Sebuah reaksi yang dikeluarkan salah seorang penonton seusai menyaksikan The Mentalist: “Itu film apaan sih barusan? Gak jelas. Kirain film horor.” Ya… sayangnya, The Mentalist bukanlah sebuah film horor Indonesia kebanyakan – yang walaupun dapat dengan mudah dicap sebagai sebuah film tidak berkualitas hanya dengan melihat posternya, namun bagi sebagian penonton masih mampu menghadirkan hiburan dengan beberapa adegan erotis yang dihadirkan di jalan film tersebut. The Mentalist bukanlah film horor Indonesia kebanyakan. The Mentalist bahkan bukanlah sebuah film horor. The Mentalist juga tidak memiliki deretan adegan erotis di dalam jalan ceritanya. Pun begitu, dengan kemampuan akting para pengisi departemen akting, penulisan naskah cerita dan tata produksinya yang sangat menyedihkan, The Mentalist memiliki kualitas yang sama dengan film horor Indonesia kebanyakan: sampah.
Setidaknya film ini akan mampu menjawab pertanyaan setiap orang yang semenjak lama telah menunggu jawaban dari pertanyaan paling prestisius yang pernah ada di muka Bumi: Siapa magician yang paling hebat di Indonesia: Deddy Corbuzier atau Limbad. Tidak ada? Oh well… The Mentalist mengisahkan mengenai perseteruan antara dua orang magician yang berasal dari dua aliran kepercayaan yang berbeda: Master Deddy (Deddy Corbuzier) yang percaya bahwa pertunjukan sulap adalah sebuah pertunjukan yang membutuhkan kemampuan penggunaan otak yang tinggi dan Ronggo Sewu (Limbad) yang meyakini bahwa pertunjukan sulap akan semakin menarik ketika ditampilkan dengan kekuatan sihir. Tenang! Walaupun ini sebuah film, Limbad sama sekali tidak memiliki dialog apapun di sepanjang penceritaan film ini.
Perseteruan keduanya sebenarnya telah dimulai semenjak lama. Ronggo Sewu dahulunya merupakan seorang asisten Master Deddy ketika melaksanakan pertunjukannya. Namun, Ronggo Sewu kemudian mendapatkan pengaruh bahwa dengan ilmu sihir, dirinya akan memiliki kemampuan sulap yang jauh lebih berkualitas dari Master Deddy. Master Deddy yang sama sekali tidak menyetujui penggunaan ilmu sihir dalam pertunjukan sulap akhirnya mengusir Ronggo Sewu. Kini, setelah berpuluh tahun kemudian, Master Deddy dan Ronggo Sewu siap untuk berhadapan dan saling memamerkan kekuatan masing-masing. Untuk membuat jalan cerita sedikit lebih kompleks, The Mentalist juga menghadirkan kisah romansa yang tercipta antara Jhane (Meiditha Badawijaya) dan Zhoe (Hafil Andrio) yang merupakan putri dan putra dari Master Deddy dan Ronggo Sewu. Oh… betapa tragisnya percintaan tersebut!
Premis yang menghadapkan seorang bos dengan mantan asistennya mungkin bukanlah sebuah premis yang baru ataupun mengesankan. Namun, premis untuk mempertemukan Deddy Corbuzier dengan Limbad, dua magician ternama saat ini di Indonesia, dalam sebuah alur cerita yang mempertentangkan keduanya, sejujurnya, adalah sebuah premis yang menarik. Jika saja The Mentalist mampu digarap secara profesional, bukan tidak mungkin kualitas film ini akan menjadi seperti sebuah versi Indonesia dari The Illusionist atau The Prestige yang sempat bersaing kuat saat dirilis dalam waktu yang berdekatan pada tahun 2006 dan memiliki premis yang serupa dengan The Mentalist.
