Sejujurnya, dengan deretan film seperti Perempuan-Perempuan Liar (2011), Penganten Sunat (2010) serta Preman In Love (2009) mengisi daftar filmografinya dalam tiga tahun terakhir, adalah sangat mudah untuk melupakan fakta bahwa Rako Prijanto adalah orang yang sama yang bertanggungjawab untuk keberadaan naskah cerita film drama romansa remaja Indonesia legendaris, Ada Apa Dengan Cinta? (2001) dan juga seorang sutradara yang pernah menghantarkan Ungu Violet (2005) dan Merah Itu Cinta (2007) yang walaupun mengandung banyak kelemahan, namun tetap berhasil tampil membuai dengan deretan dialog-dialog karakternya yang begitu puitis dan romantis. Malaikat Tanpa Sayap, untungnya, merupakan film yang lebih mendekati Ungu Violet dan Merah Itu Cinta daripada Perempuan-Perempuan Liar maupun Preman In Love. Sebuah sajian yang sekali lagi membuktikan kemampuan lebih Rako dalam menggarap sebuah film drama romansa yang mampu menyentuh.
Naskah cerita Malaikat Tanpa Sayap sendiri ditulis oleh Anggoro Saronto – yang sebelumnya pernah menulis naskah cerita film Setan Facebook (2010) dan Miracle (2007) – dan kemudian mendapatkan supervisi dari Titien Wattimena – peraih tiga nominasi Festival Film Indonesia untuk karya-karyanya seperti Minggu Pagi di Victoria Park (2010), Tentang Dia (2005) dan Mengejar Matahari (2004). Entah karena pengaruh supervisi yang kuat dari Titien Wattimena, atau karena kualitas penulisan naskah Anngoro Saronto memang telah nik kelas jika dibandingkan dengan dua karya sebelumnya, Malaikat Tanpa Sayap adalah sebuah film drama yang berhasil menghadirkan momen-momen menyentuh dalam lingkup ceritanya yang cukup luas. Benar bahwa jalan cerita yang dihadirkan tidak begitu istimewa. Namun dengan deretan dialog puitis yang begitu menyentuh dan tidak terkesan kacangan, plus arahan Rako Prijanto yang cukup efektif, Malaikat Tanpa Sayap dengan mudah akan mampu membuat para penontonnya jatuh cinta dengan film ini.
Awal kisah Malaikat Tanpa Sayap sendiri berfokus pada karakter Vino (Adipati Dolken), seorang remaja yang memiliki hubungan yang kurang begitu dekat dengan keluarganya, khususnya setelah ayahnya, Amir (Surya Saputra), mengalami kebangkrutan akibat ditipu oleh teman bisnisnya. Kebangkrutan Amir kemudian membuat keluarganya semakin berantakan setelah istrinya, Mirna (Kinaryosih), memilih untuk meninggalkan dirinya dan kedua anaknya, Vino dan Wina (Geccha Qheagaveta) yang masih berusia lima tahun. Latar keluarga yang berantakan tersebut kemudian membuat Vino menjadi remaja yang skeptis dan lebih banyak menyendiri serta menutup dirinya dari kehidupan luar.
Pun begitu, ketika Wina mengalami sebuah kecelakaan yang akan mengancam jiwanya jika tidak segera dioperasi, Vino tetap memberikan perhatian besar kepada adiknya. Ia bahkan rela untuk menjual organ jantungnya kepada seorang calo organ tubuh (Agus Kuncoro) agar dapat membiayai pelaksanaan operasi Wina. Di saat yang sama, Vino kemudian berkenalan dengan Mura (Maudy Ayunda), yang secara perlahan, mulai mengubah sikap Vino yang skeptis menjadi seseorang yang lebih memperhatikan orang-orang yang berada di sekitar lingkungannya. Perkenalan itu kemudian juga membuat Vino mengubah pemikirannya tentang pendonoran jantungnya, yang akhirnya justru membuat Vino dikejar-kejar oleh sang calo organ tubuh.
