Di era dimana industri film lebih dominan diisi oleh para pengusaha yang sepenuhnya berorientasi menghasilkan keuntungan komersial dalam memproduksi film-filmnya, jelas merupakan sebuah pencerahan tersendiri untuk melihat masih adanya beberapa pembuat film yang masih berusaha keras untuk merilis film-film dengan nilai kualitas yang memadai. Alenia Pictures, yang dimiliki oleh Ari Sihasale bersama istrinya Nia Zulkarnaen, semenjak awal telah memfokuskan diri mereka untuk menghantarkan cerita-cerita yang berisi moral pendidikan kepada penontonnya. Daripada menceritakan karakter-karakter yang hidup di perkotaan metropolitan dengan bergelimpangan harta sehingga kadang membuat mereka menjadi sakit jiwa (halo, Joko Anwar!), film-film karya Alenia Pictures lebih memilih untuk menghadirkan karakter-karakter sederhana dari berbagai pelosok daerah Indonesia jauh sebelum tren “mari berangkat ke sudut-sudut kota terpencil di Indonesia dan menghasilkan gambar-gambar indah” mulai menjangkiti para pembuat film Indonesia.
Formula yang sama kembali digunakan Alenia Pictures dalam film terbarunya, Di Timur Matahari. Berkisah mengenai kehidupan masyarakat di daerah Papua, Di Timur Matahari memfokuskan kisahnya pada hubungan persahabatan antara beberapa anak dari dua desa yang berbeda: Mazmur (Simson Sikoway), Thomas (Abetnego Yogibalom), Agnes (Maria Resubun), Suryani (Frisca Waromi) dan Yokim (Razz Manobi). Kelimanya adalah anak-anak Papua yang begitu haus akan pendidikan yang semenjak beberapa waktu tidak mereka dapatkan karena guru mereka saat ini sedang berada di Jayapura selama enam bulan. Untuk mengisi waktu, Mazmur dan teman-temannya memilih untuk menghabiskan waktu mereka dengan bernyanyi, bermain bola atau mencoba hidup mandiri dengan mencari pekerjaan.
Konflik mulai muncul ketika beberapa masyarakat dari kampung lain – kampung dimana Agnes, Yokim dan Suryani berasal – mulai berbuat onar dengan menyebarkan gambar-gambar bernuansa vulgar serta bertindak kekerasan kepada warga kampung tetangganya – kampung asal Mazmur dan Thomas. Puncaknya adalah ketika ayah Mazmur harus tewas terbunuh akibat pertikaian tersebut. Peperangan adat pun mulai mengambil tempatnya. Peperangan jelas hanyalah sebuah hal bodoh yang akan mempengaruhi dan memperburuk kehidupan banyak orang, khususnya anak-anak. Mazmur dan teman-temannya sadar akan hal itu. Dan ketika para orang dewasa di dua kampung tersebut tidak lagi dapat menahan hasrat mereka untuk berperang, Mazmur dan teman-temannya mulai menjadi korban: tidak mendapatkan pendidikan, kehilangan tempat tinggal serta akhirnya kehilangan orangtua mereka.
Pertama-tama, memiliki niat baik untuk mengeksplorasi berbagai hal yang sebelumnya belum pernah maupun jarang disentuh oleh banyak pembuat film lainnya dengan sekaligus untuk menekankan dan mengedepankan nilai-nilai kebaikan antar umat manusia jelas merupakan sebuah hal yang tidak boleh dipandang sebelah mata – khususnya ketika banyak individu lainnya dengan picik memilih cara-cara murahan untuk menjual produk yang mereka sebut sebagai film ke penonton Indonesia. Namun, untuk menghantarkan sebuah jalan penceritaan yang wajar dan dapat dinikmati jelas merupakan sebuh hal yang berbeda. Disinilah faktor kegagalan terbesar Di Timur Matahari – dan Soegija tempo hari.