Tapi sayangnya, hal tersebut hanyalah sebuah harapan semu belaka. Kualitas film The Mentalist yang diarahkan oleh Walmer Sitohang ini bahkan begitu jeleknya sehingga bahkan judul film ini tidak layak disandingkan dengan dua judul film karya Neil Burger dan Christopher Nolan diatas. Rangkaian naskah cerita, yang juga dituliskan oleh Walmer Sitohang, sama sekali tidak memiliki aturan kisah yang jelas. Plot cerita berantakan dengan Walmer berusaha keras untuk menampilkan jalan cerita The Mentalist terkesan lebih kompleks daripada yang sebenarnya tertulis. Dan yang membuatnya semakin buruk, tentu saja, adalah pengarahan minim yang diberikan oleh sutradara yang pernah menyutradarai film-film seperti Sex dan Kriminal (1996), Kebebasan Sexual (1997), Di Balik Cinta Istri (1997), Noda Merah Perkawinan (1997), Pria Simpanan (Gigolo) (1997) dan Misteri Banyuwangi (Dukun Santet) (1998). Ya… berdasarkan filmografi sang sutradara di masa lalu, sepertinya Anda telah mendapatkan ide bagaimana kualitas dari The Mentalist.
Adalah sebuah kesalahan besar jika penonton tertawa dalam setiap adegan di film Anda… dan Anda sedang tidak menghadirkan sebuah adegan yang pantas untuk dikategorikan sebagai komedi. Hal itu terjadi hampir pada setiap adegan di film The Mentalist. Sebagian karena adegan-adegan film ini yang berusaha tampak satu tingkat lebih serius daripada film-film karya sutradara K.K. Dheeraj, sebagian karena beberapa adegan dengan jelas meniru sebuah adegan dari film The Twilight Saga (2008 – 2011) dan franchise Scream (1996 – 2011), namun kebanyakan karena kemampuan akting – yang sebenarnya tidak pantas disebut akting—yang sangat, sangat, sangat minim dan menyedihkan. Deddy Corbuzier dan Limbad hadir tanpa ada perbedaan mencolok dari setiap penampilan mereka di televisi. Jajaran pemeran lainnya seperti Denaya, Vista Putri, Meiditha Badawijaya dan Hafil Andrio, tampil dengan penampilan yang begitu datar dan tanpa kehidupan – khususnya Meiditha Badawijaya dan hafil Andrio – yang terlihat seperti perpaduan Indra Bekti dan Aldi Taher yang berusaha terlalu keras untuk terlihat sebagai karakter Edward Cullen – yang berakting sangat lemah dan mengucapkan dialog mereka tanpa adanya intonasi apapun.
Yang membuat kualitas The Mentalist semakin rendah adalah kualitas tata produksinya yang lemah. Tata visualnya sangat ‘murahan.’ Dan yang paling mengganggu, adalah penataan musik film yang diarahkan oleh Tya Subiakto Satrio. Lihat bagaimana Tya selalu menempatkan susunan musik cadas setiap kehadiran karakter Limbad dan karakter Zhoe. Sangat, sangat, sangat mengganggu. Atau ketika efek suara perpaduan harimau dan burung hantu yang selalu dihadirkan untuk membuat suasana menjadi semakin mencekam. Anda tidak akan melihat film Indonesia dengan penataan produksi yang lebih buruk lagi daripada The Mentalist untuk tahun ini!
Buruk adalah satu-satunya kata yang dapat menggambarkan The Mentalist. Disusun berdasarkan naskah cerita yang buruk, pengarahan yang buruk, akting yang (sangat) buruk, serta kualitas penataan produksi yang buruk, The Mentalist tampil dengan tanpa satu kualitaspun yang menonjol yang dapat membuat seseorang merekomendasikan film ini ditonton oleh penonton film lainnya. Sangat disayangkan, sebenarnya, mengingat premis film ini dapat saja diolah secara profesional menjadi sebuah film yang memiliki kualitas prima. Tapi… yah… begitulah… The Mentalist dengan mudah mendapatkan gelar sebagai film Indonesia terburuk untuk tahun ini.
Rating :