Pertama kali diluncurkan ke dunia maya pada tahun 2006 dan hingga saat ini telah memiliki sebanyak 300 juta pengguna di seluruh dunia – dengan 2,34% dari pengguna tersebut berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia – situs jejaring sosial Twitter telah menjadi sebuah fenomena sosial tersendiri bagi masyarakat dunia. Begitu berpengaruhnya penggunaan Twitter, situs yang saat ini bernilai sebesar lebih dari US$140 juta ini acapkali digunakan sebagai media promosi maupun kampanye yang cukup ampuh dalam masyarakat modern saat ini. Dan setelah kesuksesan The Social Network (2010) yang mengangkat tentang Facebook, cukup mengherankan untuk melihat mengapa Hollywood masih belum membuat sebuah film besar tentang Twitter. Tidak masalah! Industri film Indonesia yang akan mengambil kesempatan tersebut.
Maka hadirlah #republiktwitter, sebuah film yang mencoba mengangkat bagaimana fenomena penggunaan internet dan situs jejaring sosial, khususnya Twitter, di kalangan masyarakat Indonesia. Disutradarai oleh Kuntz Agus berdasarkan nskah cerita yang ditulis oleh ES Ito, #republiktwitter jelas memiliki kesempatan besar untuk tampil sebagai sebuah film drama sosial menarik sekaligus cerdas dalam menggelitik berbagai fenomena sosial yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan penggunaan Twitter itu sendiri. Itu jika #republiktwitter ditulis dan diarahkan oleh seorang penulis naskah dan sutradara yang tahu apa yang sebenarnya ingin mereka tuangkan dalam film mereka. Sayangnya, #republiktwitter hanyalah sebuah film yang mampu menyentuh permukaan dari fenomena penggunaan Twitter dengan memanfaatkan deretan sindiran sosial dangkal dan standar terhadap para pengguna Twitter itu sendiri.
Kesalahan terbesar #republiktwitter adalah film ini memiliki hasrat terlalu besar untuk menampung seluruh fenomena sosial yang berkaitan dengan penggunaan Twitter. Dengan tanpa penulisan yang kuat, seluruh fenomena-fenomena sosial terkait Twitter tersebut dipecah dalam beberapa alur cerita yang akhirnya tidak mampu dikembangkan dan tampil tumpang tindih satu sama lain tanpa pernah mampu berhasil memberikan esensi utama dari mengapa cerita tersebut ditampilkan. Ini masih didukung dengan lemahnya karakterisasi yang dihadirkan pada setiap tokoh yang muncul di dalam jalan cerita #republiktwitter yang akhirnya membuat film ini… errr… tampil seperti seorang pemilik akun Twitter yang labil: mengirimkan berbagai tweet tentang berbagai hal yang ia lihat, alami atau rasakan tanpa pernah mampu memilah mana yang menarik dan mana yang justru mengganggu deretan followers mereka.
Terdapat dua kisah utama yang ingin dihadirkan dalam #republiktwitter. Yang pertama merupakan sebuah kisah asmara antara dua pengguna Twitter, seorang mahasiswa tingkat akhir asal Yogya bernama Sukmo (Abimana Arya) dan seorang jurnalis muda asal Jakarta bernama Hanum (Laura Basuki), yang belum pernah bertemu namun merasa tertarik antara satu sama lain karena deretan tweet yang selama ini mengisi lini masa masing-masing. Begitu jatuh hatinya Sukmo kepada Hanum, ia akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Jakarta dan menemui Hanum. Jika film ini dirilis pasa satu dekade lalu, mungkin film ini akan dapat dengan mudah diberi judul Republik mIRC.
Deretan tweet kritis yang sering dikirimkan Sukmo ternyata tidak hanya menarik perhatian Hanum. Setibanya di Jakarta, Sukmo kemudian mendapatkan panggilan pekerjaan dari Belo Harahap (Edi Oglek) yang ingin mengajak Sukmo untuk bergabung sebagai “konsultan komunikasi” dalam “perusahaan” yang ia bentuk – yang kemudian membentuk alur cerita utama kedua dalam #republiktwitter. Tugas utama Sukmo adalah untuk mengirimkan deretan tweet yang berisikan pencitraan dari satu tokoh yang telah membayar mereka agar kemudian tokoh tersebut memperoleh kepopuleran di Twitter. Sebuah pekerjaan yang mudah, ternyata, bagi Sukmo. Namun pekerjaan tersebut kemudian ternyata juga mengancam hubungan yang telah dijalin Sukmo dengan Hanum.
