Popularitas pocong tampaknya belum juga redup ataupun dikalahkan oleh kemunculan film hantu-hantu lain (bukannya hantunya itu-itu aja yah?), mungkin hanya kuntilanak yang masih jadi pesaing berat si pocong dalam perebutan gelar hantu populer, termasuk bersaing menjadi yang paling sering tampil di judul film horor. Persaingan sengit mereka pun sempat dimanfaatkan, bagaimana jika dua hantu “favorit” ini diadu seperti ayam, maka tak mau kalah dengan Hollywood lahirlah “Pocong vs Kuntilanak”, membuat film “Freddy vs Jason” tampak bukan apa-apa dibanding film tersebut. Entah sudah berapa judul film horor tanah air yang memakai kata “pocong”, tidak lupa dengan embel-embel lokasi seram atau apapun itu untuk menambah dangkalnya judul (apalagi filmnya). Tak puas mengeksploitasi pocong—badan perlindungan hak asasi hantu harus cepat bertindak sebelum terlambat—untuk kesekian kalinya, film pocong hadir kembali menyemarakkan stagnasi horor lokal. Tidak peduli dengan judulnya yang pasaran, dangkal bin tak sesuai dengan isi film, dan penonton yang sudah bosan, Nayato untuk kesejuta-kalinya akan mencoba keberuntungannya untuk menakuti kita lewat “Pocong Jumat Kliwon”.
Tunggu dulu, Nayato kali ini sepertinya tersadar bahwa ketika dia membuat film horor, filmnya justru jatuh menjadi film komedi, jadi film pocongnya sekarang sengaja dibuat bernuansa horor-komedi. Jika kualitasnya sebagai sutradara film drama dan horor sudah tidak perlu “ditanyakan” lagi, apakah kali ini Nayato mampu menggelitik saya dengan komedinya? saya sempat akan mengadakan syukuran tujuh hari dan tujuh malam karena secara mengejutkan “Pocong Jumat Kliwon” ternyata bisa terlihat menyenangkan. Yah memang bukan komedi yang saya harapkan tetapi setidaknya humor-humornya sanggup membuat saya tersenyum satu milimeter dan menjanjikan hiburan yang tak pernah dibuat oleh Nayato sebelumnya. Film dibuka dengan adegan Arumi Bachsin dikejar-kejar oleh hantu wanita, tiba-tiba ada suara “cut” yang menandakan bahwa adegan ini hanya bagian dari syuting film. Moniq dan kawan-kawan sedang membuat film horor yang dibintangi (katanya) artis papan atas menyebalkan bernama Arumi Bachsin, adegan yang muncul di awal pun jadi berantakan karena si artis terganggu rambut palsu setan yang masuk ke hidungnya. Sambil menunggu rambut palsu pengganti yang lebih mahal dan Arumi yang terus saja terlihat menyebalkan, ada baiknya mendengarkan sang sutradara ceramah.
Moniq sedang marah-marah sambil membaca buku “curhat” Nayato yang ketinggalan di lokasi syuting, atau memang sengaja ditinggalkan, dengan cara ini dia bisa menjawab keluh kesah penonton yang sering bertanya kenapa sih Nayato jika buat film horor selalu ada adegan kamar mandi atau memakai artis seksi dengan payudara besar? nah melalui Moniq, Nayato pun curhat sedikit. Moniq (masih marah-marah) mengatakan “film horor kalau nga ada unsur mesum dan buka-buka-an nga bisa komersil, makanya gw pake artis yang punya t***t gede supaya film kita bisa komersil”. Berlatar belakang figuran yang memakai t-shirt film-film Nayato sebelumnya, dialog tersebut seperti sebuah alibi untuk mengesahkan apa yang nantinya Nayato selipkan di film ini, apalagi jika bukan adegan bikini dan kamar mandi yang sudah jadi “signature”-nya tersebut. Rencana syukuran saya pun batal karena momen “fun” yang saya rasakan tidak bertahan lama, arrgh hanya 10 menit dan sisanya dilanjutkan dengan terapi kejut khas Nayato dan komedi yang bisa membuat film KKD terlihat lebih baik.
