Review

Info
Studio : SinemArt Pictures
Genre : Drama
Director : Chaerul Umam
Producer : Leo Sutanto
Starring : Meyda Sefira, Miller Khan, Kholidi Asadil Alam, Amoroso Katamsi, Nena Rosier

Jumat, 17 Agustus 2012 - 23:39:48 WIB
Flick Review : Cinta Suci Zahrana
Review oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 5881 kali


Setelah Ayat-Ayat Cinta (2008), dua seri Ketika Cinta Bertasbih (2009) dan Dalam Mihrab Cinta (2010), Cinta Suci Zahrana menjadi novel keempat karya Habiburrahman El Shirazy yang diangkat ke layar lebar. Seperti yang diungkapkan oleh judul film ini, Cinta Suci Zahrana berkisah mengenai seorang karakter wanita bernama Zahrana (Meyda Sefira), yang digambarkan sebagai sesosok wanita yang tidak hanya memiliki kecantikan fisik namun juga memiliki otak yang begitu cemerlang serta taat beribadah. Kekurangan Zahrana? Di usianya yang kini telah mencapai 34 tahun, ia masih belum dapat menemukan sesosok pria yang dapat dijadikannya sebagai seorang pendamping seumur hidupnya. Zahrana sebenarnya tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Namun kedua orangtuanya (Amoroso Katamsi dan Nena Rosier) membuat permasalahan jodoh tersebut seperti layaknya sebuah aib bagi keluarga mereka yang harus segera disingkirkan.

Setelah berkali-kali didekati beberapa pria yang ternyata hanya tertarik pada kecantikan fisik Zahrana semata, Zahrana akhirnya menyerah untuk mencarikan jodoh bagi dirinya sendiri. Desakan sang ayah akhirnya membuat Zahrana memilih untuk memberikan semua keputusan yang berkaitan dengan jodoh dan pasangan hidupnya kepada kedua orangtuanya. Zahrana juga tidak lagi mempedulikan penampilan fisik, status sosial, usia, maupun tingkat pendidikan pria yang akan dijodohkan padanya. Ia hanya ingin sesosok pria yang taat beribadah untuk dijadikan pemimpin bagi keluarga yang akan ia bina kelak sekaligus memberikan kebahagiaan bagi sang ayah untuk dapat menyaksikannya bersanding di pelaminan.

Terlepas dari deretan ajaran relijius yang berada di dalam jalan cerita dan menyelipkan pesan bahwa kaum wanita seharusnya tidak hanya mengejar kebahagiaan maupun status di dunia namun juga harus tidak pernah melupakan kodratnya untuk segera menemukan pendamping hidup, Cinta Suci Zahrana nyaris terlihat hanya menjadikan karakter utama wanitanya sebagai sesosok objek penderita yang harus mengikuti berbagai keinginan orang lain untuk memenuhi kebahagiaan mereka walaupun hal tersebut kadang tidak sesuai dengan isi dan keinginan hati mereka. Jalan cerita Cinta Suci Zahrana juga terkesan merendahkan berbagai pencapaian yang telah diraih karakter utama wanitanya. Bayangkan saja, seorang wanita yang digambarkan begitu cantik, taat beribadah, memiliki pemikiran yang begitu cemerlang serta mampu meraih berbagai prestasi tingkat internasional harus terjebak dalam sebuah perjodohan dengan berbagai tipe lelaki yang jauh berada di bawah kualitasnya (seriously… Anda akan rela menjodohkan anak wanita Anda satu-satunya yang memiliki begitu banyak pencapaian dalam hidupnya dengan sesosok rektor tua yang gemar berselingkuh, satpam dan tukang kerupuk hanya karena ia telah berusia 34 tahun?) hanya demi memenuhi imajinasi palsu orangtuanya bahwa wanita dewasa yang belum menikah adalah sebuah aib yang begitu memalukan bagi mereka. Karakter orangtua Zahrana mungkin adalah salah satu karakter orangtua yang paling buruk yang pernah tergambar di dalam film Indonesia.

Keluar dari berbagai ideologi dan isu yang jauh dari kesan relevan yang terdapat dalam jalan ceritanya, Cinta Suci Zahrana juga tidak mampu memberikan sesuatu raihan kualitas yang baru jika dibandingkan dengan film-film hasil adaptasi novel Habiburrahman El Shirazy lainnya. Cinta Suci Zahrana bahkan dengan jelas memiliki kualitas terburuk. Naskah cerita yang digarap oleh Misbach Jusa Biran sama sekali tidak mampu menutupi berbagai kekurangan yang sepertinya memang terlanjur tertera dalam jalan penceritaan novel Cinta Suci Zahrana – dan setiap novel besutan Habiburrahman El Shirazy lainnya: berisi konflik yang terkesan dipanjang-panjangkan, begitu mudah ditebak, kurang esensial untuk dihadirkan, dialog yang konyol hingga karakter-karakter dangkal yang gagal untuk tampil menarik.

Presentasi Chaerul Umam – yang sebelumnya mengarahkan dua seri Ketika Cinta Bertasbih – untuk film ini juga begitu lemah. Dengan durasi sepanjang 108 menit, Cinta Suci Zahrana seringkali tampil dalam ritme penceritaan yang tidak konsisten. Tata produksi yang ditampilkan juga tidak memberikan sesuatu yang baru. Satu-satunya hal yang dapat diberikan penilaian layak mungkin adalah para jajaran pengisi departemen aktingnya – well… mungkin selain Miller Khan yang terlihat masih begitu sulit untuk berbicara dalam nada bicara yang wajar. Meyda Sefira, Kholidi Asadil Alam dan Amoroso Katamsi merupakan beberapa penampil yang mampu menghadirkan tingkat kualitas penampilan yang konsisten di sepanjang penceritaan film ini.

Hal yang paling membuat Cinta Suci Zahrana terasa mengganggu jelas adalah bagaimana pesan yang seharusnya bernada positif disampaikan dengan jalan yang salah dan akhirnya justru menimbulkan imej yang negatif. Daripada berhasil menyampaikan pesan-pesan yang bernuansa relijius, Cinta Suci Zahrana justru memberikan kesan bahwa sosok wanita – tidak peduli bagaimanapun cantiknya, bagaimana tingkat keimanannya, pencapaian akademis dan prestasinya – adalah tetap dipandang rendah ketika mereka gagal untuk menemukan pendamping hidup di usia yang telah begitu matang. Selain itu, Cinta Suci Zahrana, secara filmis, juga tidak mampu memberikan kualitas yang memuaskan. Jalan ceritanya yang begitu mudah tertebak karena mengikuti pola penceritaan film-film hasil adaptasi novel Habiburrahman El Shirazy lainnya, deretan dialog yang seringkali terdengar konyol serta karakter yang gagal tergali dengan baik membuat Cinta Suci Zahrana terasa gagal untuk bercerita secara tepat.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.