Mengapa #republiktwitter tidak merasa cukup hanya dengan memfokuskan kisahnya dengan kisah asmara yang terjalin antara karakter Sukmo dan Hanum dan kemudian justru memperlebar masalah dengan menyentuh ranah politik? Dan sayangnya, justru di bagian cerita dimana #republiktwitter menyentuh ranah politik itulah film ini tampil luar biasa gagal. Penonton, khususnya mereka yang menggunakan Twitter secara intensif, akan dapat dengan mudah untuk merasakan bahwa ES Ito hanya mendapatkan seluruh inspirasi kisah politik yang ia tuangkan dalam kisah #republiktwitter melalui berbagai fenomena sosial dan politik yang sering terjadi diantara kalangan pengguna Twitter di Indonesia. Riset yang kemudian menghasilkan jalan cerita yang dangkal dan jauh dari kesan menarik.
Kisah mengenai seorang pengusaha yang ingin namanya dikenal oleh jutaan para pengguna Twitter di Indonesia, walaupun ia sendiri ternyata tidak memiliki akun Twitter, tampil begitu tumpul. Deretamn karakter hadir tanpa mendapatkan penggalian karakter yang jelas. Penonton tidak mendapatkan pengetahuan siapa itu Arif Cahyadi (Leroy Osmani), sang pengusaha yang dikabarkan begitu ingin untuk populer di kalangan pengguna Twitter, atau Kemal Pambudi (Tio Pakusadewo), karakter yang sebenarnya menjadi otak di belakang proses pencitraan Arif Cahyadi di Twitter. Mengapa karakter Kemal Pambudi melakukannya? Apakah karakter Arif Cahyadi mendukung tindakannya? Penonton tidak akan pernah tahu karena #republiktwitter hanya menyajikannya secra dangkal demi sebuah jalan cerita yang (niatnya) menyindir kondisi sosial politik di Indonesia saat ini.
Oh, seandainya #republiktwitter diarahkan oleh Terrence Malick, mungkin banyak penonton akan mengira bahwa Tiga Setia Gara mengalami nasib yang sama seperti yang dialami Sean Penn dalam The Tree of Life (2011) atau Adrien Brody dalam The Thin Red Line (1998). Karakter yang diperankan oleh Tiga Setia Gara di sepanjang film hanya bertugas untuk menatap karakter Sukmo dengan penuh rasa (masukkan asumsi Anda disini karena tidak akan pernah ada penjelasan yang pasti mengenai apa yang sebenarnya diinginkan karakter tersebut dalam jalan cerita film ini). Hey… we’ll never know! Mungkin pada naskah aslinya, karakter yang diperankan oleh Tiga Setia Gara memiliki deretan dialog panjang dan kisah hidup yang dapat memenangkannya sebuah Piala Citra sebelum akhirnya Terren… maksudnya Kuntz Agus memotong habis deretan perannya dari dalam jalan cerita #republiktwitter pada proses editing.
Jika sisi politik dari jalan cerita #republiktwitter berjalan dangkal, maka kisah percintaan yang dihadirkan film ini juga tidak bernasib lebih baik – walau lebih dapat untuk dinikmati. Karakter-karakter yang dihadirkan begitu lemah. Karakter Sukmo yang diperankan oleh Abimana Arya tak lebih adalah perpanjangan karakter Andi dalam Catatan Harian Si Boy (2011) yang sering hadir dengan dialog bernuansa kata-kata mutiara namun kini dihadirkan dengan karakterisasi yang inkonsisten dalam pendirian hidupnya. Kemudian ada karakter Hanum yang diperankan oleh Laura Basuki yang disepanjang film disebut sebagai seorang “jurnalis muda yang berbakat dan memiliki potensi” namun sama sekali tidak diperlihatkan kepada penonton mengapa ia mampu digelari sebagai “jurnalis muda yang berbakat dan memiliki potensi” tersebut. Ada banyak karakter yang hadir dengan penggalian yang begitu dangkal dalam penceritaan #republiktwitter. Namun, jika ada karakter yang cukup mampu untuk setidaknya tidak tampil mengesalkan, maka karakter tersebut adalah karakter pasangan Andre dan Nadya yang diperankan oleh Ben Kasyafani dan Enzy Storia yang cukup mampu tampil menghibur dan tampil dengan tidak berlebihan.
Berniat untuk memanfaatkan kepopuleran situs jejaring sosial Twitter, #republiktwitter sayangnya adalah sebuah film yang hadir dengan jalan cerita dan deretan karakter yang gagal untuk tampil dengan tergali dengan baik. Deretan cerita yang ingin dihadirkan dalam film ini terkesan terlalu ambisius, ingin menyentuh begitu banyak sisi sosial dari penggunaan Twitter namun akhirnya berakhir dengan datar akibat tidak mampunya ES Ito dan Kuntz Agus untuk mengelolanya dengan baik. Begitu pula dengan karakter-karakter yang menghiasi perjalanan kisah #republiktwitter. Dihadirkan dengan begitu dangkal tanpa pernah berhasil membuat karakter-karakter ini menjadi berpengaruh atau setidaknya berhasil memberikan ikatan emosional antara penonton dengan mereka. Bukan sebuah penceritaan yang mengesankan bagi sebuah “film pertama yang mengangkat tentang Twitter di muka Bumi.”
Rating :