Dengan karir penyutradaraan yang telah membentang semenjak tahun 1994, Paul W. S. Anderson harus diakui bukanlah seorang sutradara yang begitu ahli dalam menangani kehadiran plot cerita dalam setiap filmnya. Bukan berarti film-film yang disutradarai oleh sutradara asal Inggris ini umumnya berkualitas buruk, namun konsistensi plot cerita mungkin adalah hal terakhir yang paling diperhatikan Anderson selama proses pembuatan filmnya. Karenanya, tidak mengherankan jika kemudian banyak pihak yang merasa sedikit heran dengan pilihan Anderson untuk mengadaptasi salah satu karya literatur paling populer di dunia, The Three Musketeers (1844) karya Alexandre Dumas, sebagai bahan dasar dari naskah cerita film yang ia arahkan.
Pun begitu, menyimak 110 menit The Three Musketeers versi Anderson, adalah sangat jelas bahwa Anderson hanya menjadikan jalan cerita asli The Three Musketeers sebagai inspirasi dan garis besar dari naskah cerita yang ditulis oleh Andrew Davis dan Alex Litvak ini. Memanfaatkan plot cerita dari karakter D’Artagnan yang berusaha untuk bergabung bersama anggota kelompok The Three Musketeers, The Three Musketeers versi Anderson kemudian mengembangkan imajinasinya seluas mungkin dan menjadikan film ini penuh dengan berbagai seri petualangan yang membutuhkan kehadiran efek-efek visual khusus – sebuah keunggulan utama dari film-film Anderson, tentu saja. Sebagai sebuah film yang murni menawarkan hiburan belaka, The Three Musketeers karya Anderson mungkin saja berhasil menghibur. Tapi jika ingin dilihat lebih dekat, film ini mungkin akan menjadi salah satu kontender film dengan susunan jalan cerita terlemah yang dirilis pada tahun ini.
Anderson memulai kisah The Three Musketeers-nya dengan menceritakan pengkhianatan yang dilakukan kekasih Arthos (Matthew Macfadyen), Milady de Winter (Milla Jovovich), terhadap ketiga anggota The Three Musketeers, Arthos, Porthos (Ray Stevenson) dan Aramis (Luke Evans) yang menyebabkan The Three Musketeers dibubarkan oleh Cardinal Richelieu (Christoph Waltz). Setelah kejadian tersebut, ketiga anggota The Three Musketeers seperti kehilangan semangat hidup mereka, dengan keseharian yang diisi dengan mabuk-mabukan dan berbagai tindakan bodoh lainnya yang menyebabkan mereka kehilangan kehormatan mereka dari seluruh masyarakat.
Setahun kemudian, seorang pemuda yang berasal dari desa, D’Artagnan (Logan Lerman), datang ke kota Paris dengan tujuan untuk bergabung bersama The Three Musketeers menjadi pasukan pembela kerajaan Perancis. Walau pada awalnya D’Artagnan menemukan hubungan dirinya dengan ketiga anggota The Three Musketeers sama sekali tidak akur, namun hubungan keempatnya akhirnya berjalan semakin baik, bahkan kehadiran D’Artagnan mampu menyatukan kembali hubungan ketiga anggota The Three Musketeers yang mulai retak. Bersama, keempatnya lalu bersatu untuk memecahkan sebuah konspirasi yang berencana untuk menurunkan King Louis XIII (Freddie Fox) dari tahtanya yang ternyata dilakukan oleh salah seorang kerabat dekat sang raja sendiri.
Plot cerita The Three Musketeers diatas mungkin terdengar begitu kompleks dan mampu membuat setiap orang membayangkan sebuah petualangan drama yang dipenuhi berbagai aksi dan intrik menarik. Sayangnya, seperti yang dapat Anda peroleh dari setiap film-film Anderson, hal tersebut sama sekali tidak akan penonton dapatkan dari film ini. Jalan cerita The Three Musketeers milik Anderson memang mengikuti plot cerita diatas – dengan beberapa tambahan plot cerita lainnya – namun Anderson mengeksekusinya sebagai sebuah film yang hadir dengan deretan dialog dan karakter yang benar-benar tampil seadanya. Sekali lagi, tampil murni hanya sebagai sebuah film popcorn belaka.
Karakterisasi mungkin adalah hal yang paling mengganggu dari film ini. Tak peduli betapa kuatnya penonton berusaha untuk mengindahkan kelemahan sisi penulisan naskah film ini, penonton tidak akan dapat mengacuhkan kehadiran beberapa karakter yang digambarkan begitu dangkal. Karakter D’Artagnan, contohnya. Karakter ini ditampilkan dengan sikap keangkuhan yang sama sekali tidak berkharisma. Ini membuat kehadiran karakter ini lebih sering terlihat menjengkelkan daripada menarik dan berwibawa. Belum lagi penggambaran aktor Logan Lerman terhadap karakter tersebut yang benar-benar lemah. Semakin membuat karakter D’Artagnan yang memiliki porsi penceritaan yang cukup banyak terasa cukup mengganggu.
Kemudian ada karakter seperti King Louis XIII yang ditampilkan begitu dangkal dan bodoh sehingga siapapun di dunia ini tidak akan percaya bahwa karakter tersebut diberikan kepercayaan untuk memimpin sebuah kerajaan. Karakter-karakter lain seperti karakter Cardinal Richelieu, Constance Bonacieux (Gabriella Wilde) dan Duke of Buckingham (Orlando Bloom) sebenarnya tidak sebegitu mengganggu seperti kehadiran karakter D’Artagnan dan King Louis XIII. Namun peran-peran tersebut gagal digali dengan cukup baik sehingga membuat kehadiran mereka terkesan kurang begitu berarti pada jalan cerita secara keseluruhan.
The Three Musketeers adalah film hasil arahan Paul W. S. Anderson, yang jelas berarti tampilan visual merupakan sebuah kelebihan utama yang akan (berusaha) membuat para penontonnya melupakan segala kelemahan lain yang hadir dalam film ini. Tampil dengan warna-warna cerah yang begitu memikat dan hadir lewat tata sinematografi dan tata kostum setiap karakter serta tampilan special effect yang di beberapa bagian mampu bekerja dengan begitu sempurna, The Three Musketeers tidak dapat disangkal masih berhasil tampil menghibur pada beberapa bagian. Terlebih dengan kehadiran beberapa plot komikal yang dihadirkan dan cukup mampu menyihir setiap penontonnya untuk melupakan bahwa mereka sedang menyaksikan sebuah jalan cerita yang benar-benar tanpa arah.
Secara keseluruhan, kebanyakan penonton akan dapat menikmati The Three Musketeers dari tampilan visual yang megah, special effect yang bekerja dengan baik dan kehadiran plot cerita komedi bodoh yang mampu tampil menghibur. Semua keunggulan tersebut setidaknya akan mampu membuat beberapa orang melupakan bahwa mereka sedang disuguhkan sebuah film dengan jalan cerita yang dangkal. Atau karakterisasi yang minimalis. Atau jajaran pengisi departemen akting yang tampil dengan kemampuan akting seadanya. Atau Milla Jovovich yang tampil sebagai Alice dari franchise Resident Evil (2002 – 2010) namun dengan pakaian korset yang ketat. Atau tata musik yang sangat familiar dengan beberapa karya Hans Zimmer (khususnya Sherlock Holmes, 2009). Mungkin akan lebih tepat untuk menggambarkan The Three Musketeers sebagai hanyalah sebuah film lain dalam daftar filmografi seorang Paul W. S. Anderson. Tidak kurang. Dan jelas tidak lebih.
Rating :