Sinopsis: “Darah Garuda” melanjutkan segerombolan pejuang dari pihak tentara Republik Indonesia yang masih bau kencur dalam urusan perang. Amir (Lukman Sardi), Dayan (Rifnu Wikana), Marius (Darius Sinathrya), Tomas (Donny Alamsyah) yang baru saja lulus dari sekolah tentara beruntung bisa selamat dari serangan Belanda.
Empat pejuang yang dibedakan oleh asal daerah dan keyakinan ini, disatukan hanya oleh satu keinginan: merdeka. Setelah berhasil menyelamatkan teman-teman mereka, Amir dan kawan-kawan sekarang bergerilya di hutan belantara Jawa Barat. Sampai akhirnya kelompok kecil pejuang ini bertemu dengan pasukan Jenderal Sudirman dan diberi tugas untuk menghancurkan lapangan udara milik Belanda. Dengan tambahan pasukan, Amir, Dayan, termasuk orang baru Yanto (Ario Bayu), dan yang lainnya, beranjak menjalankan rencana. Tapi belum apa-apa, jalan menuju target sasaran sudah menyulitkan para laskar merah putih kita, mereka terhadang oleh blokade tentara Belanda dan terpaksa melawan. Pertempuran yang tidak seimbang ini menghabisi satu-persatu nyawa dari pihak pejuang, menyisakan hanya sedikit, tidak ada waktu untuk berduka mereka harus meneruskan tugas yang diembannya. Perjuangan semakin berat ketika penjajah bukanlah satu-satunya musuh mereka, karena penghianatan mengintai dari balik selimut perjuangan.
Review: Disandingkan dengan pendahulunya, film kedua dari trilogi Merah Putih yang sekarang diberi judul “Darah Garuda” ini jelas terdengar lebih lantang ketika berteriak “merdeka” dalam artian berjuang lebih keras demi memenuhi harapan penonton akan sebuah sekuel. Berbicara soal “merdeka” saya jadi bertanya-tanya sendiri, sudah berapa lama kita tidak disuguhkan aksi patriotisme lewat film-film bertema perang kemerdekaan? judul-judul seperti “Pasukan Berani Mati” (1982), “Serangan Fajar” (1981), “Soerabaia 45” (1990), “Naga Bonar” (1987), dan “Tjoet Nja' Dhien” (1988), menyadarkan saya begitu banyaknya kisah perjuangan yang difilmkan bertebaran di era tahun 80-90an. Tapi begitu menginjak milenium baru, tema pengobar semangat cinta tanah air tersebut tampaknya hangus terbakar oleh tema film horor. Alih-alih mengajak “mengheningkan cipta”, film-film lokal yang bermunculan di bioskop mulai dibanjiri suara-suara teriakan ketakutan. “Merah Putih” pun hadir di tahun 2009, menjawab kerinduan kita akan film bernafaskan perjuangan kemerdekaan Indonesia, ironisnya film ini tidak murni buatan bangsa sendiri.
Berisikan gabungan antara kru-kru dalam negeri sendiri dan “bule”, film ini pun seperti mengawinkan dua gaya yang berbeda, timur dan barat. Hasilnya adalah sebuah cerita dan penggambaran tentang perjuangan bangsa Indonesia yang bercitarasa agak hollywood. Yadi pun sekarang tidak lagi “berjuang” sendiri tetapi dikawal oleh Conor Allyn sebagai sutradara kedua, Conor juga masih menuliskan cerita film ini bersama dengan Rob Allyn. Apa yang saya harapkan untuk muncul di film pertama ternyata memang disiapkan untuk film kedua, yah jika anda juga menunggu adegan perang, semua itu akan hadir di sekuel berjuluk “Darah Garuda” ini. Berbeda dengan pendahulunya yang difokuskan sebagai perkenalan satu-persatu karakternya, film kedua seperti menuliskan lembar demi lembar takdir yang akan diterima setiap karakter. Para karakternya berkembang disini dan semua dilipatgandakan dari drama, romansa, dan action itu sendiri.