Kesalahan terbesar jelas terletak pada naskah cerita karya Jeremias Nyangoen – yang sebelumnya telah bekerjasama dengan sutradara Ari Sihasale dalam Denias, Senandung di Atas Awan (2006) dan Serdadu Kumbang (2011) – yang tidak tahu tema penceritaan apa yang ingin difokuskan dalam tubuh Di Timur Matahari. Awalnya ingin menyentuh mengenai sulitnya anak-anak daerah terpencil mendapatkan pendidikan, Di Timur Matahari lantas bergerak ke seluruh penjuru cerita dengan memasukkan tema-tema sosial seperti kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, pertikaian adat hingga masalah rohani dan kepercayaan yang sayangnya tak satupun mampu digali dan diceritakan dengan baik. Kumpulan cerita yang berisi tema-tema sosial tersebut lebih terlihat seperti potongan-potongan pesan sosial yang gagal untuk dirangkai oleh Ari Sihasale sebagai sebuah penceritaan utuh.
Ari Sihasale sendiri sebenarnya memiliki teknik pengarahan sederhana yang mampu membuat film-filmnya – yang jelas berisi banyak pesan sosial – mampu terhindar dari kesan sebagai sebuah pesan layanan masyarakat yang ambisius kepada para penontonnya. Sayangnya, setelah Denias, Negeri di Atas Awan dan, mungkin, King (2009), Ari gagal untuk mendapatkan naskah cerita yang betul-betul layak untuk dikembangkan. Di Timur Matahari bahkan mampu melebihi buruknya penceritaan Tanah Air Beta (2010) dengan penceritaan yang lebih bertele-tele, konflik cerita yang timbul dan kemudian hilang begitu saja tanpa penyelesaian yang jelas, fokus cerita yang begitu terpecah hingga akting para pemerannya yang kurang mampu untuk tampil maksimal.
Berbicara mengenai tampilan para pengisi departemen akting, selain karena mungkin kurang mendapatkan pelatihan akting yang lebih mendalam bagi para aktor dan aktris pemula yang mengisi film ini, karakter-karakter yang berada di dalam jalan cerita Di Timur Matahari juga dihadirkan secara dangkal. Banyak karakter yang tidak jelas kegunaannya dalam cerita hadir – walaupun Ringgo Agus Rahman, Laura Basuki dan Ririn Ekawati berusaha keras untuk menghidupkan karakter-karakter tidak penting tersebut. Tidak ada penampilan yang memukau dalam Di Timur Matahari. Beberapa nama seperti Michael Jakarimilena – yang beberapa waktu lalu muncul dalam Hattrick – juga masih terlihat sulit untuk menampilkan emosi mereka guna menghidupkan karakter yang mereka perankan. Penampilan yang cukup mengesankan datang dari Paul Korwa yang berperan sebagai Alex serta Putri Nere yang memerankan karakter ibu dari Mazmur, Elsye.
So… yah… niat baik saja memang tidak akan lantas menghasilkan sebuah jalan cerita yang cukup nyaman untuk dinikmati. Apalagi dengan durasi sepanjang 114 menit. Di Timur Matahari adalah sebuah kasus (lagi-lagi) dimana naskah cerita tidak mampu menopang keseluruhan hasrat dan ide yang ingin disampaikan oleh sang pembuat film. Terlalu banyak tema yang ingin disampaikan sehingga membuat jalan cerita gagal untuk tampil fokus dan kuat untuk disampaikan. Karakter-karakter yang hadir juga akhirnya menjadi terkesan terabaikan dan dangkal yang kemudian menjadi masalah pokok mengapa Di Timur Matahari gagal untuk menciptakan koneksi emosional pada penontonnya – sebuah hal yang cukup esensial bagi sebuah film-film yang berisi inspirasi hidup seperti film ini. Dan… please, Mr. Ari Sihasale! Berhentilah bermimpi bahwa sebuah lagu dapat memberikan perdamaian bagi dua kelompok yang sedang berperang atau secara instan mampu membuat indah kehidupan semua orang. Apalagi jika dinyanyikan di tengah-tengah kelompok yang sedang bertarung fisik. Mimpi!
Rating :