Review

Info
Studio : Walt Disney Pictures
Genre : Action, Adventure, Fantasy
Director : Andrew Stanton
Producer : Lindsey Collins, Jim Morris, Colin Wilson
Starring : Taylor Kitsch, Lynn Collins, Samantha Morton, Willem Dafoe, Thomas Haden Church

Kamis, 15 Maret 2012 - 15:02:53 WIB
Flick Review : John Carter
Review oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 3229 kali


Ekspektasi jelas akan menjulang begitu tinggi bagi John Carter. Bukan hanya karena naskah cerita film aksi bernuansa science fiction ini diangkat dari bagian awal dari sebelas seri novel legendaris Barsoom karya Edgar Rice Burroughs, John Carter juga menjadi debut penyutradaraan film live action bagi pemenang dua Academy Awards, Andrew Stanton, yang mungkin lebih dikenal luas sebagai salah satu punggawa studio animasi Pixar Animation Studios dan otak dibalik kesuksesan luar biasa Finding Nemo (2003) dan WALL•E (2008). Dalam beberapa kesempatan, Stanton sempat mengungkapkan bahwa John Carter adalah proyek ambisius personalnya yang semenjak lama ingin ia wujudkan – sebuah hasrat yang akan dapat dirasakan penonton secara jelas dalam ritme penceritaan John Carter yang berjalan sepanjang 132 menit.

Semenjak dirilis pada tahun 1912, seri novel Barsoom karya Burroughs telah menginspirasi begitu banyak kisah bernuansa science fiction yang dirilis setelahnya, termasuk beberapa naskah cerita film yang disutradarai oleh George Lucas, Steven Spielberg hingga James Cameron. Karenanya, tidak perlu merasa heran jika ketika Anda menyaksikan John Carter, Anda akan mendapatkan beberapa bagian Indiana Jones (1983 - 2008), Star Wars (1977 - 2008) maupun Avatar (2009) berada di beberapa potongan penceritaannya. Naskah cerita John Carter sendiri, yang diadaptasi dari seri awal Barsoom, A Princess of Mars (1912), oleh Stanton, Mark Andrews dan Michael Chabon, kurang begitu mampu untuk menggali hal-hal baru dari kisah petualangan sejenis. Dengan kedangkalan yang sama dapat dirasakan pada deretan dialog John Carter, film ini jelas bukanlah sebuah sajian yang menitikberatkan kualitasnya pada inovasi penulisan jalan cerita dan dialognya.

Berlatar belakang kisah di tahun 1861, John Carter bercerita mengenai karakter titularnya (Taylor Kitsch) yang merupakan seorang mantan pasukan militer Amerika Serikat yang terlibat dalam Perang Sipil, namun setelah kematian istri dan puterinya, memutuskan untuk menjauhi dunia peperangan dan memilih untuk berburu tambang emas di berbagai belahan wilayah Amerika Serikat. Suatu hari, setelah dikejar-kejar sekelompok pasukan militer Amerika Serikat yang memaksanya untuk kembali ke medan perang serta sekelompok pasukan dari suku primitif Apache, John Carter bersembunyi di sebuah gua dan secara misterius kemudian menemukan dirinya berpindah ke planet Mars – atau oleh masyarakat asli planet tersebut disebut sebagai Barsoom.

Pertemuan pertama John Carter dengan masyarakat asli planet Mars terjadi ketika ia bertemu dengan pimpinan suku alien Tharks, Tars Tarkas (Willem Dafoe), yang kemudian membawa John Carter ke kumpulan koloninya dan menganggapnya sebagai salah satu binatang peliharaan. Namun, tidak membutuhkan waktu lama bagi John Carter untuk terlibat dalam sebuah peperangan yang sedang berlangsung di planet merah tersebut: peperangan yang terjadi antara penduduk dari kota Zodanga dan kota Helium. Perang tersebut sebenarnya dapat saja diakhiri jika puteri dari kota Helium, Dejah Thoris (Lynn  Collins), mau menikahi pangeran dari kota Zodanga, Sab Than (Dominic West). Tentu saja, sikap dan kecurigaan Dejah Thoris bahwa pernikahan dengan Sab Than hanyalah sebuah kedok untuk menundukkan Helium membuat sang puteri menolak diadakannya pernikahan tersebut. Jelas, John Carter kemudian menjadi faktor pelengkap tersendiri yang menentukan bagaimana perang antara Zodanga dan Helium tersebut akan berakhir.