Film pertama bukannya tidak ada action sama sekali, ada, tapi telanjur mengecewakan mereka yang berharap bisa menonton film penuh ledakan dan banjir peluru. Trailer dari “Darah Garuda” menjanjikan, sekilas film ini sepertinya punya niat untuk mengobati kekecewaan penonton. Adegan-adegan action memang bertambah tapi kemunculannya masih bisa dibilang kurang memacu adrenalin untuk menari-nari diantara desingan peluru dan dentuman bom. Sebaliknya film ini memberikan sisi drama dengan porsi yang lebih, bisa dibilang terlalu berlebihan. Drama yang dibalut dengan intrik-intrik penghianatan memang sanggup menambah variasi cerita dengan pernak-pernik dramatisasi disana-sini. Beberapa ada yang menarik dengan mengumpankan penonton dengan perseteruan antara tentara dengan milisi berbasis Islam, sekali lagi mengandalkan konflik kepercayaan dan penghianatan. Pihak Belanda juga diberikan porsi lebih untuk bercerita, berbeda dengan film pertama yang didominasi oleh cerita dari sisi para pejuang saja.
Sayangnya dengan persoalan-persoalan yang intensitasnya ditingkatkan, hal ini tentu saja berdampak pada adegan-adegan yang dipaksakan untuk menyelesaikan semua persoalan yang hadir. Beberapa adegan dengan unsur drama berhasil mencuri durasi lebih lama dan hasilnya selain memberi ketegangan lebih antara pihak yang bersiteru, secara bersamaan juga seperti menodongkan penonton dengan kalimat-kalimat membosankan. Skrip yang ditulis oleh duo Allyn sepertinya masih menjadi persoalan ketika diterjemahkan ke dalam bahasa kita, sama seperti film pertama, kita masih akan mendengar dialog-dialog yang cukup menganggu didengar oleh kuping pribumi. Tidak saja karena kalimat-kalimat tersebut jarang diucapkan tapi siapa saja yang mendengarkan dengan baik, pasti langsung sadar dialog tersebut diterjemahkan secara mentah-mentah dari skrip berbahasa Inggris dan dipaksakan untuk cocok dengan bahasa Indonesia. Ketika film kita selalu terbentur dengan masalah bahasa, antara baku dan tidak baku, ada baiknya persoalan bahasa ini tak dianggap remeh. Karena tidak hanya mata yang ingin dimanjakan tetapi juga telinga.
Berkaca pada kekurangan, “Darah Garuda” tentu saja masih punya kelebihan-kelebihan yang sayang untuk dilewatkan. Kedatangan Ario Bayu dan Atiqah Hasiholan (berperan sebagai pejuang wanita) ke dalam barisan pemain makin menambah warna dalam film ini dan merekrut mereka untuk ikut berjuang adalah langkah yang benar. Akting keduanya bahkan dirasa lebih menonjol ketimbang pemain lain yang sudah lebih dahulu terjun ke medan pertempuran. Lukman Sardi dan kawan-kawan sayangnya hanya melanjutkan apa yang sudah ada tanpa diberi kesempatan untuk mengembangkan karakternya, mungkin hanya Rahayu Saraswati sebagai Senja yang diberi variasi lebih daripada sebelumnya. Jika dikatakan minim action, tidak juga, karena adegan aksi memang dilipatgandakan di film ini, dengan dramatisasi ala hollywood yang dikemas apik oleh tim spesial efek yang khusus diimpor dari luar negeri. “Darah Garuda” dengan teriakan “merdeka” yang lebih lantang mampu menghadirkan perjuangan yang lebih bernyawa, dengan iringan alunan musik indah dari Thorsie Argeswara. Namun perjuangannya untuk memompa semangat patriotisme masih perlu dibuktikan lagi, karena pertempuran masih belum usai dan trilogi “Merah Putih” masih memiliki kesempatan untut berjuang lagi di film terakhir yang dijadwalkan rilis bulan Desember. Merdeka!
Rating :