Brandal Brandal Ciliwung berkisah mengenai sekelompok anak yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung, Jakarta yang masing-masing berasal dari latar suku dan kebudayaan yang berbeda namun mampu saling bersahabat erat satu sama lain. Terdengar seperti puluhan film anak-anak Indonesia lainnya yang diselipi berbagai pesan moral tentang sikap nasionalisme dan rasa saling menghargai terhadap adanya perbedaan? Benar. Walau diadaptasi dari sebuah novel arahan Achmad MS berjudul sama yang diterbitkan pada tahun 1974, Brandal Brandal Ciliwung nyaris hadir tanpa sebuah adanya perbedaan cerita yang dapat membedakannya dari kebanyakan film-film Indonesia modern yang ditujukan bagi para penonton muda. Konfliknya juga cenderung datar dengan pendeskripsian cerita yang cenderung bertele-tele yang akhirnya membuat durasi film ini melebar menjadi sepanjang 111 menit dengan tanpa kehadiran esensi cerita yang kuat.
Dalam Brandal Brandal Ciliwung, lima orang anak yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung, Jakarta: Jaka (Endy Arfian) yang berlatarbelakangkan suku Betawi, Timur (Julian liberty) yang memiliki latar belakang darah Papua, Umar (Sehan Zeck) yang memiliki garis keturunan darah Arab, Tirto (Aldy Rialdy Indrawan) yang bersuku Jawa serta Raja (M Syafikar) yang memiliki darah Batak telah saling bersahabat semenjak lama. Asal mereka yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung – serta kegemaran mereka untuk mandi sekaligus membersihkan keberadaan sampah yang berada di sungai tersebut – membuat mereka menamakan diri mereka sebagai Pasukan Ciliwung. Beberapa pihak seringkali hadir untuk mengganggu persahabatan mereka. Namun, Jaka dan teman-temannya, selalu mampu untuk bersatu dan meruntuhkan berbagai rintangan tersebut.
Lalu datanglah Sissy (Gritte Agatha), seorang gadis cucu dari Babah Alun (Hengky Solaiman) yang merupakan seorang keturunan Tionghoa. Tidak seperti gadis-gadis seusianya, Sissy lebih cenderung menyukai aktivitas yang bernuansa maskulin. Tidak mengherankan jika kemudian Sissy kemudian tertarik untuk berteman dan bergabung dengan para anggota kelompok Pasukan Ciliwung. Jaka, yang melihat Sissy sebagai seorang perempuan yang lemah dan hanya akan menimbulkan kesulitan, awalnya menolak kehadiran Sissy. Konsistensi Sissy dalam menunjukkan kapabilitas dirinyalah yang kemudian akhirnya membuat Jaka dan seluruh anggota Pasukan Ciliwung mau menerima kehadiran Sissy di kelompok mereka.
Tidak hanya berkisah mengenai persahabatan enam karakter anak-anak tersebut, Brandal Brandal Ciliwung juga mencoba untuk mengulik beberapa kisah pribadi dari karakter-karakter anak tersebut: seperti hubungan karakter Tirto dengan ayahnya, Sissy dengan ibu dan kekasih barunya, Raja dengan paksaan orangtuanya untuk menemukan bakatnya serta Jaka dengan berbagai masalah pribadinya. Kisdah-kisah tambahan ini awalnya cukup mampu dihadirkan secara perlahan dan menarik perhatian. Namun, di tengah-tengah penceritaan Brandal Brandal Ciliwung entah mengapa kemudian pengarahan sutradara Guntur Soeharjanto (Purple Love, 2011) menjadi terasa datar dan berjalan tanpa aturan. Banyak kisah-kisah tambahan ini kemudian timbul tenggelam dalam jalan cerita yang sedikit banyak sangat berpengaruh dalam konsistensi kehadiran ikatan emosional antara penonton dengan jalan cerita film.
Naskah cerita yang ditulis oleh Alim Sudio juga memuat terlalu banyak hal-hal klise yang sebenarnya dapat saja dihilangkan guna menjadikan durasi Brandal Brandal Ciliwung lebih singkat dan efektif. Karakter-karakter yang dihadirkan oleh Alim Sudio juga lebih terasa bagaikan gimmick belaka daripada dijadikan kekuatan film sendiri. Lihat saja contoh perbedaan latar belakang suku bangsa dari masing-masing karakter utama yang sepertinya hanya dihadirkan untuk menambah warna pada aksen vokal para pemerannya, sebagai pemancing untuk munculnya sebuah guyonan atau dijadikan sebagai katalis untuk menghadirkan tema nasionalisme – yang sebenarnya tidak pernah benar-benar ada dan dimanfaatkan hingga di penghujung film.
Kedangkalan karakter jelas memberikan pengaruh besar pada kemampuan para jajaran pengisi departemen akting film ini untuk memberikan kehidupan bagi karakter mereka. Tidak ada satupun karakter yang mampu hadir dengan ikatan emosional yang kuat. Beberapa diantara jajaran pemeran muda film ini juga seringkali terlihat kaku di banyak adegan. Yang paling parah, chemistry antara satu pemeran dengan yang lainnya gagal terbentuk dengan sempurna sehingga kebersamaan yang mereka hadirkan di sepanjang film terlihat begitu dipaksakan. Para jajaran pemeran senior cukup memberikan warna tersendiri dalam kapasitas akting yang mereka berikan yang setidaknya berhasil membuat Brandal Brandal Ciliwung masih layak untuk diikuti penceritaannya.
Brandal Brandal Ciliwung jelas bukanlah sebuah presentasi yang mengecewakan secara keseluruhan. Film ini memiliki dasar awal cerita yang kuat namun sayangnya gagal untuk dipresentasikan dengan baik akibat penggambaran naskah cerita yang seringkali terlihat bertele-tele maupun terjebak dengan formula penceritaan yang berusaha untuk tampil mendidik. Padahal, mungkin jika Guntur Soeharjanto dan Alim Sudio dapat mengeksplorasi lebih banyak bagian bersenang-senang dari film ini dan tidak berusaha keras untuk tampil sebagai sebuah karya yang inspiratif, Brandal Brandal Ciliwung dapat hadir lebih berwarna untuk disimak berulang kali. Bukan sebuah karya yang buruk, namun masih jauh dari hasil akhir yang mengesankan.
Rating :