Tidak mengherankan memang, ketika Surat Kecil Untuk Tuhan yang dirilis beberapa bulan yang lalu mendapatkan sambutan yang luar biasa dari para penonton film Indonesia – film tersebut hingga saat ini masih tercatat sebagai film dengan raihan jumlah penonton terbesar untuk tahun 2011 – para produser lainnya kemudian mencoba untuk mengeruk keuntungan yang sama dengan cara menghadirkan formula yang sejenis. Kesuksesan Surat Kecil Untuk Tuhan, yang naskah ceritanya disusun berdasarkan novel berjudul sama karya Agnes Danovar, terjadi karena film tersebut berhasil menerapkan formula tearjerker yang tepat untuk para penontonnya.
Kini, Ayah, Mengapa Aku Berbeda? datang untuk menawarkan kembali formula yang sama kepada para penonton Indonesia. Sama seperti Surat Kecil Untuk Tuhan, naskah cerita Ayah, Mengapa Aku Berbeda masih menawarkan sebuah kisah ultra-melankolis yang diadaptasi dari sebuah novel berjudul sama karya Agnes Danovar. Film yang kali ini diproduksi oleh Rapi Films dan disutradarai oleh Findo Purnomo HW (Akibat Pergaulan Bebas 2, 2011) ini juga masih memanfaatkan kemampuan akting Dinda Hauw untuk memerankan karakter utama ceritanya. Bedanya, naskah cerita Ayah, Mengapa Aku Berbeda? mendapatkan supervisi dari penulis naskah handal pemenang Piala Citra, Titien Wattimena yang terbukti membuat jalan cerita Ayah, Mengapa Aku Berbeda? mampu tampil sedikit lebih rapi jika dibandingkan dengan tata cara penceritaan Surat Kecil Untuk Tuhan.
Ayah, Mengapa Aku Berbeda? menceritakan mengenai kisah perjuangan hidup Angel (Dinda Hauw), seorang gadis tuna rungu yang selalu optimis dan menganggap kalau dirinya tidak berbeda dengan orang normal lainnya yang berada di sekitarnya. Wajar saja, sebenarnya. Terlepas dari kekurangannya dalam bidang fisik, Angel diberikan anugerah bakat bermain piano yang handal serta kemampuan di bidang akademis yang cukup mengagumkan. Tak lupa, dukungan yang selalu ia dapatkan dari ayah (Surya Saputra) dan neneknya (Rima Melati) membuat Angel selalu tampak kuat dan tekar dalam menghadapi segala permasalahan hidupnya.
Namun hidup bukanlah sebuah perjalanan yang dapat selalu berjalan mulus. Atas rekomendasi kepala sekolah Sekolah Luar Biasa tempat Angel menimba ilmu, yang menilai kalau Angel memiliki bakat sebagai seorang anak jenius, ayah Angel akhirnya memindahkan proses edukasi Angel ke sebuah sekolah normal. Disinilah Angel mulai menemui tantangan hidup yang sebenarnya. Tanggapan miring anak-anak sekolah lain yang menganggap kekurangan fisiknya adalah sebuah hal yang hina tak pelak membuat kehidupan Angel bagaikan di neraka. Pun begitu, Angel secara perlahan belajar untuk dapat tetap berjalan dengan kepala tegak dan terus berusaha untuk membuktikan kemampuan dirinya.
Ada banyak hal yang sebenarnya membuat jalan cerita Ayah, Mengapa Aku Berbeda? begitu melelahkan untuk diikuti. Yang paling terutama adalah naskah cerita film ini seperti terlalu berusaha untuk menciptakan momen melankolis di setiap suasana. Tidak peduli momen apapun yang terjadi, entah itu kebahagiaan atau hanya sebuah masalah kecil dan sangat biasa yang dapat saja terjadi pada siapa saja dalam kehidupan, karakter-karakter yang ada di dalam jalan cerita Ayah, Mengapa Aku Berbeda? terlihat begitu mudah untuk meneteskan airmata. Dan ini tidak hanya terjadi sekali atau dua kali. Proses ini terjadi di sepanjang penceritaan Ayah, Mengapa Aku Berbeda?. Ditambah dengan iringan tata musik arahan Joseph S. Djafar yang sepertinya memang memaksa setiap penontonnya untuk dapat merasakan perasaan pedih yang dialami karakter-karakter di film ini, Ayah, Mengapa Aku Berbeda? sayangnya menjadi terlalu obsesif dan akhirnya membuat proses terciptanya sebuah hubungan emosional antara penonton dengan jalan cerita film ini terlihat berjalan tidak alami.
