Dalam Streetdance 2, seorang penari bernama Ash (Falk Hentschel) bertemu dengan seorang penari lainnya bernama Eddie (George Sampson) yang lantas berniat untuk menjadi manajernya dan mengorbitkan Ash menjadi pemimpin sebuah kelompok tari yang dapat mengalahkan Invincibles, sebuah kelompok tari arogan yang sayangnya selalu berhasil memenangkan setiap kejuaraan tari tingkat dunia yang mereka ikuti. Ash dan Eddie akhirnya mengunjungi berbagai negara di Eropa guna mengumpulkan talenta-talenta tari terbaik dan akhirnya berhasil mengumpulkan Steph (Stephanie Nguyen), Yo Yo (Delphine Nguyen), Legend (Niek Traa), Bam Bam (Elisabetta Di Carlo), Tino (Samuel Revell), Terabyte (Kaito Masai), Ali (Ali Ramdani), Killa (Ndedi Ma-Sellu), Skorpion (Brice Larrieu) dan Junior (Akai Osei-Mansfield).
Berkumpul dengan para jagoan tari kontemporer dari berbagai belahan benua Eropa jelas membuat Ash lebih mudah untuk mengeksplorasi kemampua tarinya. Namun, Ash kemudian merasa bahwa dirinya masih kekurangan satu elemen tari yang mampu membuat kelompoknya tampil beda dengan kebanyakan kelompok tari kontemporer lainnya. Dengan bantuan Eddie, Ash kemudian berkenalan dengan Eva (Sofia Boutella), seorang penari dengan kemampuan menarikan berbagai tarian Latin yang luar biasa. Eva akhirnya memberikan inspirasi bagi Ash untuk menggabungkan dua jenis tarian yang berbeda tersebut menjadi sebuah senjata yang dapat membantu kelompoknya mengalahkan Invincible.
Hal yang membedakan Streetdance 2 dengan kebanyakan film-film bertema tarian lainnya jelas adalah jenis tarian yang ditampilkan dalam film ini. Seperti yang dilakukan karakter utama dalam jalan ceritanya, Streetdance 2 mengeksplorasi jenis tarian Latin dan menggabungkannya dengan elemen-elemen tarian kontemporer. Hasilnya… tidak buruk. Ketika film ini menghadirkan koreografi yang memadukan tarian Latin dan tarian kontemporer tersebut, Streetdance 2 cukup mampu tampil mengesankan. Sayangnya, keunggulan tersebut hanya disajikan dalam kapasitas seadanya dan jarang menjadi presentasi tari utama dari film ini.
Jalan cerita? Well… tidak banyak yang dapat diharapkan. Satu karakter utama dikisahkan berniat untuk merebut dunia dengan tariannya, kemudian bertemu dengan penari lainnya, kemudian mereka saling jatuh cinta, kemudian sebuah masalah muncul yang sepertinya akan memisahkan mereka, kemudian mereka menyadari kalau mereka seharusnya saling memiliki satu sama lain dan kemudian akhirnya memilih untuk merebut mimpi mereka bersama. Phew. Klise. Dan naskah cerita yang ditulis oleh Jane English sama sekali tidak berusaha untuk menambahkan elemen cerita baru yang dapat membuat formula klasik tersebut setidaknya mampu terlihat sedikit lebih menarik.
Dari segi penampilan akting… well… film ini adalah sebuah film tentang dunia tari. Jadi sepertinya tidak akan mengherankan jika melihat para pengisi departemen akting film ini tampil lebih mahir dalam menampilkan tarian mereka daripada menampilkan kemampuan akting mereka. Tidak dapat lantas dikategorikan sebagai penampilan yang buruk, namun jelas sangat jauh dari penampilan yang mengesankan. Chemistry yang hadir diantara pemain – dimana seharusnya setiap karakter terlihat saling dekat dan mendukung satu sama lain – juga tidak begitu terlihat baik. Sederhananya, Streetdance 2 sepertinya hanya mengandalkan deretan koreografi tarinya daripada elemen-elemen filmis lainnya.
Sama sekali tidak ada sesuatu yang baru, maupun orisinal, yang dapat ditawarkan oleh Streetdance 2 – sebuah sekuel dari film yang berkisah tentang dunia tari asal Inggris, Streetdance, yang berhasil meraih kesuksesan besar ketika dirilis pada tahun 2010 lalu. Masih disutradarai oleh duo Max Giwa dan Dania Pasquini, secara jalinan kisah, Streetdance 2 sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan kisah sebelumnya, kecuali penampilan dari George Sampson dan kelompok tari Flawless yang kembali hadir di film ini. Walaupun begitu, Streetdance 2 masih mampu menutupi berbagai kekurangan yang muncul dari jalan cerita dan penampilan akting para pemerannya yang datar dengan menghadirkan deretan adegan aksi tarian yang sangat menarik. Yahhh… setidaknya keunggulan tipis tersebut mampu menghindarkan film ini menjadi sebuah tampilan yang benar-benar buruk.
Rating :