Sama sekali tidak ada yang baru di High Lane, sebuah film horror arahan sutradara asal Perancis, Abel Ferry, yang di negara asalnya ini berjudul Vertige. Ketika menyaksikan sekelompok anak muda sedang bersemangat untuk menjelajah suatu wilayah yang seharusnya tidak mereka masuki, para penonton pastinya akan langsung terbayang berbagai adegan di film The Hills Have Eyes, The Descent maupun Wrong Turn, sekaligus mulai menebak siapa diantara karakter tersebut yang akan bertahan di akhir cerita.
Yang menjadi objek penderita kali ini adalah lima orang pemuda Perancis, Fred (Nicolas Giraud) dan kekasihnya Karine (Maud Wyler), Chloé (Fanny Valette) yang juga membawa sang kekasih, Loïc (Johan Libéreau), serta mantan kekasih Chloé, Guillaume (Raphaël Lenglet), yang ikut serta karena ajakan Karine. Bersama, mereka berhasrat untuk menaklukkan sebuah pegunungan, yang sebenarnya, ketika mereka tiba, telah memiliki tanda terlarang untuk dimasuki.
Well… rules are made to be broken. Namun begitu, pasti akan ada konsekuensi ketika seseorang melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Memasuki daerah terlarang, berbagai hal aneh mulai menimpa kelima orang ini, mulai dari putusnya jembatan yang mereka seberangi hingga berbagai kejadian aneh yang mulai mengancam nyawa mereka satu persatu. Bukan hanya itu, masalah internal antara mereka, terutama yang menyangkut hubungan Chloé dan Loïc dengan mantan kekasih Chloé, Guillaume, juga menjadi rintangan tersendiri bagi mereka untuk menyelamatkan diri.
Walaupun menerapkan formula film horror yang telah seringkali digunakan dalam film-film Hollywood, namun harus diakui bahwa Abel Ferry masih mampu memberikan ketegangan sendiri dalam beberapa adegan di film ini. Ini dikarenakan Ferry tidak lagi berusaha membuat Vertige terlihat lebih pintar dengan memberikan plot-plot penuh twist untuk mengejutkan penontonnya. Ferry hanya memanfaatkan apa yang telah diharapkan oleh penontonnya untuk hadir di film ini, mempersiapkannya dan kemudian mengeksekusinya dengan cukup baik. Sederhana, namun Ferry berhasil menjaga keeratan antar satu adegan dengan adegan lainnya di sepanjang film ini, yang membuat intensitas film ini berjalan dengan lancar. Walaupun terasa lambat di awal film, Vertige lama-kelamaan bergerak dengan kecepatan yang semakin dinamis. Intensitas ini juga banyak terbentuk karena bantuan akting para pemeran film ini yang tampil cukup baik dalam menghidupkan karakternya.
Ferry juga merasa bahwa karakterisasi yang mendalam terhadap setiap karakter yang ada di film ini tidak begitu diperlukan. Hal ini memang seperti menempatkan penonton sebagai orang luar, tanpa ikatan emosional dan hanya menyaksikan kisah ini terjadi begitu saja. Karena itu pula, beberapa sub cerita yang ditawarkan tidak begitu tergali. Hanya ditampilkan secara sekilas guna semakin memperumit masalah utama yang ingin dihadirkan film ini.
Harus diakui, High Lane mendapatkan perlakuan yang cukup layak dari sisi produksinya. Semua sisi teknikal disusun dan dikemas dengan cukup rapi. Lihat saja hasil karya sinematografer Nicolas Massart yang menangkap keindahan alam sekitar latar belakang cerita dengan cukup baik. Hal yang sama juga berlaku pada tata musik dan editing film ini yang cukup membantu memberikan ketegangan tersendiri selama film ini berjalan.
Satu hal yang patut diberikan perhatian dari High Lane adalah kemampuan sutradara Abel Ferry untuk mengolah kembali formula yang telah lama digunakan dan mengasahnya kembali dan menghadirkannya dengan tingkat ketegangan yang cukup. Sayangnya, Ferry masih kurang berusaha lagi untuk meningkatkan sisi drama yang sebenarnya cukup potensial yang dapat diperoleh dari beberapa sub plot cerita di film ini. Hasilnya, walau tidak spektakuler, High Lane setidaknya masih cukup mumpuni untuk ditonton sebagai sebuah hiburan bagi penggemar film-film sejenis.