Disutradarai oleh Robert Ronny, yang sebelumnya menjadi bagian dari film omnibus Dilema yang dirilis beberapa bulan lalu, Hattrick dipasarkan sebagai film pertama di dunia yang mengangkat mengenai olahraga futsal di dalam jalan ceritanya. Tidak seperti film-film bertema olahraga, khususnya sepakbola, yang banyak digarap oleh para sutradara film Indonesia akhir-akhir ini, Hattrick menjauhkan dirinya dari penceritaan drama yang mengharu biru dan lebih berfokus pada tema nasionalisme yang berbalut komedi dan adegan aksi. Sayangnya, usaha untuk menjauhi wilayah drama dan hasrat untuk memadukan berbagai unsur cerita alternatif justru membuat jalan cerita Hattrick sering terasa kurang fokus dengan banyak bagian cerita yang terasa kurang begitu esensial untuk dipaparkan.
Dengan naskah yang digarap oleh Robert Ronny bersama Ody C Harahap atas ide cerita dari Amrit Punjabi, Hattrick berkisah mengenai seorang janda pimpinan sebuah kelompok mafia yang akrab dipanggil dengan sebutan Bu Boss (Ira Wibowo) yang berhasrat untuk melanjutkan liga futsal internasional ilegal yang pernah diprakarsai oleh almarhum suaminya. Tidak hanya itu, Bu Boss juga ingin agar tim futsal Indonesia mampu menjuarai kompetisi tersebut dan mengharumkan nama bangsa Indonesia – walaupun, karena ilegal dan digelar secara underground, tidak akan ada seorangpun yang tahu mengenai keberadaan prestasi tersebut.
Untuk mewujudkan mimpinya, Bu Boss meminta Toro (Lukman Sardi), seorang pelatih sepakbola ternama, untuk merekrut sekelompok pemuda dan melatih mereka untuk menjadi tim futsal yang solid. Walau awalnya mengalami beberapa hambatan, Toro akhirnya berhasil mengumpulkan beberapa pemuda yang berasal dari suku dan ras yang berbeda: Samuel (Fauzan Nasrul), Alung (Dion Wiyoko), Anand (Amrit Punjabi), Halil (Lionil H Tikoalu) dan Markus (Mikael Jakarimilena). Jelas bukan pekerjaan yang mudah untuk menyatukan lima orang yang berasal dari latar belakang berbeda untuk kemudian saling bekerjasama. Namun, dengan tekad yang gigih – serta taruhan nyawa keluarganya yang berada di tangan Bu Boss – Toro berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan kompetisi tersebut.
Sayangnya, ambisi besar Hattrick untuk menjadi sebuah film bertemakan olahraga futsal yang mengutamakan sisi aksi guna membedakan penampilannya dari kebanyakan film Indonesia lain yang banyak dirilis saat ini sama sekali tidak didukung dengan kemampuan produksi yang mumpuni untuk melakukannya, baik dari sisi penulisan naskah cerita, pengarahan maupun penampilan akting para pemerannya. Naskah cerita Hattrick terasa begitu berusaha untuk mencakup terlalu banyak hal, mulai dari olahraga, nasionalisme, romansa, kisah keluarga, dendam dan sebagainya. Belum lagi ditambah dengan berbagai konflik yang terbentuk dari masing-masing pribadi karakter yang ada di dalam jalan cerita film ini. Semua dihadirkan dengan dangkal dan gagal untuk ditampilkan dengan daya tarik yang kuat. Herannya, dengan durasi 120 menit yang dihadirkan Hattrick, film ini justru seringkali terjebak untuk menghadirkan berbagai gimmick yang tidak perlu – seperti proses pemilihan para pemain futsal di awal film yang digambarkan berasal dari latar belakang ras dan suku yang berbeda maupun tampilan “audisi” pemain pengganti salah seorang karakter yang kecelakaan yang benar-benar mengganggu dan tidak esensial – daripada berusaha untuk menjadikan kisah filmnya menjadi lebih menarik.