Oh iya saya belum memberitahu jika Moniq melakukan syuting di tengah hutan tapi entah bagaimana caranya (hanya Nayato yang bisa menjawab) para pemainnya bisa mandi di kolam renang bagus seperti di villa, tentu saja lengkap dengan adegan pamer bikininya. Mengutip apa yang dikatakan Moniq sebelumnya (masih ingat kan?), adegan ini hanya untuk membuat film Nayato komersil, jadi tidak perlu dipikirkan soal logika darimana kolam renang bisa muncul ditengah hutan (ini adalah salah satu trik sulap Nayato, sama seperti dia dengan mudah bisa mengganti judul film Jeritan Perawan menjadi Nakalnya Anak Muda dalam waktu kurang dari 24 jam). Bersama dengan kolam renang mistis yang muncul tiba-tiba, hantu pocong yang ditunggu pun hadir (saya segera membuka botol anggur rasa tape) menggantikan Arumi Bachsin yang memang perannya hanya sebagai “special appearance” saja. Arumi meninggalkan tempat syuting karena kesal dan tidak diceritakan lagi, mungkin yang menjadi pocong itu yah si Arumi yah. Kejadian aneh pun mulai muncul, Linda yang memakai wig baru mengalami kesurupan. Sejak saat itu seluruh kru terus diganggu dan diikuti oleh pocong…pocong super-narsis.
Nayato memang ajaib, bagaimana dia bisa mengemas filmnya sedemikian menarik walau dengan plot yang dangkal sampai penggaris saya pun tidak bisa mengukurnya. Hebatnya dia juga sanggup “membanjiri” filmnya dengan adegan-adegan yang sudah sepantasnya disambut dengan tawa dalam hati, itu pun untuk menghibur diri sendiri yang sudah bosan setengah mati. Komedi benar-benar mendominasi disini, adegan yang dipersiapkan untuk mendukung horor pun berubah menjadi komedi, jadi Nayato tampaknya sekali lagi berhasil, berhasil membuat film komedi tidak untuk ditertawakan. Pocong biasanya menakutkan, tidak disini, karena peran hantu satu-satunya di film ini berubah menjadi badut yang tidak pintar melawak. Saya sudah sering mengingatkan Nayato untuk tidak lagi menggunakan gas 3kg di filmnya (mengingat banyak ledakan diakibatkan gas), tapi tetap saja dijadikan properti syuting, mungkin untuk dijadikan alat pukul atau diterbang-terbangkan kesana-kemari seperti di film-film horor sebelumnya.
Sialnya kejadian tidak menyenangkan yang saya takutkan terjadi, gas 3kg meledak dekat pocong yang sedang bengong karena jadwalnya keliling terpaksa dibatalkan untuk syuting film ini. Beruntung Nayato jadi bisa makin menghemat bujet film yang syuting selama 8 hari ini, tidak usah repot-repot lagi membeli peralatan rias untuk pocong, toh si pocong sudah hitam, hancur, dan jelek dengan sedikit tempelan bubur basi di sekitar pipinya, uangnya bisa dipakai untuk film selanjutnya (asyiiiiiik….!). Si pocong pun siap beraksi setiap 5 menit sekali, saya tidak sedang bercanda karena sesering itulah Nayato menampakkan hantunya kali ini, bisa dibilang film ini memecahkan rekor penampakan hantu pocong. Ketika salah-satu pemainnya sedang mandi (adegan mandi juga tidak lagi terhitung jumlahnya), si pocong juga tak malu-malu menampakkan muka jeleknya hanya untuk bisa mengintip. Jadi bertanya-tanya motif dibalik si pocong ini apa, balas dendam karena wignya rusak dipakai syuting atau memanfaatkan statusnya sebagai hantu, tidak kelihatan jadi bisa ngintip sepuasnya.
Kemunculan pocong pun tidak sebatas di malam hari, Nayato memaksa pocong untuk muncul juga di siang hari. Si pocong pun bertambah hitam terkena sinar matahari hanya untuk memuaskan nafsu Nayato memecahkan rekor. Nayato pun dengan kecerdikannya menyiapkan hantu pocong untuk dijamin bisa mengagetkan penonton, muncul kapan saja dan dimana saja, termasuk muncul dibelakang pemain dan mengilang (gaya hit and run ciri khas Nayato), lalu muncul juga di dalam kulkas dan sering sekali dijatuhkan dari atas pemain. Nayato yang terlalu fokus menakuti penonton (itu pun gagal) dan sekuat tenaga untuk menghadirkan komedi (gagal juga), seperti biasa membuat dia lupa kalau film juga butuh plot dan alur cerita yang menarik. Jangankan kedua kombinasi yang jarang ada di film-filmnya tersebut, karakter berdada montok yang di awal muncul saat syuting saja sepertinya dilupakan oleh Nayato. Tidak hanya karakter ini tidak diceritakan lagi tapi dia ditinggal di hutan ketika kru sudah pulang kerumah masing-masing. Mungkin Nayato mempersiapkan dia untuk sekuel film ini dengan judul “Pocong Mupeng di Hutan” (semoga saja tidak).