Terakhir kali membintangi Tabir Biru yang dirilis pada tahun 1994, aktor sekaligus penyanyi dangdut Rhoma Irama kini kembali lagi ke layar lebar untuk membintangi Dawai 2 Asmara. Selain menandai kembalinya Rhoma setelah lebih satu dekade absen di layar lebar, film ini juga menjadi debut akting bagi putranya, Ridho Rhoma, yang juga sedang menanjak namanya di blantika musik Indonesia semenjak merilis album dangdut bersama band-nya, Sonet2, pada tahun lalu.
Dawai 2 Asmara sendiri berkisah dari tiga sudut pandang cerita. Dimulai dari kisah riset seorang mahasiswi asal Australia, Haura Sydney (Emily Graham), mengenai perkembangan musik dangdut di Indonesia, film ini kemudian bergulir mengenai kehidupan keseharian penyanyi dangdut legendaris, Rhoma Irama, yang mengundang anaknya, Ridho Rhoma, untuk kembali ke Indonesia untuk membangkitkan kembali kejayaan musik dangdut di Indonesia.
Kembalinya Ridho ke Indonesia ternyata membangkitkan kenangan lama teman masa kecilnya, Thufa (Cathy Sharon), yang semenjak lama telah menaruh hati pada Ridho. Lewat sebuah event yang diadakan perusahaannya, Thufa akhirnya kembali berhubungan dengan Ridho. Sialnya, saat ini sendiri Thufa sedang mencoba menjalin hubungan dengan Delon (Delon Thamrin), yang juga merupakan seorang penyanyi. Kisah cinta segitiga inilah yang kemudian menghiasi perjalanan cerita Dawai 2 Asmara.
Di sudut lain kota Jakarta, seorang pengendara taksi, Bruto (Pepeng ‘Naif’), yang merupakan penggemar berat Rhoma Irama semenjak kecil, menaruh harapan agar dapat mewujudkan amanat sang ayah untuk mengundang Rhoma bernyanyi di kampung halamannya. Merasa bahwa impiannya tidak akan terwujud, rasa kagum dan hormat terhadap idolanya tersebut perlahan-lahan membuat Bruto menjadi obsesif. Ia bahkan berencana untuk melakukan hal buruk kepada Rhoma Irama jika impiannya tersebut gagal terwujud.
Dawai 2 Asmara sepertinya berusaha untuk membawa para penontonnya ke masa-masa keemasan Rhoma Irama, yakni ketika dirinya membintangi banyak film berlatar belakang musik dangdut dan sukses dengan memasukkan unsur dakwah di dalam jalan ceritanya. Sayangnya, usaha untuk kembali ke masa-masa keemasan tersebut tidak diiringi dengan perkembangan yang sesuai dengan dunia perfilman Indonesia saat ini. Baik dari sisi naskah cerita hingga akting yang ditampilkan Dawai 2 Asmara sama sekali jauh dari kata memuaskan.
Tiga sudut pandang cerita yang ditampilkan di film ini sama sekali tidak terasa diperlukan karena film ini sebenarnya hanya berfokus pada kisah cinta segitiga antara Ridho-Thufa-Delon, sedangkan dua sudut pandang lain terkesan hanya sebagai tempelan belaka, khususnya cerita yang berasal dari sisi karakter Haura Sydney. Kisah cinta segitiga yang ditampilkan sendiri juga tidak memberikan hasil yang maksimal. Menampilkan terlalu banyak kisah klise, yang pada awalnya lumayan menghibur, namun lama-kelamaan terasa membosankan. Ini belum lagi ditambah dengan banyaknya dialog bernuansa cheesy serta plot hole yang terdapat di banyak bagian cerita dan membuat kisah cerita Dawai 2 Asmara semakin kurang dapat dinikmati.
Dalam sebuah wawancara, Rhoma Irama pernah mengungkapkan bahwa sebagai seorang aktor di setiap filmnya, ia hanya berakting sebagai dirinya sendiri. Dan hal itu sangat terlihat di Dawai 2 Asmara. Untungnya karakter Rhoma di film ini bukan merupakan karakter utama sehingga hal tersebut tidak terlalu mengganggu. Yang jelas mengganggu adalah kemampuan akting dari Ridho Rhoma, Cathy Sharon dan Delon Thamrin yang sering terlihat kikuk sekaligus kekurangan chemistry antara ketiganya padahal karakter mereka bertiga seringkali terlihat berada dalam satu adegan. Yang berpenampilan cukup memuaskan di film ini adalah Pepeng ‘Naif’ yang berperan sebagai Bruto. Tidak mengherankan memang, diantara karakter yang ada, karakter Bruto yang ia perankan merupakan karakter yang paling kompleks. Dan adalah sebuah keberhasilan ketika Pepeng berhasil mengeksekusi karakter tersebut dengan baik.
Sebagai sebuah film berlatar belakang dangdut, tentu saja beberapa adegan musikal ditampilkan di sepanjang film. Dan jangan salah, layaknya sebuah film Hindie, tampilan musikal Dawai 2 Asmara dikemas dengan sangat baik. Begitu baik, hingga terkadang penonton akan berharap bahwa keseluruhan film ini diisi dengan lagu-lagu dangdut yang catchy tersebut daripada suguhan kisah asmara yang terlalu membosankan tersebut. Sedikit mengingatkan akan film pemenang Academy Awards, Slumdog Millionaire (2008), di akhir film, Dawai 2 Asmara, juga menampilkan adegan musikal penutup yang cukup menghibur. Jika Slumdog Millionaire berlatar belakang di stasiun kereta api, maka adegan musikal penutup Dawai 2 Asmara berlatar belakang di sebuah bandar udara.
Sangat disayangkan ketika mengetahui penampilan kembali Rhoma Irama, seorang aktor dan penyanyi dangdut legendaris Indonesia, harus melalui sebuah film yang lemah seperti Dawai 2 Asmara. Filom ini sangat terasa lemah dari berbagai sisi filmisnya: naskah cerita yang dangkal namun berusaha dipanjangkan, dialog-dialog yang terdengar cukup konyol, inkonsistensi antar adegan yang sering terjadi hingga kemampuan akting para pemeran utamanya yang jauh dari kata memuaskan. Ironisnya, satu-satunya hal yang paling dapat dinikmati dari film berlatar belakang musik dangdut ini adalah sajian musikalnya yang beberapa kali ditampilkan di sepanjang film. Bukan sebuah karya yang patut untuk dibanggakan.
Rating :