Masalah berikutnya datang dari penggalian karakterisasi yang tidak pernah terasa benar-benar mampu dihadirkan dengan baik. Ayah, Mengapa Aku Berbeda? terkesan terlalu memberikan banyak bagian cerita untuk karakter utamanya yang seringkali akhirnya membuat karakter-karakter pendukung yang hadir menjadi terkesan kerdil. Lihat saja bagaimana beberapa karakter antagonis yang dihadirkan di jalan cerita film ini. Mereka cenderung dihadirkan murni untuk melakukan hal-hal buruk terhadap karakter protagonis tanpa mau memberikan pengisahan yang lebih mendalam mengenai mengapa mereka melakukan hal tersebut atau latar belakang karakter mereka sendiri. Karakter-karakter pendukung juga seringkali hadir secara tidak teratur, beberapa konsisten hadir namun banyak yang timbul dan menghilang. Akibatnya, seringkali karakter-karakter pendukung menjadi kurang mampu untuk memberikan warna lain di dalam susunan jalan cerita film ini.
Jika ingin dibandingkan dengan Surat Kecil Untuk Tuhan, Ayah, Mengapa Aku Berbeda? memiliki penyusunan cerita yang telah lebih rapi. Sayangnya, banyak diantara adegan yang ada di film ini seperti terlalu membuang-buang durasi tanpa mampu memberikan pengaruh emosional apapun. Kebanyakan diantara adegan tersebut dihadirkan untuk semakin mendramatisir keadaan. Dramatisasi yang paling berlebihan mungkin terjadi di akhir film ketika karakter utama film ini, yang sebenarnya digambarkan telah akan mencapai kebahagiaannya, ternyata mengalami sebuah kemalangan lainnya. Yang awalnya berakhir dengan cukup menyentuh, menjadi terkesan terlalu berlebihan dan sedikit tidak masuk akal. Dramatisasi di akhir bagian film itu juga terkesan hanya sebagai jalan untuk satu sosok karakter pendukung yang awalnya tidak konsisten hadir dalam jalan cerita untuk kemudian ditingkatkan statusnya sebagai karakter pendamping utama. Terlambat sebenarnya, karena penggalian karakter terlanjur dilakukan terlalu dangkal.
Selain jalan penceritaan yang sudah cukup rapi, Ayah, Mengapa Aku Berbeda? dapat tampil cuku mengesankan berkat kemampuan akting para pengisi departemen akting film ini. Dinda Hauw yang memerankan karakter utama di film ini sekali lagi membuktikan bahwa kemampuan drama yang ia miliki tidak sekedar sepintas belaka. Dalam film ketiganya ini – setelah beberapa waktu yang lalu tampil dalam porsi peran pendukung dalam film Semesta Mendukung (2011) – kedalaman akting Dinda semakin terlihat terasah. Mudah-mudahan saja Dinda tidak terjebak dengan peran-peran tipikal seperti ini di film-film yang ia bintangi berikutnya.
Jajaran pemeran pendukung juga mampu memberikan penampilan yang jauh dari kesan mengecewakan. Nama-nama seperti Surya Saputra, Rima Melati, Rheina Mariyana hingga Kiki Azhari dan Indra Perdana Sinaga yang baru melakukan penampilan akting perdananya mampu tampil dengan kapasitas yang memuaskan. Oh, jika ada yang tampil sedikit mengecewakan, mungkin penampilan Fendy Chow yang kurang begitu tereksplorasi dengan baik. Sebenarnya penampilan Fendy tidaklah begitu memalukan. Karakterisasi tokoh yang ia perankanlah yang membuat penampilan Fendy terkesan dangkal. Dan sayangnya, Fendy juga kurang berhasil dalam memberikan penampilan yang hidup.
Untungnya, Ayah, Mengapa Aku Berbeda? mendapatkan dukungan yang solid dari tata produksi dan kemampuan akting yang diberikan oleh jajaran pengisi departemen akting film ini, khususnya penampilan Dinda Hauw yang sangat terlihat semakin terasah kemampuannya dalam mengeksplorasi berbagai tampilan emosional yang dibutuhkan oleh karakternya. Pun begitu, naskah cerita film ini kadang masih begitu terjebak dengan berbagai formula standar sebuah film tearjerker yang membuat film ini cenderung memaksa untuk hadirnya atmosfer melankolis ke dalam aliran jalan cerita. Secara keseluruhan, Ayah, Mengapa Aku Berbeda? tampil cukup rapi terlepas dari berbagai kekurangannya di banyak bagian. Bahkan, Ayah, Mengapa Aku Berbeda? kemungkinan besar merupakan hasil produksi terbaik yang pernah dihasilkan oleh Findo Purnomo HW.
Rating :