama Dharma (Rizky Hanggono) yang dikenalkan adiknya, Dalimunthe, kepada dirinya. Dharma sendiri semenjak awal telah mengungkapkan bahwa dirinya menyukai kecerdasan dan keindahan hati sosok Laisa. Namun, rasa cinta Dharma sendiri bukanlah datang tanpa niat lain. Dharma sebenarnya telah memiliki seorang istri yang cantik bernama Andini (Astri Nurdin). Ketidakmampuan Andini untuk memberikan seorang keturunan pada Dharma yang kemudian membuat Andini memaksa Dharma untuk mencari istri kedua. Apakah Laisa dapat menerima posisi sebagai istri kedua dalam pernikahan Dharma? Apakah penderitaan hidup Laisa akan berakhir? Apakah film ini akan tetap menyiksa penontonnya dalam setiap detik durasi film ini bergulir? Kapankah Mike Lewis akan muncul? Apakah Anda mulai terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan ini?
Naskah cerita arahan Dewa Raka untuk film ini jelas terlihat sangat lemah dari berbagai sisi. Dewa dengan mudah menciptakan berbagai konflik untuk kemudian dihadirkan dengan penyelesaian yang begitu instan dan menghilang begitu saja. Karakter-karakter pendukung juga dihadirkan pada kapasitas sebagai karakter pendukung dan sama sekali tidak memiliki esensi kehadiran yang berarti pada jalan cerita. Lihat saja bagaimana karakter Mamak Lainuri yang hampir tidak memiliki arti kehadirannya selain untuk mengeluh dan memerintah karakter anak-anaknya terlepas dari penggambarannya sebagai sosok ibunda yang bijaksana dan penyayang. Atau karakter Cie Hui yang tak lebih dari pemanis pada gambaran pernikahan karakter Dalimunthe. Atau peran-peran lain seperti karakter Ikanuri, Wibisana dan Gougsky yang benar-benar hadir dengan sia-sia.
Tak hanya dari segi naskah cerita yang berantakan, tata produksi film ini juga patut mendapatkan sebuah pertanyaan besar mengenai kualitasnya. Pertama-tama, tata rias yang diberikan pada Nirina Zubir justru membuat karakter yang ia perankan lebih sering mendapatkan cemoohan dan menjadi bahan tertawaan daripada terlihat meyakinkan dan menghasilkan rasa iba dari penonton. Kemudian efek visual yang… duh… begitu terlihat sebagai sebuah gambar tempelan belaka. Manusia berhadapan dengan harimau atau adegan ending yang terkesan meniru adegan Kate Winslet di film Finding Neverland (2004)? Really? Tata musik arahan Tya Subiakto Satrio juga telah diarahkan mengikuti arah cerita film ini: berusaha menghasilkan tangisan penonton. Karenanya, Tya kemudian memberikan banyak orkestrasi yang tidak perlu (dan terlalu banyak!) pada berbagai adegan yang terkesan memancing rasa haru. Dan terakhir adalah tata editing dari Cesa David Luckmansyah dan Ryan Purwoko yang begitu terasa kasar pada banyak bagian. Cesa dan Ryan biasanya selalu mampu menghasilkan karya yang solid. Namun pada Bidadari-Bidadari Surga? Sama sekali tidak.
Harus diakui, satu-satunya yang masih dapat diberikan tanggapan positif dari film ini adalah penampilan akting para jajaran pemerannya. Tidak semua, namun mayoritas mereka mampu menampilkan akting yang cukup baik. Terlepas dari tata rias yang sangat mengganggu, Nirina Zubir sekali lagi membuktikan kemampuan dramatisnya yang kuat. Walau dengan peran yang terbatas, Rizky Hanggono justru mampu hadir dengan penampilan yang lebih berkesan dari para jajaran pemeran lainnya. Begitu pula dengan Nadine Chandrawinata, Henidar Amroe, Astri Nurdin, Nino Fernandez dan deretan pemeran cilik dalam film ini. Masalah pada penampilan mereka adalah terbatasnya porsi penceritaan karakter yang mereka perankan sehingga membuat penampilan mereka jauh dari hasil yang mengesankan.
Walau tetap mampu menghadirkan penampilan para jajaran pemeran yang cukup kuat, khususnya penampilan mengesankan dari Nirina Zubir dan Rizky Hanggono, Bidadari-Bidadari Surga jelas terlihat sebagai sebuah presentasi yang lemah. Mulai dari bagaimana peletakan tata rias dan rambut palsu pada Nirina Zubir, naskah arahan Dewa Raka (dan materi asli novel karya Tere Liye) yang tidak mampu menghadirkan dan membangun konflik maupun karakter dengan baik, tata produksi yang begitu terkesan terburu-buru hingga dengan arahan Sony Gaokasak yang tidak mampu mengatur alur ritme penceritaan dengan baik. Bidadari-Bidadari Surga terlalu berusaha untuk menghasilkan jalan cerita yang emosional lewat penderitaan karakter utamanya. Sayang, usaha tersebut justru membuat alur kisah film ini terasa palsu, bertele-tele dan lebih pantas untuk dijadikan bahan sindiran daripada sebagai penghasil inspirasi bagi penontonnya. Salah satu presentasi film Indonesia terburuk di sepanjang tahun ini.
Rating :