Mereka yang mengharapkan John Carter akan memiliki kedalaman cerita dan emosional seperti layaknya film-film yang pernah ditangani oleh Andrew Stanton sepertinya akan merasa kecewa dengan naskah cerita yang direpresentasikan oleh John Carter. Tidak hanya terkesan dangkal dari segi penggalian cerita dan dialog yang dihantarkan, John Carter juga mengandung terlalu banyak plot cerita yang ingin diajukan dan sayangnya gagal untuk dikembangkan untuk dapat tampil lugas dan menarik. Setelah dibuka dengan adegan aksi yang cukup memukau, dan diikuti dengan sederetan adegan perkenalan terhadap karakter John Carter yang bernuansa komedi, John Carter kemudian berjalan ke banyak arah dengan fokus yang tidak menentu. Bahkan, begitu kurang fokusnya jalan cerita awal yang dihadirkan pada John Carter, penonton kemungkinan besar masih akan menemukan diri mereka merasa kebingungan mengenai apa yang sebenarnya hendak disampaikan bahkan setelah 90 menit film ini berjalan.

Kelemahan terbesar kedua dari John Carter adalah jumlah karakternya yang dihadirkan dalam jumlah yang cukup banyak, namun gagal untuk mendapatkan penggalian karakter yang mendalam. Karakter-karakter seperti Sola (Samantha Morton), Sab Than (Dominic West), Matai Shang (Mark Strong) dan beberapa karakter lainnya muncul di dalam jalan cerita tanpa pernah mendapatkan motivasi dari keberadaan maupun peran esensial mereka di dalam jalan cerita. Bahkan karakter-karakter utama seperti John Carter dan Dejah Thoris juga kadang ditampilkan terlalu datar, yang membuat sebagian penonton akan sulit untuk merasakan koneksi emosional terhadap apa yang dijalani oleh para karakter ini di dalam jalan cerita John Carter.

Berbanding terbalik dengan divisi penulisan cerita, tampilan visual John Carter adalah sebuah keunggulan maksimal dari film ini. Di sepanjang 132 menit film ini berjalan, Andrew Stanton berhasil merangkai deretan gambar dengan pewarnaan yang lembut – tidak pernah terlalu terang maupun sebaliknya – yang memperkuat sinematografi indah karya Daniel Mindel. Keunggulan visual John Carter juga terasa semakin kuat seiring dengan berjalannya durasi cerita dan meningkatnya intensitas konflik yang muncul di dalamnya. Harus diakui, setelah berjalan dengan tempo yang lumayan sederhana semenjak film ini dimulai, momen-momen emas John Carter secara perlahan mulai muncul dan tampil memuaskan selepas dari bagian pertengahan film ini.

Melirik departemen akting film, John Carter diisi dengan deretan aktor dan aktris yang mampu menampilkan penampilan akting terbaik mereka untuk menghidupkan peran masing-masing. Taylor Kitsch dan Lynn Collins yang berada di garda terdepan departemen akting juga berhasil menghasilkan chemistry yang sangat meyakinkan satu sama lain dan semakin kuat dengan dukungan akting dari Dominic West, Mark Strong, James Purefoy serta talenta nama-nama seperti Samantha Morton, Willem Dafoe dan Thomas Hade Church. Permasalahan dalam departemen akting John Carter, sayangnya, muncul dari kurangnya kharisma Kitsch sebagai bintang utama dari petualangan ini. Kitsch memang belum memiliki aura kharisma kepemimpinan yang besar yang dapat membuat setiap kehadirannya terasa begitu bermakna. Kekurangan itulah yang kadang membuat karakter John Carter kurang begitu mampu untuk tampil manarik.

Dibentuk dari beberapa kelemahan yang muncul dari segi penceritaan yang kurang padat dan terfokus membuat banyak momen dalam John Carter terasa terlalu datar dan kurang mampu untuk bercerita secara lebih mendalam. Apakah hal tersebut membuat John Carter sebagai sebuah film yang mengecewakan? Mungkin saja. Pun begitu, dengan kecerdasannya dalam merangkai tiap adegan dengan tampilan visual yang kuat, penonton masih akan dapat merasakan hasrat dan kecintaan Andrew Stanton yang begitu kuat untuk menampilkan sebuah jalan cerita yang memikat. Terlalu fokusnya Stanton pada divisi visual mungkin telah mengorbankan kekuatan penceritaan dan emosional John Carter. Namun tetap saja, sebagai sebuah hasil debut penyutradaraan film live action, John Carter masih mampu untuk tampil menarik dan menghibur.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.