Bersiaplah untuk kembali jatuh dengan cinta dengan keromantisan atmosfer kota Paris, Perancis lewat film animasi A Monster in Paris. Diarahkan oleh sutradara sekaligus animator asal Perancis, Bibo Bergeron – yang sebelumnya sempat mengarahkan The Road to El Dorado (2000) dan Shark Tale (2007) untuk DreamWorks Animation Studio – A Monster in Paris memang terlihat jauh lebih sederhana dari kebanyakan film animasi yang banyak diproduksi oleh berbagai studio besar Hollywood. Pun begitu, pengarahan Bergeron yang begitu cekatan atas naskah cerita yang ia tulis bersama Stéphane Kazandjian, dan didukung oleh deretan lagu-lagu yang begitu catchy, A Monster in Paris akan dengan mudah menjelma menjadi salah satu film animasi paling mengesankan di tahun ini.
Dalam naskah cerita yang terlihat sebagai perpaduan tema cerita antara Beauty and the Beast (1991) dan The Hunchback of Notre Dame (1996), A Monster in Paris berlatarbelakangkan kota Paris, Perancis di tahun 1910 dimana kota Paris sedang dirundung masalah banjir yang muncul akibat meluapnya sungai Seine. Di saat yang sama, dua sahabat, Emile (Jay Harrington) dan Raoul (Adam Goldberg), juga baru saja menciptakan sebuah masalah lain bagi masyarakat Paris. Secara tidak sengaja, dalam kunjungan mereka ke sebuah laboratorium penelitian yang ditinggal oleh sang pemiliknya, Emile dan Raoul mencampurkan dua formula cairan kimia yang kemudian membuat seekor kutu berubah ukuran menjadi raksasa dan berkeliaran dengan bebas di jalanan kota Paris.
Jelas saja, keberadaan sesosok raksasa dengan penampilan yang menyeramkan serta berkeliaran dengan bebas membuat warga kota Paris menjadi panik. Namun, kepanikan itu justru dimanfaatkan oleh Kepala Kepolisian Kota Paris, Maynott (Danny Huston), untuk meraih simpati masyarakat kepada dirinya dengan berusaha menangkap makhluk menyeramkan tersebut. Terlepas dari imej buruk yang diberikan banyak orang padanya, sang monster sendiri kemudian menemukan sebuah kehidupan yang nyaman ketia ia bertemu dengan seorang penyanyi klub sukses, Lucille (Vanessa Paradis). Kemampuan Lucille untuk tidak melihat sang monster – yang kemudian ia namai Francœur – berdasarkan penampilannya saja mampu membuat banyak orang tersadar bahwa sang monster ternyata adalah sesosok makhluk yang juga membutuhkan kasih sayang seperti halnya makhluk hidup lainnya.
Tentu saja, tema cerita mengenai melihat seseorang berdasarkan kebaikan hati dan bukan berdasarkan penampilan fisiknya semata adalah sebuah tema cerita tradisional yang telah banyak dieksplorasi sebelumnya. Pun begitu, naskah cerita Bibo Bergeron dan Stéphane Kazandjian mampu mengolah kembali tema penceritaan tersebut sehingga tampil dengan cita rasa yang tetap akan dapat menyentuh hati setiap penontonnya. A Monster in Paris tidak sepenuhnya berjalan dengan lancar. Plot ceritanya harus diakui terlalu sederhana untuk dikembangkan menjadi sebuah sajian cerita berdurasi 90 menit. Akhirnya, penggambaran film ini seringkali menghadirkan bagian-bagian cerita – khususnya yang mencoba mengeksplorasi sisi romans – dengan langkah yang kurang menarik, berdurasi (terlalu) panjang, kurang esensial dan cenderung datar.
Bahkan dengan kekurangan yang berada pada sisi penceritaan film – yang tidak lantas membuat A Monster in Parisbercitra buruk – rasanya tidak akan ada seorangpun yang mampu menolak daya tarik lagu-lagu yang dihadirkan dalam film ini. Menampilkan vokal Vanessa Paradis dan Sean Lennon di banyak bagian, lagu-lagu yang ditampilkan dalam A Monster in Paris hadir dalam nada yang begitu catchy dan akan tinggal lama di ingatan para penontonnya. Kontender awal untuk kategori Best Original Song di ajang Academy Awards mendatang? Mungkin saja! Daya tarik dari deretan lagu dalam A Monster in Paris juga diperkuat dengan kemampuan sisi teknikal film ini dalam menghadirkan atmosfer kota Paris yang indah dan romantis serta kemampuan para pengisi suaranya dalam menghidupkan setiap karakter yang hadir dalam jalan cerita film ini.
Kelemahan terbesar A Monster in Paris memang terletak pada cara Bibo Bergeron mengeksplorasi jalan cerita film ini. Dengan tema cerita yang sederhana dan telah sering dihadirkan oleh banyak film sebelumnya, Bergeron bersama dengan penulis naskah Stéphane Kazandjian kemudian berusaha menghadirkan beberapa tambahan plot cerita yang sayangnya lebih sering hadir dalam kapasitas kurang mengesankan. Pun begitu, kekurangan minimalis tersebut rasanya akan mampu tertutupi oleh kualitas teknis yang mampu hadir dengan baik, chemistry yang begitu terasa antara masing-masing pengisi suara dan, tentunya, deretan lagu-lagu yang begitu catchy dan memikat. A Monster in Paristidaklah istimewa namun jelas merupakan sebuah hiburan yang cukup berkualitas.
Rating :