Lagi-lagi sebuah kisah cinta segitiga. Dengan naskah yang ditulis oleh Monty Tiwa dan Tino Kawilarang, Sampai Ujung Dunia mengisahkan mengenai tiga orang sahabat, Anissa (Renata Kusmanto), Gilang (Gading Marten) dan Daud (Dwi Sasono), yang semenjak masa kecilnya tumbuh bersama kemudian menemukan diri mereka berada dalam rumitnya persaingan cinta setelah ketiganya terjebak dalam cinta segitiga saat beranjak remaja. Datang dari latar belakang kehidupan yang berbeda, Gilang dan Daud kemudian sama-sama menyatakan rasa suka dan cinta mereka pada Anissa setelah keduanya sama-sama menyelesaikan masa pendidikan sekolah menengah mereka. Tidak ingin agar Gilang dan Daud saling menjauh karena persaingan cinta mereka, Anissa akhirnya memberikan sebuah tantangan kepada keduanya.
Anissa, yang semenjak masa kecilnya bermimpi untuk dapat berkunjung ke Belanda di mana ia dapat menemukan kembali ibu kandungnya yang telah meninggalkan dirinya, berjanji bahwa ia hanya akan menerima cinta dari pria yang berhasil membawanya ke Belanda terlebih dahulu. Mengingat latar belakang Gilang yang berasal dari keluarga yang berada, Anissa menambahkan bahwa uang yang digunakan haruslah uang yang berasal dari keringat mereka sendiri. Gading dan Daud akhirnya memulai perjuangan mereka untuk meraih cinta Anissa. Sementara itu, Anissa sendiri menyembunyikan sebuah fakta pahit bahwa dirinya saat ini sedang mengidap sebuah penyakit yang dapat merenggut nyawanya kapan saja.
Dengan tema kisah cinta segitiga yang dibauri dengan kisah sentimental tentang perjuangan seorang karakter dalam menghadapi sebuah penyakit yang mematikan – kisah yang akhir-akhir ini sering dieksploitasi oleh banyak pembuat film komersial Indonesia – Monty Tiwa sebenarnya dapat saja mengambil jalan mudah dan membuat filmnya berjalan seringan mungkin, semelankolis mungkin ataupun merangkainya dengan deretan dialog sepuitis mungkin. Namun, Sampai Ujung Dunia melawan setiap ekspektasi dangkal tersebut. Dihadirkan dengan alur cerita yang tidak teratur, Monty Tiwa berusaha untuk menghadirkan Sampai Ujung Dunia secara sederhana, realistis namun tetap mampu hadir romantis.
Tidak seperti kebanyakan film drama romansa sejenis yang berusaha menampilkan deretan dialog yang terdengar puitis untuk menambah atmosfer romansa dan keindahan dari jalan cerita filmnya, Sampai Ujung Dunia justru menghadirkan sisi romansa tersebut dari deretan dialog yang wajar terdengar dalam dialog keseharian. Permasalahan mungkin muncul dari usaha Monty Tiwa yang berusaha menghadirkan dua peristiwa dalam satu penceritaan – kisah perjuangan Gilang dan Daud dalam mewujudkan mimpi Anissa serta dialog yang terjalin antara Gilang dan Daud dengan ibunda Anissa (Tutie Kirana). Datarnya aliran emosi yang terbentuk ketika jalan cerita sedang menghadirkan adegan dialog antara Gilang, Daud dan ibunda Anissa seringkali membentuk sebuah ketimpangan emosi, khususnya ketika dibandingkan dengan penceritaan usaha Gilang dan Daud dalam mewujudkan mimpi Anissa yang mampu dihadirkan lebih berwarna dan menarik.
Deretan karakter yang dihadirkan dalam Sampai Ujung Dunia juga harus diakui kurang mampu tampil memikat. Ketiga karakter utama gagal menghadirkan daya tarik yang mampu membuat penonton merasa terkoneksi dengan apa yang sedang mereka jalani. Begitupun dengan karakter-karakter pendukung yang sering terasa dihadirkan hanya sebagai pelengkap tanpa pernah mendapatkan porsi cerita yang mumpuni. Departemen akting Sampai Ujung Dunia sendiri mampu menghadirkan penampilan akting yang jauh dari kesan mengecewakan. Namun dangkalnya penggambaran karakter membuat jurang emosional yang terbentuk dengan penonton membuat masing-masing karakter lebih sering tampil dalam kesan yang datar dan menjemukan.
Berbeda dengan kebanyakan kisah drama romansa yang banyak dirilis akhir-akhir ini, Sampai Ujung Dunia hadir dengan sentuhan yang begitu sederhana – baik dari tampilan tata produksi maupun dari tampilan pengisahan ceritanya. Monty Tiwa dan Tino Kawilarang tidak menghadirkan deretan dialog yang terlalu puitis ataupun adegan yang terlalu melankolis dalam usahanya untuk menyentuh hati penontonnya. Kesederhanaan itulah yang mampu membuat Sampai Ujung Dunia mampu terasa lebih realistis. Walaupun aliran emosi cerita seringkali terasa terhambat akibat penggambaran karakter yang kurang luas serta alur kisah yang sering terasa timpang secara emosional, Sampai Ujung Dunia masih mampu hadir sebagai kisah romansa yang cukup efektif.
Rating :