Indonesia Tangguh adalah sebuah antologi film yang berisi lima film dokumenter pendek yang berhasil terpilih menjadi finalis dalam program Eagle Awards – sebuah kompetisi pembuatan film dokumenter – yang dilaksanakan oleh Metro TV. Judul Indonesia Tangguh sendiri dipilih karena lima film dokumenter pendek yang terangkum dalam satu kesatuan film ini masing-masing berkisah tentang bencana alam yang terjadi di berbagai penjuru daerah di Indonesia serta bagaimana para masyarakat yang hidup di sekitar daerah bencana tersebut berusaha untuk tetap bertahan dengan atau mengatasi bencana tersebut – walau, pada kebanyakan bagian, dramatisasi mengenai efek terjadinya bencana terasa dihadirkan lebih kuat daripada usaha untuk bertahan atau mengatasi bencana itu sendiri.
Film pertama berjudul Setitik Asa dalam Lumpur arahan dua sutradara asal Sidoarjo, Jawa Timur, Achmad Fathur Rozaq dan M. Fachrudin. Seperti yang dapat ditangkap dalam judul film ini, Setitik Asa dalam Lumpur berkisah mengenai kehidupan warga di desa Besuki dan Porong yang menjadi sebagian desa yang terkena dampak Lumpur Lapindo. Awalnya mengisahkan mengenai bagaimana Lumpur Lapindo telah memberikan dampak negatif pada kesehatan maupun kesejahteraan dari warga desa yang terkena imbasnya, Setitik Asa dalam Lumpur kemudian berusaha menangkap bagaimana para korban Lumpur Lapindo tadi berusaha melanjutkan hidup mereka dengan berbagai kegiatan yang positif sekaligus tetap berusaha untuk mencari keadilan bagi desa mereka.
Film kedua berjudul Pelindung Pantai Amboina karya Suyadi dan Widhya Nugroho. Jalan cerita film ini berfokus pada kehidupan seorang nelayan sekaligus penerima Penghargaan Kalpataru di tahun 1981, Dominggus Sinanu, dalam usahanya untuk menyelamatkan Teluk Ambon dari berbagai efek negatif yang datang akibat berjalannya pembangunan kota yang dilakukan tanpa menilai berbagai pengaruhnya terhadap kehidupan alam sekitar. Sebuah kisah yang jelas sangat patut untuk diangkat ke permukaan, namun Pelindung Pantai Amboina seringkali lebih terasa sebagai sebuah drama (yang buruk) daripada sebuah film dokumenter akibat banyaknya penggunaan dialog yang sangat terasa telah diarahkan sebelumnya.
Mimpi di Kandang Wedhus Gembel merupakan film ketiga yang tampil dalam antologi dokumenter, Indonesia Tangguh, serta diarahkan oleh Maharani dan Gilang Akbar asal Yogyakarta. Film ini berkisah mengenai kehidupan warga Balerante yang hidup sangat dekat di kawasan puncak Gunung Merapi namun, akibat masih kuatnya rasa cinta tanah kelahiran, budaya, adat istiadat dan kepercayaan masyarakat pada mitos, membuat masyarakat desa tersebut memilih untuk tetap bertahan dan hidup dikawasan tersebut. Berbeda dengan dua film sebelumnya, yang terkesan hanya mengambil sudut pandang cerita dari satu sisi saja, Mimpi di Kandang Wedhus Gembel berhasil meraih dua sudut pandang sekaligus: masyarakat desa Balerante yang memilih untuk tetap tinggal di kawasan berbahaya tersebut meski mendapat arahan untuk relokasi dari pemerintah serta sudut pandang dari pemerintah sendiri mengenai mengapa warga seharusnya mau untuk ikut program relokasi yang telah mereka canangkan.
Indonesia Tangguh kemudian dilanjutkan dengan Kampung Rob di Tengah Kota karya Sapto Pamungkas dan Fuad Ashari asal Semarang, Jawa Tengah, yang bercerita mengenai kehidupan warga desa Kemijen, Semarang Utara, yang hidup dengan rasa dihantui oleh bencana Rob – sebuah fenomena naiknya permukaan air laut ke daratan secara permanen. Di tengah-tengah rasa penderitaan tersebut, muncul seorang warga bernama Supardi Warno yang mengajak warga sekitar untuk berdamai dengan bencana yang tidak dapat dielakkan tersebut serta justru berusaha mengambil keuntungan darinya. Harus diakui, Kampung Rob di Tengah Kota merupakan definisi yang paling kuat dari tema Indonesia Tangguh yang digunakan oleh antologi ini. Berbeda dengan film-film dokumenter pendek lainnya di antologi ini, Sapto Pamungkas dan Fuad Ashari mampu menjadikan Kampung Rob di Tengah Kota sebagai sebuah feel good movie yang tidak hanya menumpukan ceritanya pada kisah melankolis mengenai para korban bencana alam namun juga mengundang rasa optimisme yang hadir dengan penceritaan seorang karakter yang berhasil meraih sisi positif dari datangnya bencana.
Antologi dokumenter Indonesia Tangguh diakhiri dengan Gaung Sang Penakluk Asap karya Fransiska Rihardini dan Michael Silvester Mitchel Vinco asal Pontianak, Kalimantan Barat. Gaung Sang Penakluk Asap berkisah mengenai bagaimana Pontianak seringkali terkena bencana asap akibat pembakaran hutan yang dilakukan secara sporadis oleh berbagai perusahaan modern. Konsentrasi penceritaan Gaung Sang Penakluk Asap harus diakui cukup terpecah antara tema yang dibawakan film ini yakni mengenai dampak pembakaran hutan yang menghasilkan kabut dan asap tebal yang mempengaruhi kesehatan warga sekitar, dengan beberapa tema lain seperti dampak penambangan emas tanpa izin atau desa tertinggal yang menyebabkan banyak warganya sulit untuk menjangkau pendidikan. Jika dibandingkan dengan empat film lainnya, Gaung Sang Penakluk Asap juga tidak berfokus pada bencana maupun warga yang terkena bencana tersebut. Film ini lebih terlihat berkonsentrasi dalam menghadirkan bagaimana para warga Dayak menghadapi kepungan modernisasi yang secara perlahan merebut lahan-lahan mereka. Sedikit membingungkan akibat banyaknya penceritaan yang ingin dijabarkan namun Gaung Sang Penakluk Asap mampu diceritakan secara lancar dan efektif.
Satu hal yang paling dapat diperhatikan dari kelima film dokumenter yang hadir dalam antologi Indonesia Tangguh ini adalah bagaimana para pembuat film seringkali lebih menitikberatkan sisi melankolis dari sebuah bencana. Walau mampu diceritakan dengan baik, tetap saja hal tersebut seringkali membuat tema ketangguhan karakter dalam menghadapi bencana yang sebenarnya ingin ditonjolkan dalam antologi ini menjadi sedikit terkubur. Pun begitu, Indonesia Tangguhjelas sebuah antologi yang layak diapresiasi. Di tengah-tengah berbagai kelemahannya – kadang terasa terlalu scripted, tema yang kurang terfokus maupun ritme penceritaan yang kurang begitu terjaga – Indonesia Tangguh setidaknya muncul dengan tata produksi yang maksimal dan, tentu saja, sudut pandang yang membawakan sebuah keoptimisan yang sangat kuat dalam penceritaannya.
Rating :