Terakhir kali mengarahkan An Empress and the Warrior (2008), Tony Ching – sutradara asal Hong Kong yang dikenal atas arahannya di film A Chinese Ghost Story (1987) yang legendaris serta arahan koreografi aksinya untuk film-film seperti Shaolin Soccer (2001), House of Flying Daggers (2004) dan Curse of the Golden Flowers (2006) – kembali lagi ke kursi penyutradaraan untuk mengarahkan The Sorcerer and the White Snake. Dibintangi oleh Jet Li yang kembali bertemu dengan aktor pasangan mainnya dalam film Ocean Heaven (2010), Wen Zhang, serta Eva Huang, Raymond Lam dan Charlene Choi, The Sorcerer and the White Snake adalah sebuah adaptasi dari kisah legendaris dari negeri China mengenai siluman ular putih yang di Indonesia sendiri sempat meraih popularitas yang tinggi setelah sebuah serial televisi Taiwan yang kisahnya juga mengadaptasi kisah legenda tersebut, The White Snake Legend (1992), ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi Indonesia.
The Sorcerer and the White Snake sendiri memiliki alur kisah yang tidak jauh berbeda dari serial televisi tersebut. Bahkan dapat dikatakan bahwa film yang juga dirilis dengan judul It’s Love ini adalah versi singkat dari kisah tersebut dengan tambahan special effect dan adegan aksi yang lebih dominan. Dalam film ini, White Snake (Eva Huang) adalah seorang siluman ular putih yang telah berusia seribu tahun, dan baru saja mengerti arti dari sebuah kata cinta ketika ia bertemu dengan seorang ahli herbal, Xu Xian (Raymond Lam). Green Snake (Charlene Choi), siluman ular lainnya yang menjadi sahabat dan sering menemani White Snake, telah berulang kali memperingatkan White Snake bahwa mencintai manusia beresiko untuk kehidupannya. Pun begitu, rasa cinta yang terlanjur dalam telah membuat White Snake tidak mendengarkan saran apapun lagi.
White Snake, yang kemudian merubah wujudnya menjadi seorang wanita berparas cantik bernama Susu, tidak menghabiskan banyak waktu untuk mendekati sang pujaan hatinya. Xu Xian sendiri ternyata memiliki perasaan yang sama pada sang siluman ular. Setelah beberapa saat, pasangan tersebut kemudian meresmikan hubungan mereka lewat jenjang pernikahan. Sayangnya, di saat pernikahan mereka mulai berjalan, dua biksu, Fa Hai (Jet Li) dan Neng Ren (Wen Zhang), sedang bergiat diri untuk memberantas semua siluman yang dianggap mengganggu kehidupan manusia. Tidak butuh waktu lama bagi Fa Hai dan Neng Ren untuk menemukan White Snake dan segera berusaha menangkapnya.
Tidak ada yang spesial dari The Sorcerer and the White Snake. Jalan cerita yang ditulis oleh Carbon Cheung, Tsang Kan-cheung, Szeto Cheuk-han memang setia terhadap cerita legenda dimana kisah film ini didasarkan. Filmnya sendiri terkesan lebih mementingkan kehadiran deretan adegan aksi daripada berfokus pada pendalaman karakter atau pengasahan sisi drama yang lebih tajam. Tidak masalah, sebenarnya, mengingat The Sorcerer and the White Snake cukup mampu menghadirkan deretan adegan aksi yang memikat, namun sayangnya akan begitu mudah dilupakan oleh para penontonnya akibat minimnya kesan dan ikatan emosional yang ditinggalkan oleh setiap karakter yang hadir di film ini.
The Sorcerer and the White Snake sepertinya juga menjadi ajang bagi Ching untuk mengarahkan sebuah film dengan penggunaan special effect yang maksimal. Well… penggunaan efek khusus yang maksimal jelas bukanlah sebuah hal yang terlarang. Namun apa yang diperlihatkan oleh Ching di film ini justru membuat The Sorcerer and the White Snake terlihat seperti sebuah film dengan kualitas special effect murahan yang berniat ingin meniru film-film blockbuster Hollywood – adegan pertarungan akhir film ini sepertinya akan berhasil langsung membawa ingatan setiap penontonnya pada film M Night Shyamalan, The Last Airbender (2010) atau bahkan 2012 (2009) karya Roland Emmerich. Pakem ‘ingin terlihat sebagai sebuah film Hollywood’ inilah yang kemudian justru membuat The Sorcerer and the White Snake terlihat begitu standar terlepas dari keberhasilan tim produksi film ini untuk menciptakan atmosfer film-film aksi Mandarin klasik.
Dari departemen akting, penonton tidak akan dapat menemukan film lain yang menunjukkan bahwa Jet Li telah semakin menua seakurat apa yang ditampilkan Ching di film ini. Wajah Li terlihat begitu lelah terlepas dari kemampuan aktingnya yang tetap prima. Eva Huang, yang pertama kali mencuri perhatian dunia sebagai pasangan main Stephen Chow di Kung Fu Hustle (2004), bermain cukup baik sebagai sang siluman ular putih. Sayangnya, perhatian terhadap Huang seringkali kemudian dicuri oleh Charlene Choi yang berperan sebagai Green Snake dan menampilkan karakternya menjadi lebih menarik untuk dilihat. Choi juga menjalin chemistry yang erat dengan Wen Zhang dan membuat momen-momen kebersamaan mereka menjadi begitu menyenangkan untuk diikuti.
Terlepas dari penataan special effect-nya yang cukup buruk (dan murahan), The Sorcerer and the White Snake sebenarnya tidak memiliki kualitas yang begitu mengecewakan. Mereka yang memang berniat untuk bernostalgia dengan kisah legendaris mengenai sang siluman ular putih dipastikan tidak akan kecewa khususnya akibat pengaruh akting para jajaran pemeran film ini yang cukup meyakinkan. Tidak ada yang begitu istimewa dari sisi penulisan naskah. Seringkali hadir dengn ritme cerita yang terlalu berubah-ubah dan deretan dialog yang terdengar cukup cheesy di era modern seperti saat ini, The Sorcerer and the White Snake sama sekali tidak berusaha untuk menghadirkan ikatan emosional yang kuat kepada penontonnya. Tidak buruk, namun kemungkinan besar akan dilupakan penonton segera setelah mereka meninggalkan kursi bioskop.
Rating :