Review

Info
Studio : Constantin Film, Impact Pictures
Genre : Action, Horror
Director : Paul W. S. Anderson
Producer : Paul W. S. Anderson
Starring : Milla Jovovich, Ali Larter, Kim Coates, Shawn Roberts, Spencer Locke, Boris Kodjoe, Wentworth Miller

Jumat, 24 September 2010 - 21:41:08 WIB
Flick Review : Resident Evil: Afterlife
Review oleh : Rangga Adithia (@adithiarangga) - Dibaca: 2869 kali


Sinopsis: Alice diceritakan sudah mengetahui bahwa dirinya dikloning oleh perusahaan Umbrella, musuh bebuyutannya. Dipicu oleh balas dendam, dia pun memanfaatkan saudara-saudara se-DNA-nya untuk ikut bergabung menyerang markas perusahaan berlogo payung merah ini.

Namun usaha Alice menghabisi perusahaan pencipta T-virus ini tidak sesuai rencana, semua kloningnya terbunuh dan Alice sendiri kehilangan kekuatannya.  Setelah menjadi normal, Alice terbang dengan pesawatnya menuju tempat bernama Arcadia di Alaska, satu-satunya kota yang dipercaya tidak terjangkit virus.

Tapi yang ditemukan oleh Alice hanya pantai kosong tak bertuan, dia justru bertemu dengan teman lamanya dari film sebelumnya Claire Redfield (Ali Larter) yang amnesia. Bersama dengan Claire, mereka terbang menuju Los Angeles, disana mereka menemukan orang-orang yg selamat dan juga ribuan zombie…serta makhluk besar bernama Axeman.

Review: Paul W. S. Anderson benar-benar memanfaatkan dengan baik “Resident Evil: Afterlife” untuk menumpahkan semua egonya, termasuk mengemasnya dalam bentuk 3D, bukan konversi seperti film-film 3D kebanyakan tapi memanfaatkan teknologi yang dikembangkan oleh sutradara favoritnya, James Cameron, lewat Fusion Camera System (teknologi yang sama yang digunakan Avatar). Tapi ketika Anderson terlalu sibuk mempersiapkan filmnya untuk tampil maksimal dengan kacamata 3-D, hasilnya adalah film ini justru terlihat berlebihan, plotnya terlupakan dan bergantung pada ceritanya yang pintar berbicara lewat adegan action.

Dari sekian banyak adegan-adegan aksi yang ditawarkan pun, tidak semua dikemas dengan intensitas hiburan yang maksimal, kadarnya ringan hanya untuk bersorak-sorai sejenak (seperti pemandu sorak yang kelelahan). Anderson hanya cukup menambahkan adegan-adegan action yang sudah kadaluarsa, klise, lalu mendaur-ulangnya dan me-make-overnya sedikit untuk terlihat seperti baru. Formula “basi”nya pun diracik dengan slow motion yang berlebihan.

Adegan-adegan action yang banyak meniru apa yang sudah dilakukan trilogi The Matrix ini memang tidak dipungkiri mampu memukau mata tapi nol besar dalam misi utamanya mengajak adrenalin saya untuk berdecak kagum, kegirangan berlari dari kejaran zombie. Plotnya mudah-ditebak-membosankan-datar-tak-karuan, ditambah dengan barisan adegan gerak lambat yang berlebihan, film ini mengerti sekali untuk membuat saya diam dan sesekali menghela nafas tanda bahwa film ini mulai membawa saya ke titik bosan.

Film ini seperti mengajak kita menaiki roller coaster yang tidak pernah berhasil menanjak ke puncak, apalagi mengajak kita terjun bebas dari ketinggian. Momen-momen survival-nya pun hanya sanggup mengajak saya sebentar untuk merasakan “girang” lewat beberapa adegan pertempuran dengan zombie dan monster besar bernama Axeman, tapi sekali lagi gagal untuk mengajak saya untuk sampai ke titik klimaks. Apalagi Anderson senang sekali menyelipkan adegan percakapan dan konflik tidak penting yang parahnya sengaja untuk dipanjang-panjangkankan untuk menghabiskan durasi.

Resident Evil Afterlife

“Resident Evil: Afterlife” yang anehnya seperti film ke-empat The Matrix di awal, makin terlihat seperti film yang berdiri sendiri apalagi ketika Anderson tampaknya lupa dengan apa yang di tuliskannya di film ketiga. Jika pada film ketiga diceritakan T-virus sudah menyebar ke seluruh belahan dunia dan merubah wajah bumi yang biru menjadi gersang, air sungai kering lalu daratan ditutupi oleh padang pasir. Di film ini, lucunya bumi masih hijau, pohon-pohon masih hidup seperti tidak terjadi apa-apa. Bahkan kota Los Angeles, belum tertimbun padang pasir dan justru tampak seperti baru saja terjadi zombie outbreak dengan gedung-gedung yang masih terbakar.

Nilai plus disini untuk Anderson dan semua orang dibalik layar yang sanggup menghadirkan dunia post-apocalyptic yang benar-benar memperlihatkan kehancuran total. Walau meng-anaktirikan zombie dengan menjadikan mereka sepasukan figuran tetapi saya mengacungkan jempol dengan kemunculan adanya Axeman (The Executioner), monster yang satu ini cukup didesain menakutkan ketika filmnya sendiri tidak menakutkan sama sekali. Anderson telah berhasil menciptakan virus yang lebih mematikan daripada T-virus sendiri, yaitu virus bosan, menginfeksi 90 menit durasinya tanpa menawarkan sedikitpun obat penawar.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.