Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Jujur Prananto (Ambilkan Bulan) berdasarkan novel berjudul sama karya Erwin Arnada – yang juga duduk di kursi penyutradaraan film ini, Rumah di Seribu Ombak berkisah mengenai persahabatan antara dua anak yang tinggal di Pulau Bali dan memiliki latar belakang agama yang berbeda, Samihi (Risjad Aden) yang menganut agama Islam dan Yanik (Dedey Rusma) yang merupakan seorang penganut agama Hindu. Latar belakang agama yang berbeda sama sekali tidak mempengaruhi eratnya persahabatan antara keduanya. Yanik dengan senang hati mengajarkan Samihi pada berbagai hal baru yang selama ini belum pernah ia kenal sebelumnya. Sementara Samihi juga terus menerus mendorong Yanik agar ia mau berusaha keras untuk melanjutkan pendidikannya yang sempat terputus. Bersama dengan adik Samihi, Syamimi (Bianca Oleen), ketiganya sering berkelana dan berbagai pengalaman-pengalaman yang baru.
Hidup sendiri bagi Yanik bukanlah sebuah hal yang mudah. Yanik menyimpan sebuah pengalaman yang kelam di masa lalunya – sebuah pengalaman yang kemudian dianggapnya sebagai aib dan sekaligus membuatnya sebagai sosok yang tertutup. Sementara Samihi, walau masih memiliki seorang ayah (Lukman Sardi) yang setia melindungi dan mengarahkannya, juga memiliki rasa kerinduan yang mendalam pada almarhum ibu dan kakaknya yang telah meninggal dunia. Persahabatan yang terbentuk antara Yanik dan Samihi seperti menjadi pengobat luka yang selama ini mereka pendam sendiri. Namun, sebuah tragedi besar yang terjadi di Pulau Bali secara perlahan mulai mempengaruhi persahabatan antara mereka berdua.
Bukannya ingin mengatakan bahwa Rumah di Seribu Ombak sebagai sebuah bencana, namun deretan konflik yang coba dihadirkan dalam film ini sama sekali tidak pernah mampu tergali dengan baik. Coba lihat bagaimana Rumah di Seribu Ombak menghadirkan suasana toleransi antara umat beragama yang tercermin dari persahabatan antara karakter Samihi dan Yanik. Plot cerita mengenai toleransi umat beragama dalam film ini terasa hanya bagaikan sebuah gimmick belaka tanpa pernah diberikan alasan yang kuat apa arti pentingnya penonjolan adanya toleransi umat beragama dalam jalan cerita film ini. Toh masyarakat di sekeliling karakter Samihi dan Yanik juga tidak mengalami konflik agama dan ketika sekelumit kisah mengenai tragedi pemboman atas Pulau Bali – yang dapat dijadikan sebagai pemicu konflik antara umat beragama dalam jalan cerita – dihadirkan, karakter-karakter yang berada di dalam jalan cerita juga menyambutnya dengan biasa saja. Erwin Arnada hanya sedang memberi pendidikan sosial, mungkin?
Erwin juga mengalami kesulitan (luar biasa) dalam mengisahkan plot masa lalu karakter Yanik yang berhubungan dengan kisah pedofilia yang dialaminya. Adalah dimengerti kenapa Erwin tidak pernah mengeksplorasi plot cerita tersebut secara frontal mengingat Rumah di Seribu Ombak juga ditujukan bagi para penonton muda. Namun dengan jalan yang disajikan Erwin dalam film ini – yang berputar-putar dengan penyajian adegan kucing-kucingan antara karakter Yanik dengan karakter pelaku pedofilia tersebut – juga jelas membuat plot cerita ini menjadi terkesan pointless. Untuk apa menghadirkan jalan cerita tersebut kalau Erwin tidak pernah benar-benar mampu (baca: takut) untuk menggambarkannya secara gamblang?
Tidak berhenti hanya disitu. Beberapa konflik lainnya juga dihadirkan dalam kisah lanjutan Rumah di Seribu Ombak, seperti konflik pribadi yang dialami oleh karakter Yanik – yang kemudian pergi menghilang tanpa kejelasan lalu kemudian hadir lagi juga tanpa kejelasan – serta sekelumit kisah romansa yang dialami karakter Yanik dengan karakter Syamimi ketika mereka menginjak masa remaja. Penonton mungkin akan menebak bahwa akan ada konflik agama dalam hubungan percintaan mereka. Salah. Tidak ada konflik. Yang ada hanyalah karakter Yanik yang digambarkan begitu menyedihkan dan kemudian diceritakan – dalam usaha untuk menghasilkan simpati penonton (gagal, sayangnya) dan menyelesaikan berbagai konflik yang semenjak awal terlihat membingungkan – mengambil sebuah jalan pintas yang benar-benar klise.
Dan… yah… selain dari tampilan visual yang dihadirkan cukup membuai, Rumah di Seribu Ombak sama sekali tidak terasa istimewa. Dari jajaran pengisi departemen akting, Rumah di Seribu Ombak tampil cukup memuaskan. Ketiga pemeran anak-anak film ini mampu membawakan karakter mereka dengan baik. Sayang, justru ketika karakter mereka digambarkan tampil dewasa kualitas penampilan akting film ini menurun. Ini terjadi khususnya pada karakter Yanik yang ketika dewasa diperankan oleh Risman Jayadi. Risman tampil begitu datar dan tanpa emosi dalam seluruh penampilannya. Jelas sangat kontradiktif dengan karakter Yanik yang ia perankan dan menyimpan begitu banyak permasalahan hidup. Sementara itu Lukman Sardi tampil, seperti biasa, mampu begitu mengikat.
Dilihat secara sekilas, Rumah di Seribu Ombak terlihat sebagai sebuah film Indonesia lain yang mengeksplorasi mengenai dua tema penceritaan yang saat ini sepertinya sedang dijadikan komoditas hangat bagi para pembuat film Indonesia: semangat nasionalisme serta kisah hidup anak-anak yang tinggal di daerah pinggiran Indonesia. Well… Rumah di Seribu Ombak memang menyentuh masalah tersebut. Namun, Rumah di Seribu Ombak juga menyentuh begitu banyak permasalahan lain, mulai dari toleransi antara umat beragama, kisah romansa hingga pedofilia. Sayangnya, banyaknya tema yang ingin disampaikan dalam Rumah di Seribu Ombak sepertinya terlalu kompleks untuk disampaikan satu persatu yang akhirnya membuat tak satupun konflik yang dihadirkan mampu disajikan dengan memuaskan. Hasilnya… Rumah di Seribu Ombak tidak pernah benar-benar tampil kuat dan meyakinkan dalam bercerita.
Rating :