Nama Troy Nixey sebagai sutradara di “Don’t Be Afraid of the Dark” (DBAOTD) seakan tenggelam, bukan semata-mata karena ini debut feature-nya yang pertama, melainkan ada nama yang lebih besar duduk di kursi produser, dia adalah Guillermo del Toro. Well, wajarlah pada akhirnya ekspektasi saya sedikit lebih bergairah, setidaknya ada jaminan bahwa DBAOTD bukanlah remake yang ngasal dari seorang sutradara debutan. Apalagi film ini ada di area yang bisa dibilang “film Guillermo banget”, dimana fantasi menjadi menu utama di film horor ini. Sutradara “Pan’s Labyrinth” ini memang sudah terkenal sih mampu menghadirkan imajinasi dan visi yang sinting jika sudah berurusan dengan film-film horor, khususnya yang mempunyai balutan unsur fantasi didalamnya. Bahkan dark superhero seperti “Hellboy” pun, ditangan seorang Guillermo bisa disulapnya menjadi petualangan yang penuh keajaiban, dengan unsur-unsur fairytale-nya yang kental, ciri khasnya makin terlihat ketika dia kembali menangani “Hellboy II: The Golden Army”.
Saya menyukai film kedua Hellboy tersebut, walau agak mengecewakan dari segi cerita, Guillermo berhasil membuat mata saya berbinar-binar ketika makhluk-makhluk negeri dongeng hilir mudik memamerkan bentuknya yang aneh, disini dunia ajaib Guillermo begitu terasa sekali. Kembali ke DBAOTD, film ini juga punya daya fantasi yang cukup menjanjikan nantinya, pokoknya cocok dengan gaya Guillermo. Film yang menceritakan Sally (Bailee Madison) yang dikirim oleh ibunya untuk tinggal bersama ayahnya, Alex (Guy Pearce) dan pacar barunya, Kim (Katie Holmes) di sebuah mansion tua dari abad ke-19. Awalnya semua berjalan normal, tapi itu tidak berlangsung lama, dari pembuka film ini pun kita sudah diberi tahu jika pada akhirnya sesuatu akan berusaha mengganggu ketentraman rumah bergaya gothic tersebut. Dimulai dengan ditemukannya ruang bawah tanah tersembunyi oleh Sally, inilah kesalahan pertama film ini, membuka ruangan yang jelas-jelas ditutup untuk suatu alasan, di tempat yang dominan tidak bercahaya tersebut berdiam makhluk tak diinginkan. Hanya Sally yang mengetahui keberadaan mereka, saat dia berusaha memberitahu orang dewasa, tidak satupun yang percaya dan menganggap cerita monster-nya hanya bualan anak kecil yang sedang ngambek. Kesalahan kedua film ini dan “kebodohan” yang memang sering terjadi di film horor itu pun langsung berbalik menjadi bumerang mengerikan, “tamu” tidak diundang mulai meneror Sally.
DBAOTD melangkah dengan percaya diri, dibuka dengan masa lalu kelam yang terjadi di rumah dimana Sally nantinya tinggal, saya pikir film ini akan menjanjikan petualangan horor yang mengasyikkan. Namun sejalan bergulirnya cerita, perlahan kepercayaan film ini mulai meredup. Esekusi Troy terhadap cerita yang ditulis Guillermo dan Matthew Robbins tersebut terlihat membosankan, bikin ngantuk, apalagi dengan ritmenya yang lambat dalam bercerita, seharusnya tidak menjadi masalah jika Troy masih bisa menjerat penonton untuk tetap “betah” bersama rasa penasarannya. Sebaliknya ajakan Troy kurang begitu menarik, oke segala macam misteri yang digelar masih bisa “memaksa” saya ikut untuk sekedar melihat-lihat saja, itu awalnya. Tengok kanan, tengok kiri, Troy seperti tersesat dalam misterinya sendiri, terjebak dengan horor yang klise, dan perlahan mulai menghilangkan daya tarik film ini satu-persatu, dan menyisakan teriakan-teriakan Bailee Madison sebagai Sally. Serius, mengikuti Troy berjalan di kegelapan untuk membongkar misteri sambil sesekali melempar kejutannya adalah pengalaman yang melelahkan, saya mengantuk di pertengahan film, mungkin pengaruh jam menonton yang menunjuk angka satu pagi. Ah tapi biasanya mata ini melek lebar-lebar saja, Troy sepertinya sudah salah memasukkan formulanya, bukan film horor yang bikin melek tapi obat tidur.
Syukurlah di tengah dosis obat tidur yang kebanyakan di DBAOTD, film ini masih punya pernak-pernik menarik yang sayang untuk dilewatkan. Environment horor di film ini saya rasa cukup mendukung, atmosfir kengerian yang menantang mental sanggup ditawarkan oleh kediaman yang berasal dari abad ke-19, sebuah mansion yang dulunya didiami oleh seorang ahli pelukis hewan bernama Blackwood. Dinding-dinding kayu, lorong-lorong yang gelap, dan suasana kelam gambar yang dipotret oleh Oliver Stapleton yang duduk dibalik kameranya, sanggup menghadirkan nuansa horor yang “gurih”. Belum lagi ketika para penghuni ruang bawah tanah mulai menghantui Sally, dengan CGI yang saya akui cukup halus, kejutan-kejutan yang disiapkan plus dibantu dengan atmosfir yang dibangun dengan tepat, menghasilkan kerjasama yang klop dalam usahanya menakuti penontonnya, mungkin lebih tepatnya membuat mereka kaget. Trik pertama memang berhasil, sayang film ini seperti tidak punya stok cara mengagetkan yang lain, alhasil formula kejutannya begitu-begitu saja dan sekali lagi direspon wajah cemberut, musiknya yang mendukung nuansa horor itupun tidak lagi bisa mengubah kekecewaan saya yang sudah terlanjur dalam status kritis.
Sulit untuk bilang DBAOTD adalah film horor yang berkesan, fantasinya mungkin masih terbilang oke dengan poin-poin menarik berkaitan dengan dongeng dibalik keberadaan makhluk-makhluk yang meneror Sally. Tapi setiap film ini melakukan kebodohan demi kebodohan, seperti gampangnya menyebut seseorang kecelakaan padahal jelas sekali dari lukanya itu tidak seperti orang yang jatuh, poin positif film ini makin pudar. Diperparah lagi dengan akting buruk yang diperlihatkan oleh Katie Holmes dan Guy Pearce, kedua orang ini tampak sekali hanya sebagai tambahan kebodohan di film ini. Beruntung disana ada Bailee Madison (Bridge to Terabithia), melakonkan Sally dengan natural, mencuri perhatian dengan keimutannya, dan meyakinkan ketika tengah berhadapan dengan teman-teman barunya dari ruang bawah tanah. Kali ini sepertinya nama Guillermo del Toro jadi hanya sebuah tempelan belaka, ternyata “Don’t Be Afraid of the Dark” tidak seseram apa yang saya bayangkan, tidak se-ajaib yang saya kira, dan terlalu mengecewakan untuk sebuah film yang awalnya menawarkan janji-janji manis. Saya tidak takut gelap tapi justru takut untuk terkurung di mansion tua ini sampai “mati” karena terlalu bosan.
Rating :