Dalam mendukung penggalakan kampanye anti bullying serta anti kekerasan di kalangan anak-anak sekolah, rumah produksi Blue Caterpillar Films bekerjasama dengan Kalyana Shira Films merilis Langit Biru, sebuah film musikal anak yang naskah ceritanya ditulis oleh Melissa Karim dengan bantuan supervisi dari Nia Dinata. Dalam Langit Biru, Tomtim (Jeje Soekarno) merupakan seorang anak laki-laki yang memiliki bakat luar biasa dalam hal menggambar. Dalam kesehariannya, Tomtim dapat ditemui sedang berkumpul bersama dua sahabatnya, Biru (Ratnakanya) dan Amanda (Beby Natalie). Selalu menghabiskan kesehariannya dengan dua teman perempuannya, Tomtim kemudian menjadi sasaran bulan-bulanan Bruno (Cody McClendon) di sekolahnya. Yang lebih parah, Tomtim sama sekali tidak memiliki keberanian untuk melawan dan seringkali menunggu untuk ‘diselamatkan’ dan dibela terlebih dahulu oleh teman perempuannya, Biru.
Tomtim bukanlah satu-satunya korban kejahilan dan kenakalan Bruno beserta tiga teman akrabnya, Jason (Patton Otlivio), Samuel (Nathan Carol) dan Erlangga (Jonathan Prasetyo). Di sekolahnya, keempat anak ini memang dikenal sebagai biang permasalahan. Merasa tidak tahan lagi melihat perlakuan Bruno dan teman-temannya, Biru akhirnya mengusulkan pada Amanda dan Tomtim untuk memanfaatkan sebuah proyek yang diberikan guru mereka, Miss Dewi (Becky Tumewu), untuk mengungkap semua seluruh tindak-tanduk kenakalan Bruno di sekolah. Biru, Amanda dan Tomtim memang dapat dengan mudah untuk merekam seluruh perbuatan nakal Bruno dan teman-temannya di sekolah. Namun, ketika mereka berusaha untuk memasuki kehidupan Bruno lebih mendalam, sebuah kenangan pahit yang telah lama disimpan oleh Bruno rapat-rapat pun akhirnya mulai terbuka.
Dengan tema anti bullying dan anti kekerasan yang ingin dibawakan film ini, Melissa Karim mampu memulai jalan cerita film ini dengan cukup baik. Pada awalnya memperkenalkan tiga karakter protagonis utama yang menjadi fokus jalan cerita film ini, bagaimana latar belakang kehidupan mereka serta bagaimana keseharian mereka dimulai, Langit Biru juga secara perlahan mulai memasukkan konflik yang dihadapi oleh Biru, Amanda dan Tomtim dengan Bruno dan teman-temannya. Dirangkai dalam sebuah jalinan cerita yang memiliki ikatan unsur hiburan yang kuat, serta semakin dipermanis dengan lagu-lagu yang terdengar cukup catchy dan ditampilkan dengan menggunakan tata koreografi yang menarik, bagian perkenalan awal penonton terhadap kisah awal Langit Biru harus diakui akan meninggalkan cukup banyak kesan.
Sayangnya, hal tersebut tidak begitu bertahan terlalu lama. Seiring dengan berjalannya cerita film ini, Langit Biru kemudian memperdalam lagi latar belakang kehidupan setiap karakter yang hadir di dalam jalan ceritanya. Semakin banyak intrik cerita dan semakin banyak kehadiran karakter-karakter pendukung. Secara perlahan, beberapa karakter yang tadinya hadir dalam porsi yang cukup banyak menghilang dan digantikan oleh kisah-kisah yang datang dari karakter pendukung. Disinilah pola penceritan Langit Biru terasa begitu terpecah. Masuknya beberapa plot cerita tambahan yang sama sekali tidak terkait dengan plot cerita utama – seperti keikutsertaan karakter adik Amanda, Brandon (Brandon De Angelo), dalam sebuah kontes menari yang ditampilkan secara panjang atau kisah romansa ramaja yang mulai tumbuh antara karakter Amanda dengan karakter Jason – juga membuat penceritaan Langit Biru terasa semakin bertele-tele.
Karakter-karakter anak yang terdapat di dalam jalan cerita Langit Biru diperankan oleh aktor dan aktris muda yang mungkin belum pernah atau masih minim mendalami dunia akting. Untungnya, di bawah pengarahan sutradara Lasja F. Susatyo, para aktor dan aktris muda tersebut tampil cukup maksimal, baik ketika berusaha untuk menghidupkan peran mereka, mengucapkan barisan-barisan dialog yang harus mereka ucapkan atau menampilkan koreografi dari lagu-lagu yang mereka tampilkan. Ratnakanya yang berperan sebagai Biru tampil dengan kemampuan akting yang paling maksimal ketika ia berhasil mengeksplorasi seluruh emosi yang harus dijalani karakter yang ia perankan. Pun begitu, beberapa kali masih terasa tercipta suasana awkward yang dapat dirasakan dalam permainan akting setiap aktor dan aktris muda tersebut, walaupun hal tersebut sama sekali tidak dapar dianggap sebagai sebuah masalah yang besar dan mengganggu. Departemen akting Langit Biru juga diperkuat oleh penampilan aktor dan aktris senior seperti Ari Wibowo, Donna Harun hingga Ira Duaty juga cukup mampu menambah kokoh kekuatan penampilan akting di film ini.
Tidak seperti kebanyakan film musikal anak Indonesia lainnya – yang terlihat kesulitan untuk menyeimbangkan antara penceritaan drama dan penceritaan musikal di dalam jalan ceritanya – Lasja F. Susatyo berhasil menampilkan elemen musikal pada Langit Biru dengan menarik dan dalam porsi yang cukup, tidak kurang dan tidak berlebihan. Lagu-lagu yang ditampilkan secara keseluruhan juga menarik, dan semakin terkesan catchy setelah ditampilkan dalam balutan koreografi yang handal. Kekurangan Langit Biru memang terletak pada naskah ceritanya yang bergerak semakin melebar seiring berjalannya cerita film ini. Hasilnya, dengan tema tunggal yang sebenarnya telah diemban semenjak awal, penceritaan Langit Biru malah berakhir dengan kesam bertele-tele. Pun begitu, Langit Biru masih cukup menarik untuk disimak, khususnya dengan adanya dukungan akting para pemerannya yang tidak mengecewakan serta kualitas tata produksi yang mampu menghasilkan tata gambar dan suara yang meyakinkan.
Rating :