Sinopsis: Pendeta Cotton Marcus (Patrick Fabian) hidup bersama dengan istri dan anaknya yang cacat di Baton Rouge, Louisiana. Untuk menghidupi keluarganya, Marcus memanfaatkan keahliannya untuk melakukan ritual pengusiran setan dan dia dibayar atas pekerjaan yang dia sendiri sebut sebagai penipuan ini. Namun sejak tragedi yang dia baca di salah-satu artikel surat kabar mengenai anak autis yang tewas akibat prosesi pengusiran setan, dia berniat untuk “tobat” dan berhenti melakukan hal yang sama karena mengingatkan dia dengan anaknya yang cacat. Marcus yang tengah dilanda krisis keimanan pun berencana untuk membongkar praktek pengusiran setan dan mengekspos kepada publik bahwa hal tersebut hanya penipuan belaka, rekayasa yang tidak berhubungan dengan “gaib” tetapi hanya masalah psikologis dan bisa disembuhkan dengan semacam “sugesti”.
Marcus memilih media film dokumenter untuk menjalankan misinya ini bersama dengan seorang produser, Iris Reisen (Iris Bahr) dan kameramen bernama Dave Moskowitz (Adam Grimes). Setelah memilih secara acak lokasi yang akan didatangi melalui surat yang dikirimkan kepada Marcus yang mengundangnya untuk melakukan “pengusiran”, mereka pun memutuskan pergi ke rumah Louis Sweetzer (Louis Herthum). Bapak dari dua orang anak yang sudah ditinggal istrinya ini mengaku bahwa anak perempuannya yang benama Nell (Ashley Bell) telah dirasuki roh jahat. Binatang ternaknya pun mati secara mendadak bukan disebabkan buaya yang memang bebas berkeliaran didaerah itu, tapi Louis menuduh Nell membunuhnya. Dia memberikan bukti pakaian Nell yang penuh darah tapi anaknya tidak pernah ingat apa yang terjadi. Setelah mengetahui situasinya dan sudah siap dengan segala triknya, Marcus pun segera beraksi dan meyakinkan Louis jika anaknya memang kerasukan. Marcus memang tampaknya tahu bagaimana “menipu”, tapi yang tidak dia ketahui adalah Nell bukan hanya jadi pengusiran setan terakhirnya tetapi juga akan menjawab kebingungannya selama ini tentang keberadaan Tuhan sekaligus meyakinkan dirinya bahwa iblis itu memang ada.
Review: “The Last Exorcism” sangat cerdik memancing saya untuk penasaran dengan film ini, tidak hanya dengan temanya yang lagi-lagi membawa “pengusiran setan” (terakhir saya cukup dihantui oleh The Exorcism of Emily Rose (2005) dan tentunya tidak pernah lupa dengan iblis menggemaskan yang merasuki Linda Blair kecil di The Exorcist) tapi juga film yang disutradarai Daniel Stamm ini punya viral marketing yang menarik selain trailernya yang juga menggiurkan. Sedikit berbicara soal viralnya, jadi sudah disiapkan sebuah video dengan model wanita yang berbeda-beda, sudah pasti video ini dikhususkan untuk menjebak para lelaki (termasuk saya). Di video tersebut diperlihatkan bahwa sang model sedang membuka satu-persatu kancing bajunya, tapi bukannya melepas baju (itu yang diharapkan saya) si wanita yang ada di dalam video justru merubah wajahnya jadi menyeramkan dan mendekat dengan cepat ke arah kamera, meninggalkan “kekecewaan” dan juga kejutan secara bersamaan. Begitulah film ini akan berjalan dari menit ke menit-nya, beberapa bagian mengecewakan tetapi masih tertutupi dengan kejutan-kejutan yang makin membuat saya penasaran menunggu apa yang sebenarnya terjadi.
Film ini memilih mockumentary sebagai medium untuk menyampaikan rasa ketakutan, membalut ketegangan yang meyakinkan, dan menangkap dengan natural setiap momen berakting para pemainnya. Ketika melangkahkan kaki di rumah Louis, saya diajak tur keliling rumah sambil berkenalan dengan penghuninya satu persatu, termasuk dengan Caleb, anak laki-laki Louis yang tampaknya tidak suka dengan kehadiran Marcus di rumahnya. Sedangkan Nell sendiri diperlihatkan sangat bersemangat, periang, dan mudah “excited”, termasuk ketika diberi sepatu oleh Iris. Nell memang tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia sedang kerasukan tapi saya bisa merasakan ada yang tidak beres dengan keluarga ini dan juga Nell. Sayangnya Marcus masih fokus untuk dengan misinya mengekspos praktek pengusiran setan palsu, mempersiapkan pertunjukan “sulap”nya dan akhirnya lupa jika tidak semua keanehan yang dia temukan bisa diungkapkan secara logika, medis, dan ilmu pengetahuan. Marcus dan krunya tidak hanya satu-satunya yang menjadi saksi mata jika kekuatan gaib itu memang ada ketika Nell mulai “beraksi”, tetapi saya juga dibuat terkejut ketika gadis yang dipaksa ayahnya untuk sekolah di rumah ini makin memperlihatkan keanehan. Rasa penasaran saya pun semakin memuncak disertai pancingan-pancingan sang sutradara Jerman untuk memberikan ketegangan di filmnya.
Kemasan ala dokumenter disini memang berhasil untuk mendukung atmosfir filmnya, ditambah lagi suasana rumah yang memang sudah menyeramkan dan Stamm mencoba mengarahkannya untuk tidak berlebihan. Bahkan jika ada yang enggan menonton film ini karena masih trauma “pusing” dengan Cloverfield, atau masih percaya dengan mitos jika mockumentary itu selalu erat kaitannya dengan kamera selalu bergoyang. Percayalah film ini menangkap adegan demi adegannya setenang kamera milik Micah di “Paranormal Activity”, jadi tidak perlu takut terganggu dengan pergerakan kameranya. Bahkan bisa dibilang unsur mockumentary digarap dengan apik, mengingatkan saya dengan film horor serupa tapi minus kerasukan “Lake Mungo”. Sayangnya ketika film ini berhasil “menipu” saya untuk percaya semua ini nyata (sama seperti Marcus yang lihai memanipulasi klien-kliennya dengan trik pengusiran setan), dengan segala trik kamera, efek musik minimalis, dan juga jangan lupakan akting pemainnya yang bagus. Bersama bergulirnya rangkaian cerita, film ini tampak terengah-engah untuk menampilkan ketegangan di film yang diproduseri oleh Eli Roth ini.
Ketegangan dan kengerian yang seharusnya mencengkram kuat tidak saya rasakan disini, jika rasa penasaran berhasil “merasuki” dengan sekali serangan, dua unsur tersebut justru terasa hanya menggelitik saya malu-malu. “The Last Exorcism” bukanlah horor yang buruk tapi juga tidak terlalu istimewa dan beruntung bagi mereka yang belum melihat trailer-nya, karena saya bisa bilang terlalu banyak yang diekspos disana. Tapi tenang saja karena film ini masih menyisakan kejutan lain dan ending yang membuat saya tercengang sebentar lalu baru menyadari jika filmnya sudah selesai. Yah ketika saya beranggapan film ini sudah selesai dan berkata “apa hanya begitu saja?!” ternyata itu hanya tipuan klise yang mengantarkan kita pada akhir yang sebenarnya, sebuah “encore” yang sudah dipersiapkan film ini sebagai kado kejutan bagi anda yang masih saja penasaran.