Review

Info
Studio : Kharisma Starvision Plus
Genre : Drama
Director : Sony Gaokasak
Producer : Chand Parwez Servia
Starring : Chantiq Schagerl, Nirina Zubir, Reza Rahadian, Fathir Muchtar, Mike Lewis

Senin, 02 Januari 2012 - 12:20:37 WIB
Flick Review : Hafalan Shalat Delisa
Review oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 3930 kali


Bertepatan dengan peringatan tujuh tahun terjadinya bencana tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 yang lalu, sebuah film drama keluarga berlatar belakang salah satu tragedi alam terbesar yang pernah dialami umat manusia tersebut dirilis di banyak layar bioskop Indonesia. Berjudul Hafalan Shalat Delisa, yang diangkat dari sebuah novel berjudul sama karya Tere Liye, film ini sekaligus menandai kali kedua Sony Gaokasak untuk duduk di kursi penyutradaraan sebuah film layar lebar setelah sebelumnya mengarahkan Tentang Cinta (2007). Berkisah mengenai usaha seorang anak yang selamat dari hantaman tsunami untuk terus melanjutkan kehidupannya, Hafalan Shalat Delisa harus diakui memiliki beberapa momen yang dapat membuat penontonnya terhenyak dan bersimpati atas segala cobaan yang dilalui karakter-karakter yang hadir di dalam jalan cerita film ini. Pun begitu, seringnya naskah cerita Hafalan Shalat Delisa berusaha terlalu keras untuk menjadikan film ini sebagai sebuah tearjerker yang inspiratif membuat banyak adegan di film ini terasa berjalan tidak alami dan kurang mengesankan.

Hafalan Shalat Delisa sendiri mengisahkan mengenai Delisa (Chantiq Schagerl) yang sedang menyambut datangnya hari ujian hafalan bacaan shalat. Oleh ibunya, Salamah (Nirina Zubir), Delisa dijanjikan akan diberikan sebuah kalung emas yang memiliki inisial namanya jika ia nanti dapat lulus dari ujian hafalan bacaan shalat tersebut. Jelas saja Delisa kemudian berusaha sekuat tenaganya untuk menghafal seluruh bacaan shalat yang telah ditugaskan padanya. Hari pelaksanaan ujian pun tiba, 26 Desember 2004. Delisa dengan penuh semangat merasa yakin bahwa dirinya akan mampu lulus dari ujian tersebut dan mendapatkan kalung emas yang selama ini ia inginkan. Namun, di saat yang sama, setelah terjadi sebuah gempa besar, hantaman tsunami menghanyutkan Delisa dan orang-orang disekitarnya yang ia kenali.

Beruntung, Delisa selamat dari hantaman tsunami walaupun ia harus kehilangan ibu dan kakak-kakaknya serta salah satu kakinya yang terpaksa harus diamputasi karena terluka parah. Diselamatkan oleh seorang tentara relawan Amerika Serikat, Smith (Mike Lewis) dan dirawat oleh seorang suster yang juga relawan dari Amerika Serikat, Sofie (Loide Christina Teixeira), secara perlahan Delisa mulai dapat memulihkan kesehatannya dan kembali mendapatkan keceriaan hidupnya. Keceriaan tersebut khususnya semakin bertambah setelah ayahnya, Usman (Reza Rahadian), yang bekerja jauh di luar kota, datang untuk menjemputnya. Kini, Delisa dan Usman telah kembali ke kehidupan nyata… dimana mereka harus menghadapi berbagai tantangan hidup yang baru setelah bencana tsunami menghabiskan semua harta dan mengambil orang-orang yang mereka sayangi.

Layaknya Surat Kecil untuk Tuhan dan Ayah, Mengapa Aku Berbeda?, Hafalan Shalat Delisa telah memiliki formula cerita yang tepat untuk menjadikan film ini sebagai sebuah sajian tearjerker yang akan mampu menguras airmata penontonnya. Sayangnya, seakan tetap mempertahankan berbagai kesalahan yang juga telah diterapkan oleh dua film tersebut, Sony Gaokasak sepertinya tidak pernah terlalu ingin bersusah-susah untuk menghadirkan berbagai detil cerita yang dibutuhkan Hafalan Shalat Delisa untuk mampu dapat hadir dengan jalan cerita yang natural dan menyentuh. Banyak elemen yang dibuat terkesan seperti instan dan dihadirkan murni untuk memancing kesedihan para penontonnya. Hasilnya banyak adegan di Hafalan Shalat Delisa terkesan janggal dan kurang mampu tergali unsur emosionalitasnya.

Kesalahan sebenarnya tidak lantas sepenuhnya dibebankan pada Sony. Naskah yang ditulis oleh Armantono (Di Bawah Lindungan Ka’bah) juga menjadi salah satu penyebab mengapa Hafalan Shalat Delisa hanya mampu berakhir sebagai sebuah tearjerker yang dipaksakan. Armantono tidak terlalu memperhatikan penggalian kedalaman karakter yang dihadirkan di dalam jalan cerita. Karakter-karakter yang dihadirkan adalah karakter-karakter khas yang dapat ditemui penonton pada banyak film Indonesia. Dengan tingkah laku yang juga selalu mereka lakukan di film-film Indonesia. Susunan kisah yang dihadirkan juga terkesan terlalu dibuat-buat demi menghadirkan suasana haru. Daripada menghasilkan keharuan yang membiru, banyak adegan Hafalan Shalat Delisa terkesan dipaksakan dan berakhir dengan datar.

Berbicara mengenai penggunaan latar belakang tragedi tsunami pada jalan cerita film, tentu saja tidak akan lepas dari bagaimana cara sang pembuat film untuk menghadirkan special effect yang dapat membawa penonton pada nuansa terjadinya bencana alam tersebut. Hafalan Shalat Delisa juga sempat menghadirkan momen bencana tersebut ke dalam tata visualnya. Walau Anda tidak akan menemukan tata visual yang semulus apa yang ditampilkan Clint Eastwood dalam menggambarkan bencana tsunami pada Hereafter (2010), namun harus diakui special effect yang digunakan pada Hafalan Shalat Delisa setidaknya tidak terlihat terlalu palsu dan kasar.

Dari jajaran pengisi departemen akting, Hafalan Shalat Delisa juga tidak mengecewakan. Chantiq Schagerl dalam penampilan akting perdananya cukup mampu menghadirkan peran optimis yang memang dimaksudkan oleh karakternya. Nirina Zubir, Reza Rahadian dan Fathir Muchtar, seperti biasa, mampu menampilkan kemampuan akting terbaik mereka. Jika ada sedikit masalah, mungkin hal tersebut didapat dari cara Mike Lewis dan Loide Christina Teixeira berusaha untuk menghidupkan karakter yang mereka perankan. Terlihat canggung dan gagal untuk melebur dengan kemampuan akting para pemeran lain yang berjalan cukup alami.

Kurang mampunya Armantono untuk membentuk rangkaian cerita dan karakter yang dapat terlihat natural membuat jalan cerita Hafalan Shalat Delisa sering terasa dipaksakan. Arahan Sony Gaokasak juga gagal untuk membangun intensitas emosional yang padat untuk mampu benar-benar menyentuh para penonton film ini. Akhirnya, walaupun dengan segudang potensi dari latar belakang cerita yang sepertinya akan cukup mampu menjadikan sebuah film terlihat begitu menyentuh, Hafalan Shalat Delisa berakhir layaknya film-film (berusaha menjadi) tearjerker yang akhir-akhir ini banyak menyerbu para penonton film Indonesia: datar dan seringkali terasa menggelikan daripada berhasil untuk menyentuh.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.