Kapan terakhir kali Anda menyaksikan sebuah film arahan Tim Burton yang sama sekali tidak melibatkan kehadiran Johnny Depp ataupun Helena Bonham Carter? Well… that was long, long, long time ago. Tepatnya di tahun 1996 ketika Burton merilis Mars Attacks!. Dan sejujurnya, Burton memang benar-benar membutuhkan penyegaran dalam film-film yang ia hasilkan. Bukan hanya ia harus berhenti menempatkan Depp sebagai karakter yang selalu berpakaian aneh atau mendandani Bonham Carter dengan rambut palsu besar yang berwarna-warni, namun Burton sepertinya memang harus kembali menyegarkan ide-ide yang ada di kepalanya agar setiap film yang ia hasilkan tidak terlihat memiliki jalan cerita yang monoton antara satu dengan yang lain. Mungkin akan ada gunanya jika Burton mengunjungi kembali beberapa karya awalnya di masa lampau… seperti film pendek berjudul Frankenweenie yang dulu pernah ia hasilkan pada tahun 1984.
Benar. Film animasi Frankenweenie bukanlah sebuah karya baru dalam filmografi Burton. Film ini diadaptasi dari film pendek berjudul sama yang dahulu pernah dirilis Burton di awal karirnya pada tahun 1984 – dan sempat membuatnya dipecat dari Walt Disney Pictures karena dinilai telah menyia-nyiakan bujet yang telah disediakan perusahaan dengan menghasilkan sebuah film keluarga namun dengan tema penceritaan yang terlalu menakutkan untuk disaksikan para penonton muda. Dan walau Walt Disney Pictures sempat beberapa kali tidak menyetujui ide Burton untuk mengadaptasi Frankenweenie menjadi sebuah film animasi layar lebar – lagi-lagi karena alasan tema ceritanya yang terlalu menakutkan untuk penonton muda – proyek pembuatan film animasi ini akhirnya mulai berjalan pada tahun 2010 dengan teknik animasi stop-motion hitam putih dipilih Burton sebagai tampilan grafisnya.
Dengan naskah cerita yang ditulis oleh John August (Dark Shadows, 2012), Frankenweenie adalah sebuah parodi sekaligus tribut bagi film horor Frankenstein (1931) yang sangat populer itu. Dikisahkan, Victor Frankenstein (Charlie Tahan) adalah seorang anak lelaki yang lebih memilih untuk menghabiskan waktunya jauh dari kehidupan sosial yang berada di sekitarnya. Daripada berusaha bermain dengan teman-temannya, Victor lebih memilih untuk membuat film (dalam format 3D!) di kamarnya atau bermain dengan anjingnya yang sangat setia, Sparky. Walau hal tersebut sempat membuat kedua orangtuanya (Martin Short dan Catherine O’Hara) khawatir, namun mereka akhirnya sadar kalau Victor adalah anak yang cerdas sekaligus tahu apa yang terbaik bagi dirinya.
Kehidupan Victor mulai terguncang ketika sebuah kecelakaan kemudian merenggut nyawa anjingnya, Sparky. Terinspirasi dari gurunya, Mr. Rzykruski (Martin Landau), yang menunjukkan bagaimana pengaruh gelombang listrik pada seekor katak yang telah mati, Victor kemudian melakukan percobaan yang sama terhadap mayat anjingnya. Dan berhasil! Sparky – walaupun terus-menerus memiliki anggota tubuh yang terlepas dan berbau tidak sedap – kembali dapat dihidupkan. Awalnya, Victor merahasiakan tentang keberadaan Sparky. Namun, secara perlahan, teman-teman sekolah Victor mulai mengendus mengenai keberadaan Sparky yang hidup kembali. Mereka lalu mulai mencari tahu teknik apa yang digunakan oleh Victor untuk kemudian menggunakannya sebagai bahan eksperimen dan memenangkan kompetisi sains di sekolah mereka.
Harus diakui adalah sangat, sangat menyenangkan untuk melihat Tim Burton tidak berkompromi untuk menghadirkan jalan cerita Frankenweenie. Seperti yang dikhawatirkan oleh Walt Disney Pictures, dengan keberadaan kisah mengenai karakter mati yang berhasil dihidupkan kembali atau deretan hewan peliharaan yang kemudian berubah menjadi makhluk yang mengerikan, Frankenweenie jelas adalah sebuah film animasi yang bernuansa terlalu horor bagi para penonton muda. Pun begitu, Frankenweenie tidak lantas dapat dikategorikan sebagai sebuah film yang tidak layak untuk disaksikan anak-anak. Burton jelas tahu benar batasan horor yang ingin ia hadirkan untuk sebuah film yang dapat dikonsumsi oleh kalangan keluarga.
Frankenweenie sendiri awalnya bergerak dalam tempo penceritaan yang cukup lamban dalam mengenalkan karakter-karakternya. Film ini lalu mulai terasa mendapatkan ritme penceritaannya yang tepat ketika konflik kematian karakter Sparky mulai dihadirkan. Dalam perjalanannya, Burton berhasil menterjemahkan naskah cerita karya John August yang berisi banyak kisah hangat tentang rasa persahabatan dan kekeluargaan yang terjalin antara karakter-karakter yang ada di dalam jalan ceritanya melalui animasi stop motion yang begitu indah – yang semakin terasa efektif ketika dipadukan dengan penggunaan teknologi 3D. Tribut terhadap beberapa film horor klasik seperti Gremlins, Godzilla, Igor dan (tentu saja) Frankenstein yang dihadirkan oleh Burton di beberapa bagian cerita juga mampu menjadi hiburan tersendiri bagi para penikmat film dari genre tersebut.
Walau minus dengan talenta-talenta suara yang berasal dari aktor maupun aktris dengan nama yang sangat menjual, namun para jajaran pengisi suara Frankenweenie berhasil memberikan kontribusi terbaik mereka bagi film ini. Yang tidak kalah menariknya adalah tata musik arahan kolaborator setia Burton, Danny Elfman. Walau tata musik Elfman bagi Frankenweenie terdengar familiar dengan tata musik arahannya bagi film-film Burton sebelumnya, namun tidak dapat disangkal bahwa tata musik Elfman mampu memberikan atmosfer mencekam sekaligus emosional bagi keseluruhan presentasi cerita dari Frankenweenie.
Meskipun Frankenweenie masih setia dengan tema-tema kematian yang banyak dibawakan oleh Tim Burton dalam film-filmnya selama beberapa tahun terakhir, namun Burton mampu menghadirkan satu sentuhan yang selama ini terasa telah hilang dalam karya-karya Burton yang terlalu bernilai komersial: hati. Frankenweenie jelas terasa merupakan sebuah karya yang personal bagi Burton dan kemudian membuatnya berhasil mengarahkan film animasi ini sebagai sebuah film yang hangat, menghibur, emosional namun tetap tidak melupakan unsur mencekam dari jalan ceritanya – yang sekaligus membuat Frankenweenie unggul jauh dari kebanyakan film-film animasi yang dirilis tahun ini. Sebuah karya yang mudah-mudahan menjadi awal penyegaran bagi karya-karya Burton di masa yang akan datang.
Rating :