Jika mau dilirik secara sekilas, Malaikat Tanpa Sayap jelas akan dianggap sebagai salah satu film yang sedang mengikuti tren penceritaan romansa dengan menggunakan latar belakang kematian yang memang sedang begitu banyak dieksploitasi oleh banyak pembuat film Indonesia. Dan hal tersebut memang tidak dapat disangkal. Malaikat Tanpa Sayap memang kemudian secara perlahan menggunakan tema-tema seperti ‘hargailah kehidupan’ atau ‘cintailah mereka yang mencintaimu’ atau ‘memanfaatkan setiap momen kehidupan agar menjadi lebih berarti’ yang telah banyak digunakan di berbagai kisah drama romansa remaja Indonesia dalam jalan ceritanya untuk menghasilkan momen sentimental kepada para penontonnya. Namun, untungnya, Rako Prijanto berhasil mengeksekusi jalan cerita Malaikat Tanpa Sayap secara alami, tanpa pernah membuat film ini terasa memaksa agar penontonnya menangis ketika menyaksikan kisahnya. Disinilah Malaikat Tanpa Sayap berhasil tampil superior dari film-film sejenis yang sedang banyak diproduksi di Indonesia.
Sayangnya, tidak keseluruhan durasi Malaikat Tanpa Sayap berjalan dengan mulus. Pada beberapa bagian, Malaikat Tanpa Sayap terkesan mencoba untuk menghadirkan terlalu banyak karakter dan plot untuk terlibat di dalam jalan ceritanya. Akhirnya, beberapa plot cerita dan karakter tersebut malah tidak mampu tergali dengan baik dan menggantung begitu saja tanpa eksplorasi yang tepat. Anggoro Santoro juga seperti kebingungan untuk memilihkan ending cerita yang layak bagi dua karakter utamanya. Hasilnya, naskah cerita Malaikat Tanpa Sayap justru kemudian menghadirkan sebuah twist cerita yang sejujurnya justru merusak seluruh momen melankolis yang telah terbentuk semenjak film ini bergulir. Twist yang dihadirkan sangat lemah, mudah ditebak dan merusak tatanan ending cerita yang seharusnya mampu tampil klimaks dalam penyampaian emosi ceritanya.
Untungnya, Rako Prijanto mendapatkan dukungan penampilan akting kelas atas dari para pengisi departemen aktingnya. Walau Agus Kuncoro dan Kinaryosih terkesan mendapatkan porsi peran yang sia-sia di dalam film ini, serta Adipati Dolken masih terasa kurang mampu mengeluarkan emosinya di beberapa adegan, namun secara keseluruhan, departemen akting Malaikat Tanpa Sayap tampil memuaskan. Penampilan paling memorable yang didapat dari film ini mungkin diberikan oleh Maudy Ayunda dan Surya Saputra, yang begitu mampu untuk menghidupkan karakternya dengan baik sekaligus memberikan berbagai sentuhan emosi yang tepat di saat karakter yang mereka mainkan memang membutuhkannya.
Adalah sangat sulit untuk bertahan dan tidak jatuh hati pada Malaikat Tanpa Sayap. Benar bahwa jalan cerita yang dihadirkannya adalah bukan sebuah struktur cerita baru yang spektakuler. Dan benar bahwa Malaikat Tanpa Sayap adalah sebuah film yang memanfaatkan momen-momen kematian untuk menyajikan kisah romansa yang menyentuh pada penontonnya. Namun, Rako Prijanto mampu menghadirkan momen-momen standar tersebut secara alami, tidak pernah memaksa penontonnya untuk merasa tersentuh dengan kisah yang dihadirkan dan menyajikannya dengan begitu ringan namun tetap berisi dan emosional. Plus, Rako dengan jeli berhasil memanfaatkan keindahan lagu Malaikat Juga Tahu milik Dewi Lestari dan menempatkan lagu tersebut pada momen paling krusial di dalam jalan cerita film yang menjadikan Malaikat Tanpa Sayap berhasil tampil begitu romantis, melankolis dan menyentuh tanpa pernah terasa terlalu mengada-ada – setidaknya jika Anda membuang jauh ending cerita film ini.
Rating :