Karakter-karakter yang dihadirkan dalam jalan cerita Hattrick juga seringkali terasa tipikal dan inkonsisten pada kebanyakan bagian. Lihat bagaimana Hattrick menggambarkan sosok Bu Boss yang ambisius. Pada beberapa bagian, karakter Bu Boss digambarkan dingin namun begitu kejam dalam memberikan hukuman pada orang-orang yang melakukan kesalahan. Namun pada bagian lain, karakter tersebut terlihat begitu peduli pada orang-orang yang akan membantunya mewujudkan mimpinya… sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mengancam orang yang telah dekat dengan dirinya untuk membunuh seluruh anggota keluarga orang tersebut. Karakter-karakter lain juga tidak kalah dangkalnya. Maksud hati ingin memberikan sedikit sentilan sosial melalui karakternya – lihat satu karakter pemuja boyband atau karakter yang masih belum mendapatkan kewarganegaraan – namun karena kedangkalan penggalian karakter terlihat menjadi tipikal dan sekedar gimmick belaka.
Unsur aksi yang dikatakan dijadikan pembeda utama film ini juga tidak pernah benar-benar mampu dihadirkan dengan penuh. Adegan pertandingan futsal yang seharusnya mampu memberikan momen-momen berintensitas ketegangan emosional tinggi juga gagal digarap dengan baik dan hadir dengan datar. Begitupun dengan unsur drama, yang walaupun telah berusaha diminimalisir, tetap seringkali terasa dieksploitasi untuk menciptakan suasana emosi yang mengharu biru. Namun, sekali lagi, gagal. Momen-momen komedi film ini justru yang seringkali tampil sebagai sajian yang lebih baik. Walaupun kebanyakan momen komedi tersebut muncul dari momen yang seharusnya memberikan emosi yang sama sekali bertolak belakang dari unsur komedi.
Selain pada ritme penceritaan yang cenderung datar, tidak pernah terasa benar-benar memberikan konflik yang menarik, kelemahan pengarahan Robert Ronny juga begitu terasa pada penampilan akting para pemerannya. Itu juga jika selain penampilan Ira Wibowo, penampilan para pengisi departemen akting film ini dapat dikategorikan sebagai akting. Lukman Sardi hadir… well… sebagai Lukman Sardi. Arumi Bachsin juga tampil dengan penampilan yang seringkali dikategorikan sebagai awkward, khususnya ketika karakternya berdialog dengan karakter lain. Sementara para pemeran anggota tim futsal dalam film ini tampil dengan kapasitas akting yang seadanya, tanpa adanya chemistry yang erat antara satu sama lain, dengan beberapa diantaranya bahkan tampil dengan kemampuan akting yang menyedihkan (please stick to whatever your day jobs are, Amrit Punjabi and Mikael Jakarimilena!). Namun, tidak ada penampilan yang lebih buruk dan lebih datar lagi dari penampilan Ade Fitria Sechan. Anda akan dapat menyaksikan betapa ia berusaha semampunya untuk mengeluarkan ekspresi wajah dan nada suara yang tepat, namun kemudian tetap hadir dengan segala kedataran emosi yang begitu mengganggu.
Well… niat dan hasrat untuk menghadirkan sebuah jalan cerita film yang berbeda jelas tidak akan begitu saja berarti banyak jika tidak didukung dengan berbagai faktor produksi yang kuat. Hattrick terlihat sebagai salah satu film yang ingin tampil beda dalam penyajiannya, namun sayangnya, tidak didukung dengan kemampuan perwujudan yang kuat. Naskah yang diarahkan Robert Ronny dan Ody C Harahap atas cerita yang disusun oleh Amrit Punjabi mencakup terlalu banyak permasalahan yang kemudian gagal dikembangkan dan dieksplorasi dengan baik oleh Robert Ronny. Karakter-karakter yang dangkal juga membuat para jajaran pengisi departemen akting tidak mampu berbuat banyak sehingga, dengan kemampuan akting yang minim, mereka tampak bermain dengan kaku dan tampil tanpa chemistry yang tepat satu sama lain. Permasalahan masih ditambah dengan keputusan Robert yang memasukkan terlalu banyak adegan yang sangat kurang esensial ke dalam jalan cerita yang akhirnya membuat durasi film ini bergerak terlalu lama. Tidak buruk, namun jelas jauh dari kata memuaskan.
Rating :